"Ren, oi."
"Apa ?"
"No 10 caranya gimana nih ? Gue bingung."
"Ishh."
Irene menyambar buku Vando, menyilang pilihan jawaban yang benar. Ohya, mereka sudah belajar selama 2 jam di ruang tamu Vando yang cukup nyaman ini, dan selama 2 jam itulah Irene berusaha mengontrol debaran jantungnya yang tak stabil karena ia berada di dekat Vando.
"Please ndo, dari 10 soal masa lo tanya ke gue semua sih?Kerjain sendiri dong ah."
"Yee gue kan emang kaga bisa Astronomi. Udah ah gue laper." Vando merapikan buku - bukunya lalu berdiri.
"Cari makan yuk. Gue belum makan dari kemaren serasa mati nih."
"Lebay lu. Lha terus ini gimana? Masih banyak soal tau."
"Bodo amat ah. Pokoknya kita cari makan, atau lu mau jagain rumah gue ?", Vando mengambil kontak mobilnya yang tergeletak di meja. Irene membereskan buku - bukunya.
"Eh tapi adek lu gimana ? Masa lu suruh jaga rumah sih ? Tega amat lu."
"Ada kakak cewek gue nemenin dia. Tenang aja."
Irene ber-'oh'ria. Satu hal yang baru ia ketahui tentang Vando, bahwa dia punya adik dan kakak perempuan.
"Brik cepet, lu mau jagain rumah gue ya?", teriak Vando yang sudah berada di luar.
"EEHH TUNGGUUUUU !!!!!!"
***
"Lu makan kayak kuli bangunan. Pelan - pelan dong ndo."
"Bhiharin hue haber bhenehan nih." (Biarin gue laper beneran nih)
"Ati - ati sendok lu ketelen mampus lu."
Irene dan Vando berada di cafe yang tidak jauh dari rumah Vando. Irene yang memang tidak lapar memilih untuk memesan jus jeruk saja. Mereka berdua duduk berhadapan di meja dekat jendela.
"Mau lu aduk berapa kali tuh jus juga gabakal jadi jeruk utuh brik. Lu ngapa sih lemes banget daritadi, kayak orang gapunya semangat idup aja."
Vando mengacak - acak rambut Irene.
"Ih apaan sih lo main acak segala! Kagak kok, g-gue cuman lagi kenyang aja!", Irene memalingkan wajahnya, karena jika tidak, mungkin Vando bisa melihat semburat merah yang mulai menghias pipinya.
"Yaudah."
Vando melanjutkan makannya yang sempat tertunda, sedangkan Irene terus memperhatikan luar, hingga matanya menangkap sesosok orang yang tidak asing.
"Luna ? Sama siapa tuh ?"
Irene menyipitkan matanya. Baru saja turun dari taksi seorang Luna Agnestasia. Oh ! rupanya Luna tidak sendirian, pintu sisi lain terbuka dan turunlah sesosok laki - laki. Mereka berdua berjalan beriringan masuk Cafe.
"LUNA PUNYA PACAR ?!"
Irene langsung bangkit dari duduknya, kemudian lari menghampiri Luna. Sedangkan Vando sepertinya tidak sadar bahwa ia ditinggalkan, ia terlalu fokus kepada beef steak tercintanya.
"LUN"
Irene menepuk bahu Luna. Gadis itu langsung berbalik.
"Eh ren ? Ngapain lu disini ?", tanya Luna bingung.
"Gitu ya ternyata. Kenapa lo gak pernah cerita kalau lo punya pacar ?" Irene berkacak pinggang sebal. Padahal kemarin Luna masih jomblo, sekarang ia sudah punya pacar tapi tidak mau cerita ? Sahabat apa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable
Teen FictionAku benci takdir. Kenapa? Karena dia tidak akan pernah membuat aku dan kamu menjadi 'kita'. Setiap orang mempunyai jalan ceritanya sendiri yang sudah tersusun rapi. Namun, tidak semuanya memiliki akhir yang bahagia. Mungkin aku salah satu yang me...