D

546 42 22
                                    

EMPAT
Disabled Feelings

(-)

Sinar matahari pagi menyeruak samar melalui gorden putih kamar Aurel. Mengusik ketenangan tidurnya. Mata yang bengkak akibat kelelahan menangis membuat dirinya terlihat lebih berantakan dari zombie yang kelaparan.

Gadis itu berteriak gusar, suaranya terdengar serak tanpa arti. Sengau. Jendela kamar yang dibiarkan terbuka semalaman membuat dirinya tetap meringkuk di dalam selimut. Kepalanya berdenyut-denyut hebat, seperti ada benda keras yang menghantamnya.

Tanpa diukur suhu tubuhnya, ia juga tahu penyakit ini. Demam.

Ingin rasanya memejamkan mata sejenak, setidaknya dapat memperpanjang waktu istirahat. Semalaman ini ia berjaga, terduduk lemas di kusen jendela. Membiarkan angin malam mengeringkan air matanya.

Aurel meraih ponselnya, masih dengan wall update yang sama. Membuat pikirannya kembali beradu. Segera ia tepis rasa kasihan itu, kemudian mengelus pelan layar hitam di genggamannya. Mengetikkan sesuatu, lalu menekan simbol send di sana.

Ia bangkit dari ranjang, mmperhatikan pantulan wajahnya di cermin coklat yang bertengger manis di samping ranjangnya. Aurel tersentak ketika mendapati sesosok wajah asing dengan kantung mata yang jatuh melebar. Seperti pemain film horor profesional.

Lagi-lagi, gadis itu berteriak. Teriakan parau diikuti derai tawa tidak jelas.

Tatapannya hampa. Seolah tidak ada masalah di dalamnya. Mulutnya datar. Seolah tidak ada penolakan di dalam sana. Yang ia lakukan hanyalah menunggu semuanya berjalan sempurna, tanpa sedikitpun melakukan tindakan.

Pengakuan bodoh yang harusnya ia simpan rapat-rapat.

Duto is calling.

Aurel melihat ponselnya yang bergetar lumayan kecang, menandakan ada telepon yang masuk. Ketika melihat nama si penelepon, jantungnya kembali didera rasa perih. Seperti ada lemon sialan yang meneteskan sarinya ke atas luka itu.

Entah baik atau buruk, Aurel mengangkat telepon darinya.

"Aurel," panggil sebuah suara di seberang sana. Serak, sama sepertinya.

"Iya," jawab si penerima telepon. Satu kata yang kaku untuk diaplikasikan dalam konteks 'mengait hubungan' sepertinya.

"Aku mau ngomong penting sama kamu," tutur suara itu lagi. Kini dengan nada satu oktaf lebih ceria dibanding kata sebelumnya.

Aurel berdehem agak keras, memperbaiki suara paraunya. "Gue demam, nggak bisa keluar sama lo."

Kemudian, hening.

Keduanya menghela napas berat, masih ragu ingin melanjutkan basa-basi ini atau menutupnya begitu saja.

"Aku yang ke sana."

Sambungan ditutup.

Bodoh. Mengatakan hal buruk saja sudah membuat pasokan oksigennya nyaris habis. Apalagi menyebutkan kata sakral itu.

Putus.

Ia tidak sanggup, dan memang tidak ingin bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi berikutnya.

::::

"Aurel," awal pembicaraan yang sama seperti percakapan di telepon tadi.

Sang lawan bicara mengangkat wajahnya, menanggapi tanpa suara.

"Demam dari kapan?"

AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang