Hari hari berlalu dengan cepat. Hingga pengumuman disekolah pun terdengar.
"Test.. satu, dua, tiga.." Suara pak Resyawan terdengar dari speaker sekolah.
"Selamat siang semuanya, hari ini saya ingin memberitahukan perihal peserta lomba Matematika dan Fisika serta lomba lomba yang lainnya. Pertama, lomba Matematika dan Fisika akan diikuti oleh Morinka Lavender dan Kevin Jonathan dari kelas 11 IPA 4. Lalu, untuk lomba dance akan diwakilkan oleh Moriska Lavender, Sarah Adelia, Yunri Handriana dan Fasha Handelin. Kemudian untuk lomba-... Nah, sekian pemberitahuan dari saya. Atas perhatiannya terima kasih." Begitu mendengar pengumuman tersebut, Orix dan Lyva menghela nafas dan saling menatap. Seolah saling menghibur satu sama lain.
"Eh, lo denger kan tadi.. Kak Rinka yang ngewakilin lomba Mate sama Fisika, terus Kak Riska yang ngedance sama temen temennya. Gue denger mereka kembar tiga, tapi kok yang satu lagi ga pernah kelihatan ya?" Seorang gadis yang diperkirakan Orix kelas 10 itu lewat begitu saja mengatakan hal seperti itu di depan Lyva. Orix tau benar rasa sakitnya.
"Iya, Kak Rinka sama Kak Riska tuh berbakat dalam bidang masing masing ya. Keren banget. Soal kembarannya yang satu lagi, gue ga pernah denger. Gue kira mereka cuma kembar dua." Ditambah lagi dengan jawaban temannya. Orix ingin sekali menonjok kedua adik kelasnya itu. Tapi itu bukan salah mereka juga. Tak ada salahnya membicarakan kakak kelas yang berbakat. Hanya saja mereka tidak mengakui keberadaan Lyva.
Orix menepuk pundak Lyva. "Santai mabro, Tuhan tau kemampuan lo, gue tau kemampuan lo, Morellox ada buat lo, Lyv."
Lyva menepis tangan Orix. "Ck, elah.. peduli setan dengan hal itu." Meski Lyva mengatakan hal itu, namun wajahnya tetap saja masam.
"Gue sama Eva juga ga ikutan gituan Lyv."
"Iya! Gue tau! Tapi yang dikenal orang dari keluarga Lavender ya cuma Rinka sama Riska!" Lyva meninggalkan Orix yang mematung disana. Hentakan yang besar dalam diri Lyva. Ini bukan hal baik.
"Dia.. biarkan dia sendiri.. berusaha hingga dia berdiri sendiri. Dia yang akan paling bahagia." Suara khas Kevin mengagetkan Orix. Mengapa lelaki ini seperti hantu?
***
"Hyaa.. yayayaya.. Indahnya duniaaa.. lomba tinggal sebulan lagi... hyayayayaya.." Riska menari nari di lorong kelas.
Bruk.
"Aw! Etdahh! Lo ya Lyv! Jalan pake mata atuh! Masa nabrak gua!" Riska bangkit dan membersihkan roknya.
"Idih, lo aja tuh yang kegatelan. Siapa suruh nari nari di jalan, lu kira ini sekolah punya nenek moyang lu apa?! Ga usah sok nari nari gitu deh! Nunjukin bahwa lo yang kepilih lomba!" Riska dapat melihat dengan jelas air muka Lyva. Badai sedang menyelimuti hatinya. Namun bukan Riska jika ia memaklumi kembarannya itu.
"Dih, udah nabrak orang bukannya minta maaf malah marah marah! Kalau lagi marah jangan imbasin ke orang lain dong Mbak!" Riska kembali menari nari di lorong, bak cacing kepanasan.
Ponsel Lyva berdering. Dan seperti biasa, Lyva langsung berdecak sebal. "Lagi pengen sendiri malah nelfon gua. Ck, elah si- Reas?"
"Ada apaan nelfon gue?" Jawab Lyva cuek.
"Lo dimana sekarang?"
"Di jonggol. Ya, menurut lo aja.."
"Lyv, gue serius."
"Di sekolah lah! Masa di diskotik!"
Reas merasa ada yang tidak beres dengan Lyva. "Lo lagi ada masalah?"
Suatu tekanan mendesak rongga dada Lyva. Ia sangat lemah sekarang, baru kali ini ia ingin menangis. Dihadapan seorang cowo.
"Lyv? Lo masih disana? Lo baik baik aja kan?"
Terdengar isakkan kecil. "Ga Re, gue ga baik baik aja."
***
"Kita bakal terkenal! Tenang aja Lyv! Kita bakal jadi yang terhebat kok! Ga cuman temen sekolah lo! Tapi seluruh dunia akan kenal sama lo!" Lyva tertawa. Ia tertawa melihat Reas yang begitu semangat dan optimis. Reas yang terlihat seperti anak kecil yang tidak pernah menyerah. Senyum Reas melebar saat melihat Lyva tertawa karena ia memainkan pajangan pesawat terbang.
"Nih Lyv! Kita bakal terbang naik pesawat ini! Kita bakal terkenal! Kita bakal keliling dunia naik pesawat ini!" Lyva tertawa. Bahkan untuk hal kecil seperti itu. Ya, itu tandanya ia sedang bersedih.
Reas sadar, gadis ini sangat rapuh. Sangat unik. Sangat.. sangat.. membuatnya ingin melindunginya.
"Okay, cukup dengan tingkah bocah lo itu Reas." Reas tersenyum.
"Ya, Lyv. Sekarang kita akan berkerja keras."
"Kerja keras!"
***
"Nih." Andre menyodorkan minuman dingin pada Riska.
"Eh?"
"Buat lo. Tenang aja, gue ga akan racunin lo kok." Riska tersenyum.
"Bukan masalah racun. Gue cuma takut pacar lo marah." Andre terkekeh.
"Gue single kok. Modus banget." Semburat merah bersemu di pipi Riska. Ia ketahuan.
"Apaan sih, siapa yang modus coba?" Andre menoel pipi Riska.
"Ini apa? Ini bukti jelas, Ris."
"Itu.. tadi cat.. iya cat.." Andre tertawa karena sikap Riska.
Haduh nih cowo, bikin melt aja.. udah baik banget ngasih minuman.. ketawanya manis banget lagi! Batin Riska.
"Makasih ya, ini buat ganti minuman kemaren kemaren bukan?" Tanya Riska. Andre tertegun.
"Hah? Gue ga- Eh, iya iya.." Andre terlihat menutupi sesuatu. "Maaf ya soal itu. Ekhem, gue punya urusan.. gue pergi dulu ya." Riska hanya mengangguk, bingung dengan sikap Andre.
Manis manis tapi mencurigakan. Cakep cakep tapi aneh. Itulah Andreas.
***
Rinka melangkah menuju tumpukkan novel. Ia sudah bosan belajar terus. Inilah surganya.
Mata Rinka tertarik dengan satu buku. Ia langsung ingin mengambilnya.
"Eh, sorry.. Alva?" Lelaki dihadapannya terlihat sama terkejutnya dengan Rinka.
"Lo..? Oh, temen sekolahnya Kevin ya? Bisa gitu ya, ketemu secara ga sengaja." Apa maksudnya ia berkata begitu? batin Rinka.
"Eum, iya.. itu bukunya.. bu-"
"Enggak, nih.. gue bisa cari lagi nanti. Kalau lu mau, ambil aja." Alva menyodorkan buku itu pada Rinka. "Lu mau ga? Buku ini tinggal satu." Ujarnya lagi.
"Eh, iya.. gapapa nih?" Alva hanya mengangguk kecil.
"Thanks ya."
"Lo bakal jadi lawan gue di lomba itu kan?" Rinka tertegun, ia baru sadar dengan apa yang dikatakan Alva.
"Eh, iya ya.. gue baru sadar."
"Gapapa kan kalau kita belajar bareng? Lagi maksud gue.." Rinka bingung. Apa maksudnya?
Seingat Rinka, terakhir kali ia belajar bersama dengan Alva ya waktu pertama kali mereka bertemu. Setelah itu acara belajar bareng hanya diikuti oleh ia dan Kevin. "Iy.. iya.. Gapapa kok. Mau belajar dimana?" Rinka menelan salivanya.
"Cafe pelangi. Besok jam 3 sore." Rinka mengangguk. Entah mengapa ia selalu gugup didepan Alva. Dan Rinka tidak bisa menolak permintaan Alva. Entah pelet apa yang ia gunakan.
*
Sorry lama ga update.. gue sibuk banget. Thx.