Prolog || Buku Hijau

747 18 0
                                    

Ὦὣ⓿ὣὮ

Menggapai bulan.

Berlari mengejarnya dengan sekuat tenaga.
Berusaha menggapainya diantara ribuan bintang.
Memilih satu diantara jutaan benda di langit.

Hanya dia yang menemanimu pada gelapnya malam.
Bersama bintang-bintang menjadi pelengkapnya.
Hanya dia yang bersinar paling cerah.
Menunjukkan bahwa dia yang paling paling pantas untuk dilihat.

Tidak mudah meraihnya.
Namunku tak menyerah.
Ku serahkan seluruh tenagaku.
Berusaha menggapainya.
Mungkinkah aku berhasil?
Meski mustahil, aku tak menyerah.
Hanya Tuhan yang dapat menentukannya.
Menentukan, dapatkah aku menggapaimu, Ardhika Elano.

Calista.

Ὦὣ⓿ὣὮ

Cowok itu menutup buku bersampul hijau itu dengan kasar. Nyaris saja ia melempar benda itu ke sudut ruangan jika saja ia tak ingat seberapa pentingnya buku itu bagi seseorang.

Ardhika Elano. Cowok itu terduduk pinggir kasurnya dangan seragam yang berantakan. Rambutnya hitam yang acak-acakkan, lingkaran hitam di matanya dengan napas yang juga tidak teratur membuat semua orang yakin bahwa cowok tidak sedang baik-baik saja.

Menyesal. Hanya itu yang dapat ia katakan sekarang. Setelah dua tahun terakhir tidak menyadari sesuatu yang sangat penting baginya. Napasnya yang tak beraturan masih menggema dikamarnya.

Kamar yang kini sudah seperti kapal pecah dengan berbagai buku berserakan disudut-sudut kamar hanya demi mencari buku bersampul hijau itu. Matanya terpejam berusaha mengendalikan emosinya yang sedang memuncak.

Raka melirik buku itu sejenak. Tanpa berpikir panjang, cowok itu segala mengambil buku itu dan melangkah keluar dari kamarnya dengan keadaan yang sangat kacau.

Ὦὣ⓿ὣὮ

Setelah membelah jalanan Jakarta, cowok itu bergegas memasuki sebuah rumah sakit. Rumah sakit jiwa yang terletak di ibu kota itu tampak sepi dari lobby. Raka melangkah tanpa ragu-ragu. Emosinya yang tadi kian memuncak kini perlahan menyurut tergantikan oleh rasa rindu pada seseorang.

Jeritan, suara pecahan benda dan nyanyian yang berasal dari mulut pasien disana tak dapat menghalangi Raka untuk menghentikan niatnya. Setelah menyusuri koridor lantai dasar, Raka terpaku pada sebuah pintu berwarna krem pucat. Sejenak Raka terdiam, memandangi pintu itu dengan menerawang. Mengira-ngira apa yang sedang terjadi di dalam.

'Gue gak boleh kayak gini terus,' yakin Raka dalam hati.

Setelah cukup siap, Raka menggenggam kenop pintu dan segera membukanya. Melihat kamar itu rapi dan kosong membuat Raka kalap dengan kepanikkan. Hatinya gelisah, tak tenang.

"Cal! Calista! Lo dimana?" katanya sambil memeriksa disegala sudut ruangan. "Arggh!" geram Raka. Cowok itu tak menemukan Cal dimanapun, membuatnya semakin dilanda kekhawatiran dan ketakutan.

Raka langsung berjalan keluar ruangan itu dan langsung berpapasan dengan seorang suster.

"Sus, pasien dikamar ini ada dimana ya?" Raka memegang kedua bahu suster itu, yang membuat suster itu terlonjak kaget.

"No-Nona Calista sedang ditaman," ucapnya suster terbata-bata.

Raka langsung melangkah menuju taman, meninggalakan suster itu yang masih berdiri ditempatnya. Sungguh, Raka tidak ingin Cal kenapa-napa, hanya itu saja.

Betapa beruntung Raka melihat cewek yang sedari tadi memenuhi pikirannya itu, sedang duduk diatas kursi roda dengan pandangan menuju langit seolah menerawang. Lega dan sesak dirasakan Raka secara bersamaan. Dengan langkah perlahan, Raka menghampiri cewek itu. Raka berlutut dihadapan cewek itu yang sama sekali tak menghiraukan keberadaan Raka. Dengan perlahan tangan Raka menyentuh tangan Cal. Menggenggam erat tangan gadis itu seolah tak ingin melepaskannya.

Apapun yang terjadi, Raka akan tidakkan meninggalkan cewek itu. Perisai hidupnya hanyalah Cal. Cewek yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk dirinya.

Ὦὣ⓿ὣὮ

16.09.2015

Bulan yang cerah.


CalistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang