Pergi dari Hatiku

1.4K 84 25
                                    

Kabut malam yang melekat di aroma tubuh kecil ini menghantarku menelusuri jalan kecil tersimpan sepotong kenangan. Awalnya kupikir kapasitas memori dalam otakku tak cukup untuk menyimpan sepotong kenangan yang lalu.

Wushhh... Watzappp!

Derap langkahku pun terhenti secara mendadak. Seketika itu lampu yang menyala tepat diatas kepalaku padam. Kutunggu lima menit. Kini kutemukan sepasang bola mata elang berwarna biru tepat menatap kedua bola mataku. Oh Tuhan, betapa aku takut merasakan suatu hal jika kehilangan sinar elang biru itu.

Aaaaaawww!

Teriakkan cempreng memecahkan dua kaca jendela.

"Bangun Ify! Wake up!"

"Yah, mama kok siram Ify pakai air teh sih?" protesku setengah sadar sambil menarik selimutku dan beranjak duduk di sofa panjang kamarku.

"Mandi sanah Fy!" perintah mama. Lalu melipat selimutku dan membuka daun jendela kamarku.

Oh ya, namaku Alyssa Saufika Umari. Ify merupakan panggilan kesayangan dari teman-teman. Aku memang dekat dengan Mamaku dan bukan berarti aku anak Mama seperti tokoh Rere di sinetron kesukaanku, High School Love Story. Selain penikmat sinetron, aku juga suka bernyanyi dan bermain musik. Satu hal lain lagi, aku suka banget yang namanya tidur dan ngemil. Eitz, aku gak gendut kok. Uups! Jam enam lewat lima belas menit. Kata Mama bangun tidur segera mandi hehehe ngikutin gaya Rere. Cabut dulu ya guys!

Setetes embun membasahi jemari kecil seorang yang telah berdiri kaku dihadapanku. Perlahan kuberanikan menatap wajahnya. Kini teriakkan cemprengku kembali memecahkan dua kaca daun jendela ruang kelas sekolahku.

Dimana sekolahku yang terkenal dengan segudang prestasi dan merupakan salah satu sekolah paling favorit di Ibukota Jakarta, tempatku dilahirkan. Aku segera lari terbirit-birit meninggalkan cowok itu.

"Fy ...," sepenggal namaku telah diucapkannya. Entahlah, aku merasa bahagia ketika mendengar suaranya.

Di balik setumpukan kayu berwarna coklat, kuhentikan derap langkahku dan mengatur nafasku.

"Fy ...." Suara sepenggal sapaan namaku kembali terdengar jelas di telingaku. Tanpa ragu-ragu aku segera membalikkan tubuhku dan berlari menghindarinya.

"Ify, jangan pergi!" seru cowok itu mengejarku.

Aku terus berlari mengelilingi seluruh sekolahku hingga sampai ke ujung sekolah. Rasanya seperti dikejar setan pagi-pagi.

Di ujung ruang kelas.
Aku bersandar dan mengistirahatkan kedua kakiku.

"You're my flashlight!" ucapku bahagia dan tertawa kecil sendirian.

"When tommorow come. Ify ...," bisikkan seorang cowok yang suaranya lagi-lagi tak asing bagiku. Bola mata elang berwarna biru itu kembali menatapku lebih lama.

Aku rindu menatapmu sedeket ini. Aku rindu helaan nafasmu. Aku rindu suara kecilmu.

"Fy, jangan pergi dariku!" pintanya kepadaku dan memegang erat jari jemari mungilku.

TET ... TET ... TET ...

Bel masuk pelajaran pertama telah dibunyikan. Aku dan si cowok mata elang biru ini bersamaan meninggalkan tempat ini menuju ruang kelas. Tanpa sepatah kata apapun yang terlontar.

"Rio, kenapa kamu terlambat bersama Ify? Kamu mau ikut-ikutan terlambat," tutur madam Nana, guru killer bahasa inggris yang selalu menghafalkan sifat keterlambatanku masuk kelas.

"Kutub utara dan kutub selatan saling berdekatan madam. Mana mungkin, Ify bisa pergi dari hati Rio," sahut Sivia, sahabat karibku yang selalu mendukung hubunganku dengan Rio.

"Ciyeee ...." Semua teman-teman sekelasku serempak melontarkan perkataan itu.

"Rio... Ify... kalian duduk di bangku paling depan dan satu bangku!" perintah madam Nana tegas dan melanjutkan pelajaran bahasa inggris.

Di taman sekolah.
Taman favorite yang selalu menemaniku dalam setiap duka maupun suka.

"Fy.. Jangan pergi dariku?" rengek Rio; si cowok mata elang biru.

"Hmm ...."~aku hanya menghela nafas dan tertunduk menikmati rerintikan hujan di dalam hatiku.

"Fy ...," ucapnya memanggil sepenggal namaku dan memelukku erat-erat. Seakan merasa kehilangan sosokku untuk selamanya. Sementara aku hanya bisa menahan isak tangisku.

Hatiku tak sanggup untuk menceritakan semua peristiwa ini. Aku lelah menjadi bintang yang paling bersinar dalam hatimu.

Aku segera melepaskan pelukkan Rio dan pergi meninggalkannya sendirian di bangku taman. Entah, alasan apalagi yang akan kukatakan ketika aku berusaha pergi darinya.

Daun mulai berguguran. Pohon-pohon menyapa dan semilirnya angin senja membawaku dalam sebuah cerita yang kesekian kalinya.

Kupandangi lukisan kecil yang telah kubungkus rapi. Kini kuletakkan pada tempatnya. Aku segera kembali ke rumah.

Di persimpangan jalan kecil.
Rasa sesak dalam dadaku semakin terasa. Kutahan semua rasa sakit itu.

"Ify ...," panggil Rio ketika melihat sosokku yang tak berada jauh darinya.

Aku masih berusaha menghindarinya. Rio pun masih berusaha mengejarku. Kini aku bersembunyi diantara lorong kecil. Kurebahkan perlahan bahuku. Rasa sakit dalam dadaku masih terasa bahkan semakin sakit. Tubuhku lemas tak berdaya dan bibirku pucat pasi. Lagi dan lagi aku hanya bisa diam dan menangis terisak.

Hujan telah datang.
Rio kalang kabut mencariku kemana-mana.

"Ify, jangan pergi dariku!" teriakkan Rio melengking hebat. Aku tetap bersih keras untuk tak peduli dengannya.

Kini semua keluarga patah hatiku sibuk membawaku keliling rumah sakit. Semua dokter cinta tak ada yang mampu menyembuhkan lukaku. Ya, aku sengaja tak memberi tahu Rio tentang penyakitku ini.

Hujan semakin deras dan petir semakin gentar menyerang. Seusai perjalanan pulang keliling rumah sakit. Aku melihat sosok terbaring kaku di persimpangan jalan rumahku. Aku segera menghampiri sosok itu.

Awwwww!

Aku menjerit histeris. Sosok itu telah berlumuran darah. Satu jam yang lalu, konon kabarnya sosok itu korban tabrak lari antara hati yang terluka dengan tanpa kepastian dari seorang perempuan yang dicintainya.

"Fy ... Jangan pergi dariku!" ucap Rio yang lemas terbaring menggenggam jari jemari mungilku.

"Aku tahu kamu terluka karena aku. Tapi aku lebih terluka karena aku harus pergi dari hatimu," jawabku dengan berat hati dan tak tega melihat Rio rapuh.

"Pergi dari hatiku? Jangan pergi Fy! Kenapa? Apa cerita semua tentang kita tidak pernah kau anggap?"

"Aku tak mau kau tahu sesungguhnya hatiku telah patah ketika kau selalu sibukkan dengan tugas-tugas organisasimu. Aku butuh waktu berdua denganmu, Rio," batinku meninggalkan Rio.

Cinta butuh waktu berdua untuk saling berkasih dan tidak saling melukai. Ketika cinta butuh alasan untuk pergi. Hati butuh kesiapan untuk menjawabnya. Akan tetapi, cinta terkadang tak butuh untuk dijelaskan.

"Pergi dari hatiku, ku mohon Rio!" ucapku untuk mengakhiri semua kisah yang salah ini.

"Egois kita sama kuat, Fy.. Aku yakin cinta kita sekuat egois kita dan seperti reaksi kimia NaCl yang berikatan," jawab Rio lirih dengan sayap-sayap kerapuhannya dan masih memandangi sosokku.

Pikiran ku ingin menjauh darimu
Meskipun itu sangat sulit
Ingin rasanya ku melepaskanmu
Walau mungkin ku tak bisa


"Pergi dari hatimu," tutup senandung syairku tanpa menoleh ke arah Rio.

Pergi dari HatikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang