Taman adalah enigma berselimut kedamaian pada malam hari
Rumput-rumputnya menari dalam senandung alam yang lembut, udaranya berlalu dalam kecepatan moluska, dan selimut malam sewarna beledu menjadi atap tanpa cahaya.
Tak ada kilau berlian malam ini, hanya sebuah bola mata keemasan yang memantulkan cahaya pusat tata surya menggantung di atas sana.
Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak lama.
Gadis itu berkulit keemasan, dengan helai-helai ikal merah menyala memahkotai wajahnya yang sedang menunduk. Tubuh bagian atasnya tersembunyi di balik kaus polos berwarna hijau lumut, sementara kakinya yang jenjang terbalut sepenuhnya oleh material keras yang ditemukan oleh seorang manusia dan diberi nama denim. Gadis itu mengangkat wajahnya dan memperhatikan selubung pekat yang menggantung di atas kepalanya, kemudian bibir gadis itu terbuka dan sebuah helaan napas panjang meluncur mengikuti gerakan itu.
Gadis itu tak menyadari kehadirannya.
Sepasang pupil matanya yang berbentuk elips berdilatasi maksimal dalam usahanya untuk melihat menembus selubung kegelapan yang melingkupi tempat persembunyiannya di balik semak-semak tinggi yang memagari taman. Ia memperhatikan dengan sangat tertarik saat gadis itu mengangkat sebelah tangannya dan melarikan jemarinya yang lentik untuk menyibakkan helai-helai rambut yang sejak tadi menutupi telinga kiri si gadis.
Sebuah kesadaran menghantam benaknya.
Gadis inilah yang dicarinya.
Mangsanya.
Alasan kenapa dia ada di sini malam ini.
Sang warlock phoenix yang mencabut nyawa adiknya.
Darah akan mengotori rumput malam hari ini, lolongan serigalanya akan membelah malam dalam pembalasan dendam.
Dahaga, serigala dalam dirinya menginginkan pertumpahan darah.
Sebentar lagi, janjinya.
***
Hope Sullivan melonjak dari bangku taman yang sedang didudukinya saat sebuah kilau berwarna violet serupa amethyst tertangkap oleh indera penglihatan malamnya yang tajam.
Kilau itu menghilang dalam kecepatan cahaya saat ia menjentikkan jemarinya dan memunculkan bola kaca padat dari udara di sekitarnya begitu saja. Bola kaca itu bersinar keperakan dalam sekejap, memimikri tugas bulan yang tergantung di langit malam.
Tubuhnya melengkung dalam kewaspadaan, jemarinya yang dilingkari banyak sekali cincin –masing-masing dengan lambang huruf-huruf Mesir kuno –bersiaga. Pada dasarnya sihirnya tak digunakan untuk menyerang, tapi jika hidupnya dipertaruhkan, ia akan berusaha untuk melawan sampai tetes darah terakhirnya.
Ia menajamkan pendengaran malamnya, menyibakkan rambutnya ke balik telinganya dalam gerakan cepat dan melangkah perlahan-lahan, membuat pola lingkaran kecil dalam usahanya menyisir area taman dengan cepat.
Mereka bilang hantu-hantu berkeliaran di Central Park ketika malam menjelang, tapi bukan hantu yang saat ini ditakutinya.
Tapi, sesuatu yang lebih konkret.
Gemerisik dedaunan tertangkap oleh pendengaran phoenix-nya, ia menoleh tepat waktu ketika serigala besar berbulu abu-abu dengan bekas luka sayat mencolok yang menyilangi kaki depannya melompat untuk menerkamnya.
Tidak ada serigala di Manhattan.
Kecuali…
Jeritannya membelah malam saat serigala itu berhasil menjatuhkan tubuhnya ke atas rerumputan dan menekan lehernya dengan sebelah kaki depannya yang terluka, cakar sang serigala mengancam untuk merobek nadinya dalam satu kali torehan ringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE FOR SIN
Short StoryDia adalah sang harapan, sementara dirinya adalah si pendosa. Apa yang akan terjadi jika pembalasan dendam mempertemukan keduanya? Yang jelas bukan cinta.