1

921 74 3
                                    

Semua orang tidak pernah tahu dan bahkan tidak pernah merasakannya. Bagaimana besarnya rasamu ingin berlari, berteriak merobek langit atau bahkan bagaimana rasanya memiliki sayap yang bahkan mereka sendiri tidak pernah miliki.

Hari itu adalah hari pertamaku berada di sekolah baru. Segalanya mulai terlihat membosankan meskipun aku baru pertama kali menjejakkan kakiku di sini.

Kuraih earphone yang ada di saku celanaku dan menyalakan lagu. Segalanya terlihat berbeda, seperti yang aku rasakan setiap alunan musik mulai berbunyi di telingaku.

Aku memasuki kelasku dan duduk di tempat favoritku. Satu-satunya bangku yang tepat berada di pojok kelas dan berada di samping jendela. Dengan begitu, aku bisa lebih mudah menatap langit di luar kelas.

Semua orang pasti menganggapku hanyalah orang aneh yang suka ketenangan. Sikapku yang kelewat dingin memang membuat mereka enggan. Namun, sebenarnya bukan sikapku yang dingin itulah yang membuatku sulit didekati oleh mereka.

Namun, aku sendiri yang berusaha menjauh dari khalayak umum karena alasan pribadi.

"But are we all lost stars-"

Suara merdu itu masuk ke telingaku, menghancurkan pertahanan earphone yang sengaja kugunakan untuk menghentikan kebisingan dunia.

Aku menoleh. Seorang gadis berambut kecoklatan dengan matanya yang lembut tengah bersenandung di sampingku.

Sepertinya, ia sadar bahwa aku memperhatikannya. Ia membalas tatapanku dan tersenyum lebar. Bibirnya bergerak mengucapkan beberapa kata. Tapi, yang kudengar hanyalah kata kejar dan mimpi.

Untuk beberapa saat aku terperangah dan memintanya untuk mengulang kata-katanya. Sungguh benar-benar aku seperti orang gila saat itu.

Tanpa kusadari, guruku masuk dan segera memulai pelajaran. Aku menoleh sebentar untuk melihat dosen itu dan kembali menatap si gadis. Namun, ia sudah tidak ada di sana.

Satu-satunya pertanyaan yang ada di kepalaku hanyalah, kemana perginya gadis itu? Dia sangat cepat.

"Jadi, namamu Jeon Jungkook?" tanya seorang anak dengan rambut merah. Senyumnya mengembang sampai-sampai kukira bibirnya memang sangat lebar.

Seperti biasa, aku hanya menganggukkan kepalaku sedikit saja. Tidak berniat menjawab.

"Selamat datang di kelas barumu, kawan," dengan sok akrabnya ia menepuk punggungku. Aku menatap manik matanya dengan tajam.

"Kau tidak perlu sok akrab denganku," setelahnya aku bangkit dari kursiku dan berjalan ke luar kelas. Seperti biasa, mereka mulai berbisik-bisik tentang betapa jeleknya sifatku itu.

Berusaha mencari ketenangan, aku pergi ke luar dari kelasku dan pergi untuk mencari makan siang.

Kukira, tempat ini akan menyenangkan ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku di atas tanah mereka. Namun ternyata sama saja. Tidak bisa bebas berlari seperti yang kuinginkan. Setidaknya, ini bukan Korea. Entah mengapa aku sangat bersyukur bisa keluar dari neraka itu.

Begitu aku sampai di kantin, aku menemukan gadis itu. Gadis yang sama yang kutemui di dalam kelas tadi. Tapi sepertinya, ia tidak mengenalku.

"Ugh-konnichiwa?" sapaku dengan canggung. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum manis.

Astaga, siapa gadis ini sebenarnya. "Konnichiwa," balasnya.

Terjadi jeda di antara kami untuk beberapa saat. "Jadi, kau pergi ke sekolah yang sama denganku?" tanyaku sekedar untuk basa basi.

Gelengan kepalanya membuatku agak terkejut. Lantas, apa yang ia lakukan di kelasku tadi?

"Ah, kau anak kepala sekolah, ya?" tanyaku lagi. Namun, lagi-lagi ia menggeleng pelan.

Sungguh gadis ini membuatku kebingungan. Ia hanya menjawabku dengan gelengan saja.

Tiba-tiba, alarm gempa kembali berbunyi-sebenarnya itu adalah hal yang lumrah di Jepang. Namun, aku tidak merasakan getaran itu. Aku hanya memfokuskan mataku ke arah bibirnya yang kembali bergerak.

"Aku... dirimu..."

Dan, segalanya mendadak hening begitu saja. Entah berapa lama aku berkedip untuk mencerna perkataannya, ia sudah menghilang.

Sial, ia sudah berada di sana. Menungguku dengan wajah yang luar biasa kubenci. "Kemana saja? Kenapa baru datang?" Jika boleh, aku ingin menutup bibirnya dengan lem agar ia tidak bisa berteriak atau mencaciku setiap saat.

"Sudah jam berapa, kau tahu? Kau beruntung bisa tinggal di sini karena diriku. Tapi, kau justru membuatku marah-"

"Bukan urusanmu," aku melewatinya dan berjalan masuk menuju gedung apartemen tempat kami tinggal.

Ya, tempat yang kami tinggali memang termasuk sesuatu yang mewah tapi justru selalu kubenci. Ada berbagai macam alasan terutama karena segalanya mirip seperti penjara. Kematian ibuku dan kehadiran mereka menjadikan hidupku seperti di neraka.

Setelah kami saling berdiam-diaman di dalam lift, akhirnya kami sampai di depan apartemen kami. Atau seharusnya kusebut itu apartemenku?

"Kau harus mendengarkanku kali ini, Jeon Jungkook." Cih, sekeras apapun ia menamparku pun aku tidak akan pernah mendengarkan kata-katanya.

Dan, inilah yang paling kubenci. Seorang gadis keluar dari kamarnya dan menatapku seolah-olah aku memang pantas dibela. "Eomma, berhenti memarahi Jungkook oppa. Ia pasti sudah sangat lelah setelah kegiatannya di sekolah tadi." Bibirnya mengerut seperti-ah, entahlah.

"Bisakah sekali-kali kau berhenti membela kakakmu, Jinsol." Kakak? Cih, bahkan aku tidak ingin menyebutnya adikku.

Perang mulut selalu terjadi. Salah satu ingin menyalahkanku sedangkan satu lagi sok membelaku. Beberapa saat kemudian pun dapat kulihat mereka duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi bersama.

"Oppa, kau sedang mengerjakan tugas, ya?" Sial, berhenti menggangguku.

Dengan sinis, aku meliriknya dan kembali memfokuskan diriku terhadap tugas yang sudah diberikan oleh guruku. Maksudku-sial, aku tidak pernah mendapat tugas seperti ini pada hari pertamaku masuk sekolah.

Jinsol terus menggangguku. Risih? Tentu saja. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk menggangguku dibandingkan mengerjakan tugas-tugasnya.

Setelah beberapa saat, dapat kudengar helaan napas panjang dan ia keluar dari kamarku begitu saja.

Keheningan mulai terasa lagi.

Merasa bosan dengan kegiatanku, aku segera membereskan buku-buku dan berbaring di kasurku. Mengingat wajah gadis itu lagi.

Ia mirip denganku. Kata-kata kejar, mimpi, aku, dan dirimu.

Apa maksudnya?

Finding FreedomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang