"Abi!"
Nah! Senyum lebar tak bisa kutahan dari bibirku. Dia memanggilku Abi! bukan Abimanyu dengan nada jengkel seperti yang kudengar sebelumnya. Sebelum aku memutar badan, aku berusaha keras meminimalis senyumku agar hanya terlihat sebagai senyum hangat yang kuharap mampu membuatnya meleleh.
Aku melihatnya tersenyum lega (lega? aku yakin mata ini ga salah lihat) kemudian kembali memasukkan kepalanya ke dalam mobil. Dia menutup kaca dan membuka pintu mobil. Rambutnya sedikit basah karena sempat membawa kepalanya keluar saat memanggilku. Dia menyambut uluran tanganku begitu saja tanpa kata seolah kami adalah teman lama yang baru bertemu, membiarkan lenganku melingkar di bahunya membawanya berlindung di bawah payungku. Aku membawanya menuju sebuah pos jaga di seberang jalan untuk berteduh.
"Ada apa sih?"
Aku tak langsung menjawab pertanyaannya tapi menggamit lengannya mencari tempat cukup untuk kami berdua berdiri atau kalau bisa duduk karena beberapa orang sudah menyesaki tempat ini.
"Tanggul jalan jebol. Airnya terlalu besar."
"Terus?" Nada suaranya terdengar kebingungan. Tangannya masih sibuk mengusap rambut dan wajahnya dari sisa-sisa air hujan.
"Jalannya putus, kita dan semua orang disini ga bisa melanjutkan perjalanan. Kamu dari mana trus mau kemana?"
"Kok lengkap, sih?" seulas senyum terbentuk di bibirnya menghiasi wajah cantik itu mengomentari pertanyaanku. " Aku dari rumah, sekarang mau ke Pesagi."
"Gadis pintar, pertanyaan lengkap jawaban komplit." Senyumnya melebar mendengar komentarku. Dia benar-benar memiliki senyum tulus yang menawan, bukan senyum menggoda atau senyum yang dibuat-buat seperti gadis-gadis lain ketika berada di dekatku.
"Kamu sendiri?" Dia menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya ketika aku berpindah dari sisi kanannya dan sekarang tepat di hadapannya.
"Pulang."
"Eh? putus beneran jalannya?" Gadis cantik di depanku seperti tersentak dan menatapku kebingungan kemudian pandangannya teralih pada deretan truk dan mobil yang satu persatu membalik arah tujuan mereka."Aduh gimana nih?" Nada kebingungan dalam suaranya jelas melengkapi sorot matanya.
"Ikut aku ke rumah. Dari rumah kamu ke Pesagi, bagaimana?" Aku sangat ingin dia menerima tawaranku.
"Rumahmu?"
"Rumah keluarga."
"Tulamben?"
"Kubu. Kurang lebih delapan belas kilo dari sini. Mobil titip disini, pasti aman kok. Di rumah ada mobil untuk kamu pakai ke Pesagi." Aku sangat berharap dia menyetujui ideku ini.
Dia tampak berpikir. Mendesah putus asa ketika memeriksa jam di ponselnya.
"Gimana?" desakku, sungguh berusaha menyembunyikan rasa tak sabar dalam suaraku.
"Aku..." Belum lagi dia selesai mengucapkan kalimatnya, ponsel di tangannya berdering. Masih dering yang sama ketika aku menemukan di rerumputan beberapa minggu lalu. Dia menerima panggilan dan bicara dengan serius dan nada sabar. Sedetik setelah mengakhiri pembicaraan, ponselnya kembali berdering. Panggilan kedua adalah pembicaraan amat sangat singkat dan setelah itu dia menghubungi seseorang sepertinya membatalkan sebuah janji temu. Mataku tak berkedip memperhatikannya selama dia sibuk dengan benda pipih berwarna hitam itu.
"Sepertinya..."
"Kamu harus balik?" kupotong ucapannya karena aku tahu apa yang akan dikatakkannya.
"Yep!" mata coklatnya menatapku sekilas sebelum melanjutkan "Secepat yang aku bisa." Langsung melangkah melewati aku begitu saja menuju mobilnya.
"Hati-hati. Kamu pasti kemalaman." Pintu mobilnya masih aku tahan. Aku belum mau melepaskannya pergi.
"Thank's. Bye, Abi." Terdengar sangat manis. Dia menyalakan mesin mobil mau tak mau aku harus melepaskan tanganku yang menahan pintu mobilnya. Ditutupnya pintu mobil setelah mengangguk padaku dan aku juga segera bergegas menuju mobilku untuk kutitipkan di rumah penduduk. Setelah ini aku harus berjalan kaki menyelusup di rumah-rumah warga sini, mengambil jalan melingkar untuk sampai di seberang jalan yang sudah ambrol kemudian menghubungi Gangga agar segera menjemputku.