Tato di punggungku berbentuk sayap malaikat, sama persis seperti tato di punggung Hyde. Bedanya, tato milikku masih merah karena baru kemarin digambar oleh Kai. Aku sengaja memakai kaos hitam tanpa lengan malam ini, supaya ujung sayap di kedua pangkal lenganku terlihat dan aku bisa pamer. Tidak semua hydeist berani memilikinya. Tidak semua punya nyali.
Tidak semua seperti aku.
Kuhadapi cermin. Postur tubuhku kini ceking, hasil diet selama beberapa bulan. Wajahku berubah tirus seperti yang kuinginkan. Daguku menjadi lancip dan tulang pipiku terlihat jelas. Tetapi, alisku masih terlalu tebal. Seharusnya tidak selebat ini. Maka, kuambil pisau cukur dan kukerik barisan semut itu. Mudah. Kurapikan sedikit dengan pinset dan pensil, dan kini aku memiliki alis tipis yang melengkung.
Aku menaburkan bedak di wajah. Kusapukan juga perona pipi. Kupertajam bentuk mataku dengan bayangan hitam di pelupuknya. Kukenakan lipgloss dan kusapukan sedikit gliter. Setelah beberapa kali mencoba, kini aku mahir melakukan semua itu.
“Hyde? Vokalis banci dari band Jepang itu?”
“Dia bukan banci, Jo. Punya istri dan anak, Gila!”
Jo tertawa. “Lu tuh yang gila! Hydeist lu sekarang?”
“Hydeist, gue!”
Suara Hyde dan gitar listriknya memenuhi kamarku, berteriak begitu kuat seakan-akan dengan musik dia bisa menghancurkan dunia. Aku berjingkrak-jingkrak seperti orang kerasukan dan memang ruh Hyde sedang merasukiku. Kuraungkan gitar listrik di tangan, mengikuti setiap melodi yang kudengar. Kuteriakkan keras-keras lirik berbahasa Jepang walau dengan nada sumbang. Kutirukan pose dan ekspresi yang biasa Hyde lakukan di atas panggung.
“Anjar! Matikan musik itu! Anjar!” Samar-samar kudengar suara kakak dari luar kamar. Dia menggedor pintuku.
“Anjar! Kamu sudah gila ya? Anjar! Matikan musik itu!”
Aku menata rambutku. Dulu rambutku ikal dan pendek. Sengaja kini kupanjangkan sebahu dan kuluruskan. Guru-guru kerap memarahiku karenanya. Aku dibawa ke ruangan mereka untuk diintimidasi, tetapi ancaman-ancaman mereka sama sekali tidak kupedulikan. Aku justru mengecat coklat rambutku beberapa hari yang lalu.
Satu pasang dengan kaos hitam tanpa lenganku adalah celana panjang jin warna sama, syal abu-abu dan topi derby. Pergelangan tanganku dihiasi gelang-gelang perak. Sebuah cincin bermata besar melingkar di jari tengah kananku. Sebatang rokok menyelip di mulutku.
Hydeist adalah sebutan untuk orang-orang seperti aku.
Aku mendengarkan musik Hyde setiap saat sampai aku hapal di luar kepala. Aku mengumpulkan semua album, single, dan DVD konser Hyde. Aku memburu majalah-majalah berisi artikel tentang Hyde. Aku membeli suvenir-suvenir berbau Hyde. Aku bermain musik yang dimainkan oleh Hyde dan aku berpenampilan seperti Hyde.
Entah sejak kapan.
“Anjar! Keluar kamu dari kamar itu!”
Dan entah untuk apa.
“Anjar! Keluar kamu!”
Aku mematikan komputer dan musik Hyde pun berhenti. Sebagai gantinya, kudengar suara orang-orang saling berteriak di luar ruangan. Kubuka pintu kamar, kudapati kakakku berdiri di depan pintu dengan ekspresi marah. Dia berkata, “Gila kamu, Anjar! Sudah gila, kamu!”
Aku tidak menjawab. Kuambil kunci mobil.
“Mau kemana kamu?”
Tidak kutanggapi. Kulangkahkan kaki melintasi ruang keluarga yang berantakan. Sejumlah asesoris rumah pecah, serpihan-serpihannya bertebaran di lantai. Ayah dan Ibu ada di sana. Berdiri berhadapan di tengah ruangan. Mereka tidak melihat aku lewat. Mereka terlalu sibuk bertengkar. Tangan mereka saling menunjuk dan mulut mereka mengeluarkan makian-makian yang tidak pantas diucapkan oleh sepasang suami istri.
Mungkin karena ini dan sejak lama sekali.
“Anjar! Kamu tidak boleh pergi! Keadaan rumah sedang seperti ini.”
Kakak mengikutiku sampai keluar rumah. Aku menghampiri mobil sedan tua di halaman depan. Kubuka pintu kendaraan itu, lalu aku duduk di balik kemudi. Kulihat wajah kakak kini ketakutan. Dia hampir menangis. Aku tidak tega melihatnya, tetapi aku harus pergi. Aku sudah ditunggu oleh teman-teman satu band-ku. Besok kami tampil di salah satu kafe bergengsi di Kemang, jadi aku tidak bisa bolos latihan.
“Tolong, Anjar. Jangan pergi. Kakak takut.”
Kutatap wajah kakak dalam-dalam. Dia menangis di samping jendela mobilku. Kuturunkan kaca jendela. Kuulurkan tangan untuk mengusap air mata di pipinya. Kuberikan senyum dan kuajak dia pergi. “Ayo, Kak. Ikut aku! Kutunjukkan kafe favorit Hydeist.
Jauh lebih nyaman daripada di sini.”
Kakak terdiam seraya menatapku ragu-ragu. Dia menelan ludah, lalu memutuskan untuk ikut. Malam itu, kami lari sejenak dari dunia, menghindar dan mencari sosok pengganti untuk kami idolakan.
Malam itu, kami menyebut diri kami Hydeist.
***
untuk Hydeist
Catatan: Hydeist adalah sebutan untuk kelompok pemuja Hyde, penyanyi Jepang beraliran rock. Hyde bertubuh kurus, pendek dan berdandan cantik. Selain menyanyi, Hyde juga bermain gitar, mencipta lagu dan menulis lirik. Dia tergabung dalam sebuah band bernama L’Arc-en-Ciel.