Hujan ini ... yang membawakanku anugerah ataukah musibah?
Musim hujan di Tokyo. Aku merutuki tugasku sebagai tangan kanan Kakashi yang mengharuskanku membantu penelitiannya. Dia sedang membuat tugas akhir untuk gelar magister-nya dan dengan kesibukan pria bersurai perak itu, dia tidak bisa menangani proses penelitian ke lapangan seorang diri. Ini hari terakhir penelitian karena pengambilan kuesioner yang tersisa sudah rampung sepenuhnya. Sayangnya, kegiatan yang menahanku pulang sesuai jadwal justru mempertemukanku dengan fenomena alam yang disebut hujan.
Aku berdecak. Hari mulai petang. Haruskah aku menunggu hingga hujan reda ataukah berlari menerobos hujan? Ah, sial.
Baru saja hendak mengayunkan kaki dan berlari sekencang-kencangnya, aku dikejutkan dengan bunyi sesuatu dari arah belakangku. Tepat saat hendak menoleh, sumber suara mendekat dan kini berada di sisi kiriku.
"Terjebak hujan, Sasuke-kun?"
Aku terpatung. Di sisiku berdiri seorang Hyuuga Hinata. Suara barusan yang kudengar adalah suara payung yang dibukanya. Gadis berambut indigo yang gemar memakai gaya rambut kepang dua dan kacamata tebal tersenyum kecil melihatku. Dia menunjuk payungnya.
"Mau pulang bersama? Jarak rumah kita berdekatan, bukan?" Gadis itu mengajakku untuk pulang bersama.
Hinata dan aku bisa dibilang tetangga jauh. Rumahku dan rumahnya mungkin berjarak sekitar 20 meter. Dia adalah seorang kutu buku. Dulu, kami sering bermain bersama. Hinata kecil adalah gadis yang pemalu dan lembut. Dia suka bersembunyi di balik punggung Neji, sepupunya, dan ragu-ragu menerima ajakan main kami. Hinata terlahir dengan bakat jenius Hyuuga, keluarga yang seluruhnya merupakan kumpulan penulis dan peneliti. Berbeda dengan keluarga Uchiha yang terkenal dengan kekuatan bisnisnya, keluarga Hyuuga terkenal dengan intelektualitasnya di dunia pendidikan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Jepang, misalnya, nyaris seluruh posisi dalam lembaga tersebut diisi oleh anggota keluarga Hyuuga. Hinata dan Neji adalah pewaris Hyuuga dan kelak masa depan mereka tidak akan berbeda jauh dengan pendahulu mereka.
Sayangnya, takdir berkata lain. Aku tidak tahu bagaimana jelasnya. Namun, dari buah bibir tetanggaku (dan ibuku), Neji meninggal dunia. Aku memang tidak melihatnya semenjak masuk SMA. Kupikir dia memilih sekolah yang berbeda dengan Hinata. Hinata, yang tiga tahun terpisah denganku lantaran berbeda SMP, kini kembali berada dalam satu bangunan sekolah yang sama denganku. Kali ini, kami berdua bahkan berada di kelas yang sama. Hanya saja, Hinata sedikit berubah. Dia menjadi lebih tertutup dari sebelumnya dan menjadi lebih mandiri. Dia gemar menghabiskan waktu di kelas untuk membaca kendatipun saat istirahat. Jika batang hidungnya raib dari penglihatanku, gadis itu pastilah tengah berada di gedung perpustakaan dan akan kembali masuk ke kelas saat jam masuk tiba.
Hinata seolah mengabdikan waktunya untuk belajar dan belajar, padahal kami baru saja memasuki tahun pertama di SMA. Masih ada waktu tiga tahun sebelum kami semua menempuh ujian kelulusan dan ujian masuk universitas. Aku pun sama. Aku juga menyibukkan diri dengan belajar. Namun, paling tidak, aku masih tahu caranya bersenang-senang. Aku masih gemar pergi ke game center bersama Naruto, pergi ke toko buku untuk membaca komik, atau bersantai sembari mendengarkan musik. Hinata, gadis itu, lain halnya denganku. Seolah setelah Neji meninggal, Hinata ikut memikul beban yang sebelumnya dilimpahkan ke pundak Neji. Seolah kini, beban yang ada di pundak kecil Hinata menjadi dua kali lipat.
Aku memperhatikan Hinata dalam diam. Meski disamarkan lensa kacamata, jejak lebam seusai menangis masih tersisa. Meski disamarkan dengan mengepangnya, rambut indigo yang sekali dulu selalu tampak berkilau kini menjadi kusam. Hinata kecil selalu tampak manis. Kelereng lavender-nya tidak terhalang bingkai, rambut indigo yang berkilauan selalu tergerai, dan bibir itu selalu mengulas senyuman ceria nan malu-malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadline
FanfictionAku berharap agar waktu berhenti. Waktu yang berharga ini ... biarlah tetap begini adanya.