Cahaya 5.1

104 12 4
                                    

Sinar mentari yang berwarna kuning ke-oranye-an menembus melalui jendela kamar yang masih terbuka itu, menerpa ketiga nya yang tengah duduk termangu di kamar Icha. Dika masih berkutat dengan pikirannya yang sungguh sangat pekat dan rumit, terlihat dari mukanya yang lesu dan masih memandangi burung bangau yang terbang di luaran sana. Sama hal nya dengan Zahra. Sedangkan Icha, asik dengan cemilan yang ia pegang.

"Ah,"-Icha mengambil snack lalu ia makan-"waktuku terbuang sia-sia."

Dika memalingkan muka orientalnya ke arah si empunya suara tadi. Namun pandangannya mengarah ke lantai. "Aku... Bingung mau bilang apa."

"Kalo kamu bingung, ngapain juga ngajakin ketemuan? Aneh dasar." Icha memakan lagi snack-nya. "Kamu juga, ngapain ikut-ikutan dika sih Za?"

"A-aku ju--"

"Jangan bilang kamu juga masih bingung."

Zahra hanya menunduk, menandakan bahwa apa yang dikatakan Icha 'kamu juga masih bingung' itu benar adanya.

"Sudahlah." Icha berjalan menuju pintu kamarnya lalu dibukanya pintu itu. "Aku pengin istirahat."

.

.

Angin yang mengalir pelan menggerakan sedikitnya beberapa helai rambut cepak milik Icha. Pitanya yang merah juga sedikit bergoyang karenanya. Bahkan rok selututnya serta cardigan miliknya ikut bergerak jua. Apakah malam ini angin begitu kencang? Mungkin saja. Tapi itu tak membuat Icha enggan untuk keluar hanya untuk membeli sesuatu di minimarket.

Icha, ditemani dengan cardigan yang menyelimutinya serta lollipop yang menancap di mulutnya, sedang berjalan pelan menuju rumahnya. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling guna menikmati suasana malam. Namun tiba-tiba saja Ia melihat seseorang yang baru saja ia temui tadi pagi. Bocah itu, ya bocah yang tadi pagi bertanya 'dimana kak dika'.

"OY BOCAH," pekik Icha lantang.

Bocah itu langsung melihat Icha yang melambai-lambai ke arahnya. Ia pun bergegas menghampiri Icha.

"K-kenapa kak?"

"Jangan melihatku seperti itu." Icha mengibas-ibaskan tangan kanannya. "Aku gak bakal gigit kok. Kamu malem-malem gini masih kelayaban aja."

"Tadi ikut kak dika ke rumah temennya. Tapi berubung dah malem aku disuruh pulang duluan."

"Emangnya dia punya teman? Maksudku... Ah lupakan,"-Icha mengusap tengkuknya- "Aku sepertinya baru melihatmu. Kau adiknya atau siapa?"

"BUKAN?!, Aku bukan adiknya," Kata Bocah itu.

"Lalu? Sepupunya? Piaraannya? Atau bocah yang ditemukannya di jalanan?"

"Ya, aku cuma pengganggu, kak."

Deg

"B-bukan itu m-maksud--"

"Tak apa kak." Bocah itu nyegir kuda ke arah Icha. "Tapi karena kakak udah nyinggung itu jadi kakak musti tanggung jawab."

"Tanggung jawab apaan? Beli permen?!"

Bocah itu menggerakkan dagunya ke atas dan ke bawah. Matanya juga berkilat-kilat berharap Icha mau.

Icha tak sanggup melihat ekspresi itu. Akhirnya segelontor uang pun menghilang dari sakunya. Aneh ya? Padahal bocah itu baru ia kenal.

Dengan tanpa aba-aba bocah itu langsung lari girang ke toko yang tadi icha datangi. Hey! Yang bisa melihatnya kan hanya dika, zahra dan icha, lalu bagaimana bisa ia membeli permen? Tentu saja tak bisa. Beberapa kalipun bocah itu memanggil, si kasir tetap saja melongo dan acuh. Itu membuat bocah menyerah dan kembali lagi ke Icha yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Loh gak jadi?," Ucap Icha.

"Enggak kak." senyuman penuh paksaan mengembang di bibir bocah itu.

"Sini." Icha mengambil duit yang masih bocah itu pegang. "Beli permen aja gak bisa. Hadeeh."

.

.

Bocah berjalan dengan girang. Tangan kanannya memegang tangan kiri icha sedangkan tangan kirinya ia gerak-gerakkan ke depan dan belakang. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke rumah dika, bersama menembus semilir angin malam.

Sampailah mereka di sebuah gerbang—gerbang rumah dika tentunya. Bocah itu dengan sigapnya membuka pintu gerbang itu. Ia masuk bersama icha, dan didapatinya Dika sudah duduk di pelataran dengan lesu. Mukanya tampak sedikit pucat sedangkan pandangannya mendongak, mengarah ke langit,entah bintang apa yang sedang ia lihat.

"Loh kalian." Dika sedikit tersentak dan seketika menoleh ke arah mereka berdua.

"Ka dika udah pulang toh?" tanya bocah itu.

"Aku nyariin kamu kamvrett. Pake ngilang segal—"

"Dika," pekik lirih Icha memotong perkataan Dika.

"Oh iya, cha. Sini duduk." Dika menepuk-nepuk lantai di sampingnya, mempersilahkan icha tuk duduk di sana. "Mau minum apa?"

"Gak usah!" Icha menghentikan gerakan dika yang akan bangkit lalu mengambilkannya minuman. "Aku... aku...."

Dika mengusap frustasi sebagian mukanya. "Jadi kau sudah tau?!"

Icha mengangguk pelan. Semilir angin juga berhasil menerbangkan beberapa helai rambutnya,membuat ia menyelipkan rambut itu ke daun sela telinganya.

"Sudah tau apa kak?" tanya bocah, namun Dika hanya diam. "Tau apa, kak icha?" bocah menghadap ke icha dan bertanya padanya juga, namun icha juga masih tak mau membuka mulutnya.

"Kita,"-dika mengusap rambutnya-,"bicarakan besok saja, Cha."

Bocah itu mengusap tengkuknya, bingung. Sebenarnya apa yang mereka berdua maksud? Pikirnya. Apa mereka sudah tau orang tua bocah itu? Atau apa? Pikiran itu masih membayangi otaknya. Hanya membanyangi, karena bocah seusia dia pastilah tak sampe berpikir kemana-mana.


--to be continued--

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------lohaaaaa... risqi balik lagi ini nyahahahaha.

oh mulai sekarang kita abaikan panggilan 'ryo' atau 'yo' atau sejenisnya ya. tapi kalo masih mau manggil itu juga gpp sih wekaweka. labil lo ris.

nah, gimana nnH chap ini? absurd, 'kan? iya gabut nih. mikirin DINAMIKA2015 sama dosen yang jarang masuk jadi harus diganti deh pas libur. huft.

oke kalau suka jangan lupa vote ya

ja ne

selasa, 6 oktober 2015


natsu no HOTARU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang