.
Aliando menghela napas lelah, ketukan meja yang diulahkan oleh jari telunjuknya bergema sepanjang ruangan. Jarum jam meneriakkan angka sebelas malam, bulan purnama bersinar terang menghiasi ruang kerja Aliando sebegitu besarnya. Memijit pangkal hidung, kepala Aliando seperti sedang dipukul oleh palu godam, kepalanya pening.
Biasanya, tepat pada dua puluh menit yang lalu, Prilly akan datang dengan gebrakan pintu yang nyaris membuat Aliando terjungkang dari kursi, hentakan high-heels merah darahnya yang beradu dengan lantai. Diikuti wajah khas ngambek ditambah dengan ocehan pedas yang selalu mengikuti.
Dan malam ini, oh tidak, bukan malam ini saja.
Dua bulan belakangan ini, Aliando bahkan tidak bisa melihat eksitensi Prilly. Gadis pendek dengan pipi gembil itu mengabarkan Aliando bahwa waktu yang seharusnya dirampas untuk pemuda ini sekarang disita untuk pacarnya. Pacar barunya.
Honey-nya Prilly.
Potek sudah hati ini. Aliando tidak kuat, bunuh ia didekat rawa-rawa, kuburkan dirinya disamping makam hamster miliknya dulu. Kokoro ini sungguh sakit.
Dengan itu, setelah memastikan Prilly tak akan mampir ke kantornya, ia mematikan macbook dengan segera lalu berjalan terhuyung menuju pintu keluar ruangan.
"Mungkin aku hanyalah buntelan debu bagi kamu," Desahnya melankolis.
Astaga.
************
Hari sabtu pagi, matahari sudah bersinar, sang surya bahkan mengintip kecil dibalik gorden besar yang telah menutupi kamar hitam kelam tersebut. Gelapnya kamar sama persis dengan suasana hati sang pemiliknya.
Aliando mengernyit saat merasakan hangatnya mentari yang memasuki panca indra. Masih pagi, ia hanya ingin menghabiskan waktu liburnya pagi ini. Tidur seharian saja cukup baginya untuk pulih kembali.
Pulih?
Ah ya, ia sedang diserang demam katanya. Bukan hanya demam menurut Brian Domani - asistennya, namun serangan patah hati ikut terbawa. Sungguh terasa sakitnya, Aliando bahkan sempat meremas dadanya kencang.
Demam ini membuat Aliando meringkuk seperti bayi yang baru lahir didalam selimut super tebal, wajahnya memerah seluruhnya, nafasnya terengah, hidungnya berair—ia hampir menelan ingusnya sendiri omong-omong. Jangan lupakan wajah pias yang ia tampilkan. Aliando sempat berpikir ia akan mati perlahan.
Pemuda itu melirik weker di nakas, jam sepuluh. Masih pagi.
Aliando ingin keluar dari kukungan selimut ini namun kakinya berkata lain, ia lapar namun kepalanya memaksa untuk tetap pada posisi. Serba salah, hidupnya pun juga.
"Aku juga hanya bisa memasak mi instan," ujarnya pedih, ia sedang ingin makan yang membuat dirinya sehat bugar kembali seperti sedia kala.
Oh Prilly, dimanakah engkau, sekali ini saja aku butuh perhatianmu, buatkanlah aku hidangan lezatmu dan aku takkan ganggu hubunganmu dengannya lagi walaupun itu membuat hati polos ini teriris, Aliando bergelung dalam pikirannya
Sungguh drama sekali.
Aliando memejamkan mata, berharap ia bisa kembali dalam lautan mimpi dimana ia bisa menjadi apa yang diinginkannya. Tapi tapakan suara benturan heels membuatnya terjaga.
Siapa?
Aliando tak pernah percaya hantu, tapi ini terasa nyata suara itu semakin mendekat ke arah kamarnya. Ibu tahu kalau anak tunggalnya ini sakit? Tidak mungkin. Aliando bahkan tak pernah memberi kabar buruk pada Ibunya. Lalu siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfekt Vard
RomanceAliando Syarief, akan berumur duapuluh enam tahun bulan depan, hidup sendiri di apartemen bersama satu kucing hitam yang selalu menemaninya. Kabar beredar bahwa CEO tampan ini masih saja berstatus sendiri hingga kini, hanya satu wanita yang terlihat...