Dua alarm mengeluarkanku dari mimpi indah. Alarm pertama adalah jam weker hitamku yang kuletakkan di atas nakas, dan alarm kedua adalah ini:
"Putriiiii! Banguuuun!" Itu Mama, yang berteriak dari lantai bawah.
Oh, tambah satu lagi, ternyata. Kakakku, Raja, sudah mengenakan seragamnya, baru saja membuka pintu kamarku dan menggedor-gedor papannya keras-keras. "Gila lo, udah jam 6! Bangun sana!" omelnya. Aku terkesiap dan meraih jam weker. Jarum pendek memang menunjuk ke angka 6.
Aku mandi dengan terburu-buru, mengenakan seragam, kemudian ke bawah untuk sarapan. Aku melirik jam dinding dengan gelisah. Jam menunjukkan masih pukul 6 kurang 5 menit. Hah, ternyata Raja mengutak-atik jam wekerku.
Raja pasti melihatku melirik jam dinding, karena dia kemudian terkekeh sambil mengolesi rotinya dengan selai kacang. "Kalo nggak gitu, lo bakal lanjut tidur dan hanya Tuhan yang tahu kapan lo akan bangun," katanya.
"Gue nggak separah itu," balasku tak terima.
"Masih mending dibangunin," timpal Kaisar. Dia juga kakakku. Aku sangsi keluargaku ini pemilik istana atau bagaimana. Oke, keluargaku memang punya istana, tapi bukan istana yang begitu. Kita bahas itu nanti saja. (Omong-omong, aku pernah bertanya kepada orangtuaku kenapa mereka tidak menamaiku Ratu, lalu Mama mengatakan 'Ratu' terdengar angkuh. Putri terdengar lebih lembut.)
Raja dan Kaisar sama-sama kakakku, mereka kembar. Raja lahir 3 menit lebih dulu. Tapi, mereka cowok, jadi mereka tidak pernah mementingkan siapa-yang-lahir-lebih-dulu.
Sewaktu aku masih kecil, aku selalu tidak bisa membedakan Raja dan Kaisar. Mereka juga sering bercanda denganku, mengatakan "Aku Kaisar!" padahal dia adalah Raja. Semakin aku tumbuh, aku semakin bisa membedakan mereka. Ternyata mereka memiliki banyak perbedaan. Raja memiliki tipe mata sayu, sedangkan Kaisar memiliki tatapan tajam. Raja juga memiliki lesung pipit di bagian kanan wajahnya, walaupun lekukannya tidak terlalu dalam. Bentuk alis Raja sedikit melengkung (tidak akan kelihatan kalau tidak diperhatikan baik-baik), kalau punya Kaisar lurus. Selain perbedaan fisik alami itu, mereka juga membuat diri mereka terlihat berbeda. Raja memiliki kulit agak gosong karena dia sering bermain basket, sedangkan kulit Kaisar pucat karena dia lebih sering menghabiskan waktunya bermain komputer di rumah. Rambut Raja tertata rapi dipangkas pendek, rambut Kaisar berantakan. Secara keseluruhan, Raja terlihat manis, Kaisar lebih terlihat cool. Bagiku, mereka tidak kembar lagi.
"Hari ini kamu bakal ngapain aja, Put?" tanya Papa sebelum menyesap kopinya.
"Hmm... Belajar, kayak biasanya. Oh, ya, sama ada ulangan bahasa." Papa mengangguk-angguk.
Keluargaku mendapat penghasilan dari keduanya, Papa dan Mama. Papa bekerja sebagai dokter gigi, sedangkan Mama... Tunggu, ini bakal panjang.
Jadi begini. Di sebelah rumahku, namun masih satu area, ada rumah mungil yang dinamakan Istana Baca. Ini istana yang aku sebut tadi. Istana Baca ini adalah perpustakaan kecil (lihat, aku memberi penegasan pada kata 'kecil'), tempat orang-orang bisa membaca dan meminjam buku. Nah, Mama dapat penghasilan dari sana; dari orang-orang saat membuat kartu anggota, dan dari orang-orang yang terlambat mengembalikan buku sehingga harus denda.
Penghasilan Mama memang sedikit, tapi karena itu memang tidak terlalu dibutuhkan, hanya untuk tambahan. Kalau tidak ada Istana Baca, penghasilan Papa saja sudah mencukupi. Namun, Mama pernah berkata, bahwa sejak kecil ia sudah menginginkan membentuk perpustakaan di rumah karena Mama mengoleksi banyak buku. Jadi, beginilah akhirnya. Lagipula, tujuan Mama membuat perpustakaan bukan untuk uang, ia hanya ingin orang-orang yang tidak punya uang untuk membeli buku tetap bisa membacanya.
Penjaga perpustakaan kami adalah seorang perempuan muda yang berasal dari kampung, namanya Arsa. Dia sangat manis, umurnya kira-kira masih 18 tahun, berbeda tipis denganku, tapi dia sangat dewasa (tidak sepertiku). Ia bekerja di sini sekitar tiga tahun yang lalu. Dia bilang, dia tahu dia hanya mendapatkan gaji sedikit dari bekerja di perpustakaan, tapi Arsa cinta buku, jadi hal uang bukan masalah. Kami semua menyukai dia.
"Kamu mau berangkat bareng kakak kamu atau jalan kaki?" tanya Mama, bersamaan dengan bunyi "cekrek!" yang ditimbulkannya. Mama bertanya begitu sambil memotret sarapannya melalui tablet PC-nya. Simpulkan sendiri Mama itu orangnya seperti apa.
Biasanya, aku berjalan kaki ke sekolah, hanya berangkat bersama salah satu kakakku menggunakan sepeda jika aku harus datang lebih pagi. Ulangan bahasa hari ini ada di jam pertama, jadi aku berkata, "Aku bareng Raja." Tentu saja aku memilih Raja. Siapa yang mau berangkat bersama Kaisar, kalau bisa bareng Raja? Aku tidak mau mengorbankan nyawaku kepada Kaisar yang mengayuh sepeda jauh lebih cepat dari orang-orang waras.
Begitu sampai di sekolah, aku langsung memasuki kelasku, XI IPA 1. Tidak, IPA 1 tidak hanya berisi orang-orang pintar. Buktinya, sahabatku yang malas (aku tidak mau menggunakan kata 'bodoh' karena aku yakin pada dasarnya tidak ada orang bodoh, hanya ada orang malas. Tiara, salah satunya) satu kelas denganku.
Meski aku tidak begitu suka Tiara yang tidak-bodoh-hanya-malas, dia tetaplah Tiara, sahabatku. Waktu itu, tepat hari pertama KBM dimulai setelah OSPEK, waktu kami belum saling mengenal, kami sama-sama terlambat, dan hanya kami pula yang terlambat. Jadi, kami terpaksa mengobrol setidaknya satu setengah jam untuk mengatasi kebosanan. Ternyata dia orangnya sangat asyik, tidak seperti cewek-cewek pada umumnya. Tahu, kan, cewek-cewek yang bertingkah seperti jal... yak. Lalu, ternyata kami satu kelas, jadi dia resmi menjadi teman dekatku.
Itu dia, baru saja datang dan melambai ke arahku.
"Kantin yuk, gue belum sarapan," kata Tiara.
Aku mengangguk, lalu mengaduk-aduk tasku untuk mengambil buku Bahasa Indonesia. Setelah itu, aku kembali menghadap Tiara dan mendapatinya sedang menatapku aneh, seolah-olah aku mengenakan kebaya Kartini pada hari batik nasional.
"Lo ngapain bawa itu?" tanyanya dengan jari telunjuk menuding jijik buku di tanganku dan dengan penekanan pada kata terakhir. Memangnya buku ini feses?
"Er--belajar?"
Tiara masih menatapku aneh selama beberapa detik (seolah-olah aku yang aneh, bukan dia), kemudian mengangkat bahunya. "Yah, terserah lo."
"Tunggu, lo udah belajar?" Aku memang mengatakan kalau sahabatku ini malas, tapi aku selalu yakin akan ada hari di mana Tiara akan menyadari kebiasaan buruknya itu. Jadi, pertanyaanku ini jelas-jelas sebuah pengharapan.
"Kenapa lo nanya? Ya belom lah."
Oke, yang jelas bukan hari ini.[]
a.n
aku tau ini super dikit, karena ini emang baru awal dan aku cuma mau ngenalin tokoh-tokohnya, tapi sebenernya bab ini bukannya nggak penting. Dan, aku nggak matokin setiap bab harus panjang, jadi, berdasarkan plot yang udah aku buat, kayaknya bakal ada bab yang pendek banget tapi bakal ada bab yang panjang banget. Intinya, panjangnya gak tentu. Dan doain aja semoga aku bisa update setiap Selasa sama Jum'at ;v
Anyway, semoga suka!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Librarian's Diary
Teen Fiction#56 in Teen Fiction [25/05/16] [] Warning: Cerita ini belum diedit. Masih banyak kalimat tidak efektif, kata tidak baku, kesalahan tanda baca, dsb, dsb.... Kerusakan mata ditanggung sendiri ya wkwkwk --- Alasan mengapa aku tidak setuju menjadi penja...