2. Bertemu Vincent Osiris

91 26 3
                                    

Aku menenggelamkan tubuhku ke tempat tidur. Tadi sore, aku kembali mengunjungi makam Jacob. Seperti biasa, aku menabur bunga setelah membersihkan makam itu aku selalu menangis diatasnya. Entah apa yang membuatku menangis diatas nisannya. Bercerita tentang kondisi keluarga kami yang membaik. Semenjak satu tahun lalu, makam menjadi tempat favoritku.

Jacob selalu menemaniku disaat kondisi seperti ini. Suara teriakan Mama dan Papa dari arah dapur membuatku berhenti belajar dan langsung menuju ketempat tidur. Menutupi diriku dengan selimut dan langsung mencoba mengubur pendengaranku dengan musik.

Setelah pertengkaran berhenti, Jacob selalu masuk kekamarku. Memberitahuku bahwa segalanya baik – baik saja. Aku tahu kalau Jacob yang melerai pertengkaran mereka. Pertengkaran ini memang tidak sesering itu, tapi Mama selalu saja meledak emosinya jika salah paham. Dan sekali ada pertengkaran, akan ada barang yang pecah.

"Hai."

Aku mendengar suara pintu terbuka dan melepas headsetku. Menatap Jacob yang duduk di pinggiran tempat tidurku. "Ada apa?"

"Pertengkaran. Apa harus aku ceritakan?" Jacob bertanya, matanya menunjukkan kekhawatiran.

Aku menggeleng. "Aku tidak suka mendengar alasannya, apapun itu."

Hening, dan aku bertanya. "Apa semuanya memang akan baik – baik saja?"

Jacob menyipitkan matanya. "Maksudnya?"

"Aku bukan lagi anak yang percaya pada kisah yang akan berakhir bahagia selamanya. Aku yakin kalau Cinderella memiliki akhir yang berbeda namun penulis tidak menceritakannya karena akhir itu tidak bahagia."

"Kamu tidak mengerti apa yang kamu bicarakan, Athena."

Jacob benar. Aku tidak mengerti. Tapi dia berkata. "Ya, semuanya akan baik – baik saja."

"Jika puncak ketidakbahagiaan kita adalah perpisahan mereka?"

Jacob menelan ludah dan wajahnya memerah. "Aku tahu kalau mereka sering bertengkar dan Mama kadang tidak bisa mengontrol emosinya. Tapi mereka tidak akan berpisah."

"Kamu tahu darimana?"

"Aku tahu, Athena. Percayalah padaku."

Aku mengangguk dan berusaha mempercayainya.

***

Tengah malam bukan waktu yang tepat untuk bangun, karena aku benar – benar sendirian. Tidak ada suara televisi yang menyala karena ditonton Mbak Laili, atau suara Mbak Kiara yang sibuk menelpon pacarnya yang jauh disana. Tapi aku nyaman belajar disaat seperti ini.

Bukan keinginanku untuk kembali mengingat Jacob, tapi Jacob memang kenangan yang selalu membangunkanku tengah malam. Dulu, kami selalu belajar bersama. Dan dia akan menyalakan lagu favoritnya sebagai teman belajar. Papa kadang mengecek kami. Papa dekat dengan Jacob. Kalau ada pertandingan bola tengah malam, Jacob akan membangunkanku untuk belajar akan tetapi dia malam menonton bola dengan Papa.

Aku membuka ponselku untuk mengecek tugas apa untuk besok. Ralat. Nanti. Ada satu pesan. Setelah mengetik kata sandi, aku melihat pesan dari Petra dan membacanya.

Athena, namanya memang Vincent. Vincent Osiris. Aku tahu dari Vani. Mau aku kirim kontaknya?

Aku berdecak dan membalasnya 'nggak.' Nama cowok basket itu, Vincent. Petra sudah bilang disekolah tadi, tapi dia tidak yakin. Sehingga dia menanyakan kakaknya yang bergabung di tim basket putri.

Aku menghela napas panjang dan berusaha fokus pada tugasku dengan ingatan semangat Jacob.

***

Sekolah memang semakin lama semakin gila. Aku tidak suka dengan cara pengajaran guru – guru yang diam – diam aku kritik habis – habisan dalam hati. Mulai dari pengajarannya yang membuatku ngantuk atau tugasnya yang seambrek.

A PiecesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang