"When I see you, I fell in love with you. And you smile because you know it."
-Arrigo Boito-
Aku tidak bisa mengerti Rhea.
Rhea, si gadis yang begitu mudah jatuh cinta pada setiap laki-laki yang ia anggap baik, tampan, kaya, cerdas, sekalipun orang laki-laki itu baru sepersekian detik ia temui. Dalam satu perkenalan dia bisa mengidentifikasi laki-laki mana saja yang bisa ia taksir mana yang tidak. Dia seperti punya radar tersendiri untuk laki-laki yang ia angggap memenuhi kriterianya. Tinggi. Atletis. Beralis tebal. Baik hati. Penyayang. Sempurna. Kriteria tipikal yang akan disebutkan setiap wanita bila diminta untuk mendeskripsikan laki-laki idaman mereka. Tapi bagi Rhea berrbeda, ia tidak terlalu memperhitungkan fisik yang mumpuni meskipun terkadang pesona raga lelaki menahan matanya sesaat. Ia tidak akan kenyang dengan melihat bungkusnya saja, ia perlu tahu isinya juga. Dalam hal ini. Otaknya. Kepalanya. Kecerdasan. Tidak perlu sekelas Einstein, cukup untuk bisa menandingin lontaran kalimat dari Rhea yang kadang-kadang perlu imajinasi tinggi serta daya analitis yang kuat, dijamin Rhea rela menghabiskan berjam-jam bersama lelaki 'nyaris Einstein' itu.
Tapi kembali lagi. Rhea begitu mudah jatuh cinta pada fisik sekalipun fisik bukan incaran pertamanya. Bingungkan? Saya saja yang sudah bertahun-tahun jadi sahabatnya bingung dengan konsep hati Rhea yang aneh.
Kakak seniornya di sekolah menengah. Tampan, anggota Paskibraka, ahli pelajaran eksak. Ada sekian minggu Rhea berusaha untuk menambah tinggi badannya agar bisa masuk dalam pasukan pengibar bendera pada acara17-an di sekolahnya. Dengan melibatkan tiang gantungan, obat cina, melakukan gerakan-gerakan menarik-narik kaki dan tangan, pada akhirnya ia bisa sukses masuk ke lingkarna paskibra. Endingnya? dia bisa dekat dengan senior incarannya itu. Ujungnya? baru tiga hari perkenalan dia sudah ogah bertemu cowok tinggi itu. Alasannya?
"Tuh cowok nggak bisa diajak ngomongin Dan Brown, larinya malah ngomongin girl band. Kampret."
Atau yang sedang terjadi sekarang ini. Rhea seorang gitaris band indie jebolan kampus tetangga. Alasan ketertarikan; bisa main gitar, alisnya tebal, tampang oriental ala boyband korea. Dia bela-belain beli gitar ratusan ribu, belajar main gitar sampai jari-jarinya melepuh, beli buku chord-chord gitar, dan si gitaris mulai memperhatikannya saat dia manggung di sebuah festival musik kampus dengan skill pas-pasannya. Endingnya? Dia makin dekat sama cowok gitaris itu, malah sempat diajari main gitar dengan cara picisan film-film Hollywood. Biasalah, si cowok di belakang, sambil memposisikan tangannya pada tangan si gadis, sesekali dengan gerakan yang tidak disengaja tapi sebenarnya disengaja si cowok menyentuh jemari si cewek yang sedang berusaha membentuk kunci C G A Minor dengan tangan yang gemetaran. Lalu mereka saling berpandangan, tersenyum, lalu seisi dunia menghilang dan menyisakan mereka berdua sebagai pemilik bumi ini.
Cuih. Aku tahu detail ceritanya karena aku ada di sana, di tempat nista itu, menyaksikan drama opera sabun murahan dengan sahabatku dan cowok kelewat 'cantik' saling bertatap-tatapan dan tersenyum-senyum sinting.
Terperangkap di balik layar laptop, memperhatikan dua sosok yang saling terpukau satu sama lain. Tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dari pada hal itu selain kau hanya duduk diam memperhatikan mereka.
Tidak ada hal yang paling menjengkelkan, melihatnya duduk di samping orang lain.
Tersenyum malu-malu pada orang lain.
Digenggam tangannya oleh orang lain.
Orang lain.
Dan bukannya aku.
~0o0~
Aku sudah tenggelam dalam tumpukan Campbell dan diktat saat Rhea datang menyerobot masuk ke dalam perpustakaan dengan ribut. Beberapa orang yang tadi sedang serius membaca dan menyalin mendonggakkkan kepalanya, sementara penjaga perpustakaan memandanginya dengan pandangan terganggu.