TIGA

47.7K 1.8K 10
                                    

Sebelum benar-benar turun dari mobil. Anna berkaca di spion. Memastikan bahwa wajah dan rambutnya terlihat rapi atau setidaknya tidak berantakan seperti tadi pagi. Ia menenteng tas jinjingnya mengekori dr. Steve yang berada dua langkah di depannya. Ia terus melafalkan do'a semoga akhir dari semua ini tidak seperti bayangannya. Seorang pelayan menyambut mereka berdua dan menggiring mereka ke ruang makan yang dua kursinya sudah terisi oleh Liana dan anak laki-lakinya.

Mata Anna seketika membulat dan sama sekali tidak percaya dengan sosok yang ada di depannya. Seorang pria tampan dengan setelan kemeja itu kini menatap dan menyeringai jahat. Dan laki-laki itu adalah pria yang ditabraknya di bandara tadi pagi.

Anna tersadar dari lamunannya kala Liana menyuruhnya duduk dan dr. Steve sudah terduduk di ujung meja entah sejak kapan. Ia membalas senyum pria itu dengan lembut lalu duduk di samping Liana, tepat di depan laki-laki itu.

"Kenalkan Anna. Ini Jullian, Jullian ini Anna." Kedua orang itu saling berjabat tangan dengan canggung.

"Jullian bilang kau telat menjemputnya tadi."

Anna berdehem lalu menggumamkan maaf. Ia mengungkapkan alasannya dan pria itu terlihat mengangkat sebelah alisnya. dr. Steve mencairkan suasana dengan menyuruh memulai makan malamnya. Selama kurang lebih setengah jam yang terdengar hanyalah denting pelan suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Anna sesekali melihat wajah pria yang ada di depannya. Tampak serius dengan sesuatu yang ada di atas piringnya.

Setelah menenggak seluruh air dalam gelasnya. dr. Steve memandang anaknya lalu berkata. "Anna yang akan menjadi asistenmu, kau bisa mengurus izin praktik besok."

Pria itu mengelap bibirnya dengan tisu lalu memandang Anna dengan datar. "Aku akan memberitahukan alamat klinik. Kita bertemu setelah jam dua." sambungnya lagi.

"Anna, kau besok langsung ke rumah sakit saja. Tolong beritahu Clara apa-apa saja yang harus diketahuinya setelah kau pergi."

Anna tersenyum lantas mengangguk.

"Oia, bagaimana kabar adikmu?" Pertanyaan kali ini berhasil membuat Jullian mematung. Ia diam dan tidak menampakkan ekspresi apapun. Rasanya seperti tersentak saat kulitnya terkena percikan minyak panas.

"Dia baik-baik saja."

"Di mana dia sekarang?"

"Tentu saja di London."

"Jangan bohong." dr. Steve nyaris menggebrak meja kalau saja Liana tidak menahan tangannya. "Kau pikir aku tidak tau kalau dia pergi ke Korea?"

Anna merasakan keberadaannya di sini menjadi sangat tidak tepat. dr. Steve sepertinya sedang membicarakan masalah keluarga dan ia tidak seharusnya berada di sini. Tapi rasanya tidak sopan kalau menyela pembicaraan mereka.

"Di mana otakmu sampai mengizinkannya sekolah di Korea?"

"Bukankah aku sudah mengikuti keinginan ayah untuk menjadi dokter. Biarkan Sebastian melakukan apa yang dia mau."

dr. Steve mendengus dengan wajah merah padam. Selama perkenalannya dengan dr. Steve, baru kali inilah ia melihat dr. Steve benar-benar marah. Wajah putihnya berubah menjadi merah dan dadanya bergerak naik-turun seakan menyiapkan kekuatan untuk kembali murka.

"Siapa yang akan mengawasinya? Mau jadi apa dia di sana? Apa kau bisa memastikan dia tidak melakukan sesuatu yang salah."

"Aku selalu mengunjunginya tiga bulan sekali."

"Apa dia baik-baik saja?" Kali ini Liana yang bertanya atau lebih tepatnya melibatkan diri dan membiarkan dr. Steve berbaur dalam amarahnya sendiri.

Covenant Of MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang