1

787 22 3
                                    

"Hadeeeeeh.... Malasnya mau kepasar ini......" batinku sambil terus bergulingan di atas kasurku..

Pagi ini entah kenapa udara terasa begitu dingin menyusup ketulangku hingga membuatku enggan beranjak dari atas pembaringanku. Tak lama kemudian. kudengar emak dan adikku Ruben tengah sibuk di garasi seperti hari-hari sebelumnya.

Dan seperti hari-hari sebelumnya pula, meskipun jam dinding yang teronggok di lantai kamarku masih menunjukkan pukul 02:30 pagi, emak tetap bersuara dengan volume suaranya yang poooolll-poolllan a.k.a volume maksimal merepeti adikku yang idiot.

Ya, adikku Ruben meskipun secara lahiriah terlihat "normal" tapi sebenarnya kondisinya jauuuuuuuuh dari kata normal tersebut. Otaknya yang luar biasa lambat terkadang membuatku terheran-heran dengan kebodohannya. Bahkan sampai detik ini pun aku masih tak percaya adikku yang bodoh itu kini sudah jadi tentara.

Awalnya aku tak setuju dengan pernyataan bahwa orang banyak kalau orang yang pekak itu bodoh. Tapi semenjak hal itu terjadi ke si Ruben adikku, akupun langsung mempercayainya. Semenjak kelas 2 SMP, Ruben menjadi semakin bodoh seiring dengan telinganya yang jarang digunakan. Setiap kali dipanggil selalu tak digubril olehnya saat itu. Hingga setelah aku bekerja dan mengumpulkan uang, aku mengajak Ruben kedokter THT di RS. Santa Maria untuk berobat. Dan hasilnya, si Ruben pokak saking tak pernah mengorek kupingnya. Bayangkan saja, kotoran telingannya yang berhasil dikeluarkan si dokter THT kalau dikumpul-kumpul bisa sebesar biji salak.

Luar biasa menurutku........

Mulai dari saat itu lah si Ruben semakin kelihatan kebodohannya sampai dengan saat ini. Respon nya terhadap apapun menjadi sangat-sangat lambat. Beberapa lama emak masih terus mengomel digarasi hingga suara menggelegarnya tiba-tiba menghilang. Aku yakin 100% sebentar lagi emak pasti akan gantian memperdengarkan suara menyenalkannya didepan kamarku. Dan ternyata benar....

Tak lama sesudah omelannya ke Ruben usai, emak kembali berulah didepan pintu kamarku

Tok... Tok... Tok...

"Dang marjualan ho?"

(Tak jualan kau?)

"Iya mak. Bentar lagi aku pergi...." Jawabku masih dari atas kasur yang langsung berhasil mengusir emak dari depan pintu kamarku

Tak lama sesudah itu kudengar pick up dipanaskan Ruben dan suara adikku Ria yang cempreng dengan suara hidungnya terdengar menutup pagar rumah....

"Pasti si pepek ni nanti meribut di depan pintuku..." omelku masih dalam hati saat kudengar langkah kaki Ria berjalan mendekati kamarku

Tok.. Tok... Tok...... Tok.. Tok... Tooooooooook

Terdengar bunyi pintu kamarku yang diketok secara sporadis oleh adikku Ria yang super bawel. Tak lama sesudah itu, suara hidung nya mulai menyapa gendang telingaku

"Gak jualan kau bang?" tanya nya

"Ribut kali lah kau........ Bentar lagi aku pergi...." Jawabku sewot

"Cepatlah... Biar kututup pintu" sahut Ria lagi setelah mendengar jawabanku

Emosi mendengar jawabannya membuat tanganku langsung refleks melemparkan novel pendekar rajawali sakti yang semalam kubaca menjelang tidur.

Bruuuuuuuuk..........

"Is.. baik-baik pun kubilangin......" ujar Ria dari balik pintu begitu pintu kamarku kulempar dengan novel.

Ya, Ria memang bertugas menutup pagar dan pintu rumah begitu aku dan emak pergi berjualan. Hal ini sudah menjadi tugas Ria semenjak tahun 1997.

Benar-benar tak terasa, kami sudah berjualan selama 18 tahun. Sebenarnya rasa bosan itu kerap melanda, tetapi dikarenakan tuntutan hidup yang semakin meningkat, aku tetap berjualan sebelum pergi berangkat kerja sampai dengan tahun 2008. Tapi semenjak pekerjaanku sudah lebih mapan dengan penghasilan yang lebih baik, aku memutuskan untuk berjualan di waktu senggang dan weekend saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad Day??!??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang