Gadis itu memandang jauh kedepan. Tatapan kosongnya menatap ke arah jembatan di hadapannya. Sambil menyunggingkan senyum masam di wajah manisnya, dia meneteskan air mata, dan mulai menangis, meratapi sesuatu yang tidak bisa ia lupakan. Seakan sudah menjadi sebuah kewajiban, gadis itu selalu menghabiskan waktu berjam – jam menatap jembatan ini setiap harinya. Menangis hanya untuk membawanya kembali pada masa itu, masa dimana ia kehilangan seseorang yang sangat ia cintai.
***
Jawa Barat 1990. Pukul 01.00 Dini hari.
“Jangan ngebut – ngebut dong sayang, Helm aku mau coplok nih” Ujar gadis itu berteriak.
“Kalo aku nggak ngebut nanti kita kehujanan! Kamu nggak lihat, disini nggak ada tempat berteduh!” Pria yang membonceng gadis itu balas berteriak. Suara motornya yang bising memang membuat mereka berteriak secara tidak sadar.
“Ia, tapi aku kan takut..”
Seakan tidak mendengar keluhan pacarnya, pria itu memacu motornya lebih cepat. Mengabaikan gadis itu yang menangis ketakutan di belakangnya.
Jalan yang dilalui mereka lengang dan sepi, dan pada jam - jam seperti ini, sepertinya orang-orang tidak akan memlilih jalan pintas ini kalau tidak terpaksa, belum lagi suasana di sekitar mereka yang seakan-akan tidak berubah sejak 1 jam yang lalu, pepohonan rimbun yang berderet menutupi sisi jalan tanpa penerangan. Lengkap dengan auranya yang mencekam. Tidak heran pria itu memacu motornya dengan kecepatan 100 km/jam.
Sesekali mereka melewati beberapa rumah yang diselingi kembali oleh pohon – pohon sejauh beberapa ratus meter. Udara dan hujan yang menusuk tulang sudah tidak lagi mereka hiraukan, dan harapan mereka berdua saat ini hanyalah keluar dari bukit yang lebih cocok disebut labirin ini.
“Sayang, kenapa sih kamu lewat sini?” Gadis itu memecah keheningan yang terlalu sunyi. “Aku takut, disini sepi banget.”
“Ini jalan pintas, biar kita cepet sampai rumah. Takut apa, kan ada aku.” Jawab pria itu tidak jelas.
“Kalau ada apa – apa gimana?”
“Nggak ada apa - apa sayang, paling gerombolan perampok.” Pria itu terkekeh mendengar jawabannya sendiri.
“Tuh kan, kamu malah bikin aku takut!” Gadis itu menenggelamkan wajahnya pada punggung pria itu, mencoba melupakan jawaban pacarnya yang membuatnya semakin tidak nyaman.
Satu jam yang lain berlalu, dan motor mereka masih melaju di dalam hutan labirin ini. Pria itu mulai kelelahan dan hampir tertidur. Ketika motor mereka melalui jalan yang lurus, tampak sebuah jembatan agak jauh didepan diterangi dengan beberapa lampu penerangan. Tapi bukan itu yang menghilangkan rasa kantuknya. Terlihat dengan jelas puluhan motor terparkir dengan rapi di kedua sisi jalan.
Bendera dan spanduk sengaja dipasang di bagian depan motor mereka, dan pria itu baru menyadari dia berada di tempat yang salah ketika dia membaca dua kata yang cukup membuat jantungnya berdegup kencang.
Pelantikan Gangster.
Sialnya, motor pria itu tidak dapat melaju dengan kencang, banyaknya motor dan orang-orang yang memenuhi jalan memaksa dia memelankan laju motornya. Tentu saja hal ini menarik perhatian semua orang, suara knalpot yang bising merupakan peraturan nomor satu yang harus dihindari ketika berhadapan dengan anggota gang motor.
Jembatan ini cukup panjang, dan motor pria itu bahkan belum sampai setengah jalan melaluinya ketika sekumpulan lelaki menghadang motornya dengan membawa rantai dan balok kayu. Sekarang pria itu hanya bisa berdoa sebanyak mungkin atas keselamatannya dan pacarnya yang tertidur.
“Lu anak mana?!” Seorang pria berotot yang tampaknya pimpinan dari gerombolan tersebut bertanya dengan congkak.
“Bukan anak mana – mana bang, cuma kebetulan lewat aja.”