Gadis manis dengan jilbab sederhana itu menatap lekat-lekat pria di depannya. Pria berkacamata, kurus dan tampak pemalu. Pria itu menunduk dalam sambil tersenyum malu. Sesekali ia mengangkat wajah untuk mencari kepastian kapan ia akan mendapatkan jawaban dari gadis cantik di depannya.
Selain dua muda-mudi tadi, ada orang ketiga yang menjadi saksi, yaitu Puput, teman si manis yang mengamati mereka seperti juri yang sedang menilai sambil berkali-kali melirik jam di pergelangan tangannya. Ia telah bosan menunggu. Sesekali ia menggeleng saat tak kunjung melihat perubahan. Hingga sekian menit berlalu, gadis manis itu hanya menghela nafas dengan wajah tidak senang sambil sesekali menatap pemuda di depannya.
“Mil... gimana? Kok gak dijawab?” pelan lelaki berkacamata. Beberapa waktu yang lalu ia telah mengemukakan perasaannya—menyukai Mila—lengkap dengan penjelasan konkret kenapa ia bisa menyukainya. Alim, sholehah, baik hati, cukup dewasa dan yang terakhir; cantik.
“Mila, dipercepat aja,” keluh Puput. Mila, gadis cantik itu menoleh pada kawannya. Sedetik kemudian beralih pandang kepada pria yang tingginya hampir sama dengannya itu.
“Ijo,” panggil Mila padanya. Pemuda itu mengangkat kepala dengan malu-malu. Duuuh, ni cowok parah banget, sih, rutuk Mila dalam hati.
“Nama saya Dalijo, Mil, buka ‘Ijo’,” katanya.
“Dari pada kupanggil ‘Dal’, pilih mana?” Mila mulai sewot. Dalijo agak kaget. Kawan Mila yang menunggui mereka menepuk jidat dan menggeleng-gelangkan kepala. Lalu berbalik, seperti tidak ingin tahu kelanjutannya.
“Kamu cuma tau aku luarnya aja, kan? Kamu mikir-mikir dulu dong, kalo mau nembak cewek. Setidaknya kamu harus tau kriteria cewek itu,” kata Mila lancar, tanpa macet sedikitpun. Ia seperti telah hafal. Ini sudah kesekian kalinya ada lelaki yang menyatakan perasaan padanya. Dan selalu, jawaban Mila seperti ini. Tidak berubah.
“Maaf... memangnya... kriteria Mila, kayak bagaimana?” tanya Dalijo. Mila tersenyum. Terlihat seperti senyuman penyihir yang jahat.
“Mau tahu kriteria lelaki idamanku?” Mila melangkah maju sedikit. Dalijo agak mundur, takut. Yang ia tahu, Mila adalah gadis yang lemah lembut dan baik hati. Ia tidak menyangka Mila ternyata punya sisi yang menyeramkan begini. Sebetulnya ia segera ingin pergi begitu tadi Mila berbicara dengan ketus. Tapi ia lebih takut lagi untuk kabur. Bisa-bisa Mila menerkamnya karena marah. Khayalan Dalijo terlalu mengada-ada.
“Kriteria lelaki idamanku, pertama, yang sholeh kayak Nabi Muhammad,” Mila maju selangkah, membuat Dalijo mundur selangkah. Ia lalu melanjutkan, “Tampan seperti Nabi Yusuf,” maju lagi selangkah dan Dalijo kembali mundur, terus begitu sambil meneruskan, “Setia kayak Ali bin Abi Thalib, pemberani seperti Umar Bin Khattab, penyayang seperti Abu Bakar, cerdas dan kaya seperti Nabi Sulaiman, sabar seperti Nabi Ayyub, kuat seperti Nabi Dzulkarnain dan disayang Allah seperti Nabi Musa.”
Buk! Punggung Dalijo tak dapat lagi mundur karena terhalang tembok. Mila tersenyum puas. Dalijo seperti anak kecil ingin menangis. Tanpa berkata apa-apa, ia pergi secepat mungkin dari hadapan Mila. Mila menghela nafas.
“Put, ayo!” panggil Mila. Puput mendekatinya. Mereka berdua menuju masjid mengingat waktu ashar hampir tiba.
“Kamu keterlaluan, Mil!” ucap Puput. Mila berhenti melangkah. Kaget dengan ucapan sahabatnya. Biasanya ia tidak pernah protes. “Seperti biasa,” lanjut Puput sambil menarik Mila agar terus berjalan.
“Mau gimana lagi, Put,” kata Mila. “Mereka cuma lihat aku luarnya aja. Lagian aku harus jawab apa lagi? Aku gak suka sama dia,” Mila membela diri.
Mila memang gadis yang cantik. Hidung mancung, kulitnya kuning langsat, bibirnya ranum, matanya indah, tingginya proporsional, sholihah, baik hati—kecuali dalam urusan seperti di atas. Ia sempurna seperti namanya, Kamila. Namun tidak seperti perempuan-perempuan lain yang menginginkan kecantikan sebegitu rupa, Mila merasa dengan apa yang ia punya membuat dirinya mendapat cobaan yang cukup menyusahkan. Banyak lelaki yang menyukainya dan sangat mudah untuk ditebak bahwa mereka hanya menyukai fisik dirinya saja. Orang tua Mila adalah alim ulama’ sehingga sebagai anak, ia dididik dengan baik mengenai akhlak moral untuk menjaga pergaulan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
Romance"Kriteria lelaki idamanku, pertama, yang sholeh kayak Nabi Muhammad, tampan seperti Nabi Yusuf, setia kayak Ali bin Abi Thalib, pemberani seperti Umar Bin Khattab, penyayang seperti Abu Bakar, cerdas dan kaya seperti Nabi Sulaiman, sabar seperti Nab...