Part I: Your Point of View

2.9K 166 3
                                    

Saat aku berumur 7 tahun dan diajak orangtuaku pergi ke Kyoto untuk yang pertama kalinya, mereka mengenalkanku pada beliau. Beliau orang yang sangat baik padaku, memanjakanku selayaknya anaknya sendiri. Saat orangtuaku mengalami kecelakaan setelah melakukan perjalanan bisnis ke Kyoto di saat aku berumur 18 tahun, orang yang pertama kali mengabariku adalah beliau. Saat orangtuaku koma dan dirawat di rumah sakit, beliau adalah orang yang selalu menemaniku. Saat aku tengah berduka cita atas kepergian orangtuaku, beliaulah juga yang menguatkanku dan mendukungku. Singkat kata, beliau adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku.

Akashi Masaomi, sahabat sekaligus rekan bisnis orangtuaku, yang sudah aku anggap layaknya ayahku sendiri.

Atas permintaannya pula, kini aku– yang berusia dua puluh dua tahun – datang berkunjung ke mansion keluarga Akashi di Kyoto dan diminta duduk di ruang kerja pria berusia 50 tahun itu. Aku kembali teringat pada telepon singkat dari kepala rumah tangga keluarga yang berpengaruh di Jepang itu dua hari yang lalu.

"Aku tahu ini mendadak, anakku, tapi aku ingin kau datang ke mansionku. Ada yang harus kukatakan padamu".

"Tapi, Oji-san, aku harus bekerja..."

"Akan kukatakan pada atasanmu bahwa akulah yang memintamu untuk menemuiku. Atasanmu tidak akan bisa macam – macam denganmu saat namaku disebut".

Lagi – lagi Masaomi Oji-san dan perintah absolutnya, pikirku kala itu.

"Baiklah, Oji-san, aku akan datang".

"Bagus sekali. Akan kukirim sopir untuk menjemputmu dua hari lagi, anakku. Sampai saat itu tiba... aku menunggu kedatanganmu".

"Baiklah, Oji-san. Sampai jumpa".

Pintu lebar nan tinggi itu berderit membuka. Aku berbalik dan menatap pria paruh baya itu saat dia masuk, diikuti seorang lelaki bersurai merah terang dan mata dwiwarna yang indah. Lelaki itu menatapku, mengangguk singkat, dan berjalan di belakang ayahnya. Apa kalian ingin tahu siapa dia?

Dia Akashi Seijuurou, putra tunggal Akashi Masaomi dan almarhumah Akashi Shiori, yang kini menjabat sebagai direktur salah satu anak perusahaan keluarga Akashi. Dulu, dulu sekali, aku begitu akrab dengan lelaki itu, bermain bersama layaknya saudara. Namun kini, kami tak sedekat dulu dikarenakan berbagai macam hal.

Akashi Masaomi duduk di kursinya yang ada di depanku, dan dia berdeham.

"Sei, duduk di sebelah (name). Pemberitahuan ini untuk kalian berdua", katanya, dan Seijuurou pun duduk dimana dia diperintahkan untuk duduk.

Aku melirik sekilas pada lelaki itu, dan lalu kembali menatap pria yang ada di depanku.

"Jadi, Seijuurou, (name), maaf sebelumnya karena sudah memanggilmu untuk datang kemari jauh – jauh dari Tokyo", kata Masaomi dengan nada meminta maaf.

"Aah~ daijoubu desu (tidak apa – apa), Masaomi Oji-san. Hontou ni daijoubu desu (sungguh, tidak apa – apa)", kataku, sedikit kikuk.

Pria itu tersenyum. "Baiklah. Seperti yang kita bertiga sama – sama ketahui, Seijuurou kini sudah bekerja di salah satu anak perusahaan milik keluarga, dan (name) juga sudah bekerja di salah satu penerbitan terkemuka di Tokyo, jadi aku tidak akan berkomentar banyak soal finansial".

Dahiku berkerut. Apa maksudnya itu?

"Yang ingin kukatakan adalah.... aku ingin...menikahkan kalian berdua, Seijuurou dan (name)", lanjut Masaomi.

Bola mataku mendadak melebar, sangat terkejut. Tidak peduli saat pria paruh baya di hadapanmu ini tersenyum karena ekspresi terkejutmu. Apa?

"Otou-sama", kau mendengar Seijuurou bersuara, nada suaranya mengandung keheranan dan... penolakan? "Apa Otou-sama ingin aku menikah dengannya? Hanya untuk memastikan saja".

Aku memperhatikan saat pria yang sudah ku anggap ayahku itu menganggukkan kepalanya.

"Tidak ada alasan bagimu untuk menolak, Sei", kata Masaomi, yang jelas mendengar nada penolakan dari suara putranya itu. "Aku begini karena aku sudah tidak tahan lagi melihatmu masih melajang. 'Putra tunggal keluarga Akashi masih melajang di usianya yang sudah 27 tahun'. Aku masih ingat dengan jelas headline koran minggu lalu. Dan lalu – mengingat kau tidak bisa memutuskan sendiri tentang hal ini – kuputuskan aku sendiri yang akan mencarikanmu istri. Dan kupikir (name) adalah calon istri yang tepat untukmu, mengingat dia juga adalah putri tunggal sahabat sekaligus rekan bisnisku", kata Masaomi.

Aku makin melebarkan kedua bola matamu. Calon istri? Menikah dengan Seijuurou? Apa pria ini tidak salah? Aku hanya diam dan tidak dapat membantah, karena ada alasannya. Pertama, pria itu sudah berjasa banyak terhadapku dan keluargaku. Kedua, aku bisa apa di depan pengusaha ternama itu? Menolaknya? Aku bisa dipecat dari pekerjaanku sebagai editor novel. Seminggu yang lalu, aku – secara tidak sengaja mendengar pembicaraan atasanku melalui telepon – mengetahui bahwa perusahaan penerbitan tempatku bekerja adalah salah satu perusahaan yang sebagian besar sahamnya dipegang Akashi Masaomi. Walaupun mendiang orangtuaku adalah sahabatnya, Akashi Masaomi yang absolut itu pasti tidak akan segan menendangku keluar dari perusahaan jika perintahnya tidak dilaksanakan.

Singkat kata, menikah dengan Akashi Seijuurou adalah salah satu caraku membalas jasa Akashi Masaomi.

"Otou-sama..." baru saja Seijuurou ingin memprotes, tangan Masaomi terangkat, menghentikan protes putranya. Dia mendelik ke arah Seijuurou.

"It has been decided, Sei. You can't do anything about it. Marry (name) as soon as possible (semuanya sudah diputuskan, Sei. Kau tidak melakukan apapun tentang ini. Nikahi (name) sesegera mungkin)", ujar Masaomi dalam bahasa Inggris. Aku mengerti apa yang diucapkannya karena aku fasih berbahasa Inggris.

Masaomi lalu menatapku. "Sedari tadi kuperhatikan kau hanya diam, (name). Ada apa? Apakah kau ingin bilang 'tidak'? Apa kau menolak menikahi putraku?"

Aku menggigit bibir bawahku, lalu menatap pria di hadapanku itu, yang memiliki warna mata yang sama dengan warna mata putranya. "You know I can't say 'no' to you, Masaomi Oji-san. And you don't want to hear me saying 'no', right? Your orders are absolute. (Kau tahu aku tidak bisa bilang 'tidak' padamu, Masaomi Oji-san. Dan kau tidak ingin mendengarku berkata 'tidak', kan? Semua perintahmu absolut)."

Masaomi tersenyum kepadaku. "Good girl. Nice to hear that (Anak baik. Senang mendengarnya)".

Aku membalas senyum pria itu, walaupun dalam hati aku menangis. Aku melihat Akashi Seijuurou mengepalkan kedua tangannya dan menatapku seakan ingin mengatakan sesuatu yang menyakitkan.

***


Akashi Seijuurou & YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang