Bagian 1

544 23 13
                                    

Langit cerah menampakkan awan yang begitu menawan disiang hari ini. Namun tidak dengan kondisiku saat ini yang seakan mendung gelap gulita tak ada secuil cahaya didalamnya. Dengan kondisi yang memprihatinkan. Penuh lebam sana sini, mata bengkak dan menghitam bekas tonjokan, dan bibir yang sedikit robek dibagian kanan. Ya, keadaan seperti ini memang sudah sering terjadi sejak dua tahun yang lalu.

     "Oh ya ampuuun beb, lo kenapa lagi? Lo dianiaya lagi sama cowok sinting itu?" bentak Vani, yang mengagetkanku dari arah pintu masuk café langganan kami.

    "Eh Vani lo ngagetin gue aja sih. Bisa mati jantungan gue disini!" balasku sambil ngelus dada.

    "Hehe ya maap. Eh tapi...tapi tunggu dulu" jawab Vani mengernyitkan dahinya sambil memandangiku dengan tatapan menyelidik, yang kubalas dengan menaikan sebelah alis bingung.

    "Oh to the God beeeeeb, beb mata lo beb, gue gak terima ya sahabat semati gue diginiin sama cowok sinting gak berperasaan!!! Gue harus telepon tante Rani , gue harus ngasih tau kondisi lo saat ini, gue juga mau laporin itu cowok sinting ke komnas pelindungan anak dan wanita, gue harus kasih pelajaran ke itu orang biar mampus!!!" sungut Vani menggebu-gebu sambil memegang pundakku.

    Vani memang sahabatku mulai aku pertama kali masuk perguruan tinggi. Dia wanita yang selalu ngelindungi aku dari orang-orang yang bertindak jahat ke aku. Oh ya sampai lupa, kenalin dulu aku Ghesila Samudra Hindia. Aku biasa dipanggil Ghesil, aku mahasiswi jurusan sastra bahasa di perguruan tinggi negeri di Jakarta. Aku sudah menginjak semester 7 yang sedang sibuk-sibuknya mengurus skripsi.

    "Udah Van udah, gue gak kenapa-kenapa kok ini cuma luka kecil aja paling lusa juga sembuh" timpalku dengan mengusap punggung vani agar tenang.

    "Gak bisa gitu dong Sil!!!" sungut Vani penuh emosi.

    "Van percaya deh sama gue, gue gak kenapa-kenapa. Lo juga jangan bilang siapa-siapa ya tentang keadaan gue saat ini? Pliiis gue mohon sama elo ya? Sandi kemarin cuma lagi emosi aja jadi gue deh yang kena getahnya, lo tau sendiri Sandi lagi banyak kerjaan di kantornya terus kemarin gue tanya-tanya  waktu pulang kantor, mungkin dia kecapekan jadi emosi deh ke gue" ucapku sambil memasang ekspresi memohon ke Vani.

    "Ya udah deh tapi lo janji sama gue, kalo kondisi lo sampek kaya gini lagi gue gak bakal tinggal diem kaya sekarang ngerti!! Kata Vani dengan nada kesal.

    "Iya bebs gue janji kok" jawabku dengan memeluk Vani.

    "Sip, gue laper ya udah makan yuk" balas Vani masih sedikit kesal yang kubalas dengan anggukan.

**

    Setelah pulang dari café langganan kami berdua, aku langsung menuju rumahku di kawasan Menteng. Dirumah ini aku tinggal berdua dengan suami tercinta yang menikahiku tiga tahun lalu setelah aku lulus SMA. Sandi Bumi Raharjo. Pria yang sangat kucintai walaupun dia sering menyakitiku. Semua sudah berubah semenjak dua tahun yang lalu namun aku masih tetap mencintainya tanpa berkurang sedikit pun. Sandi berubah sejak perusahaan tempatnya bekerja hampir mengalami kebangkrutan.

    "Bi Sarni.....???" aku mencoba berteriak memanggil Bi Sarni pembantu rumah tangga yang sudah mengabdikan jasanya selama tiga tahun  ini.

    "Iya mbak, saya sedang menguras kamar mandi dibelakang" sahut Bi Sarni sembari berlari kecil ke arahku.

    "Oh gitu bik, hmm mas Sandi sudah pulang belum bik?? Soalnya tadi katanya mau pulang lebih awal, jadi sekalian saya mau masakin mas Sandi rendang, dagingnya masih adakan??" kataku kepada Bi Sarmi.

    "Belum pulang mas Sandinya mbk. Masih ada mbak di kulkas, mau sekalian saya bantu memasaknya??" ucap Bi Sarni.

    "Gak usah, bibi lanjutin aja ya kerjaannya" balasku yang dijawab dengan anggukan oleh Bi Sarni.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

the HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang