Part 1 “ Perkenalan ”
Gila. Bandung bener-bener macet parah, padahal masih pagi loh. Mungkin kalau bukan karena Ibunya yang merupakan orang Indonesia Asli, Fleurise Brianna Moreau—atau yang akrab disapa Rise ini— tidak akan menginjakkan kakinya disini. Bukan tidak akan, hanya saja ia tidak mau.
" Mama macettt, pegel! " keluhnya masih terus bergusak-gusuk di tempatnya. Mencoba mencari posisi ternyaman selagi seseorang disampingnya mengemudi, mencoba mencari jalan keluar dari kemacetan yang sedari tadi digelutinya. Pria disamping Rise mendengus, pegal? Oh ayolah, pegalan mana dengan dirinya yang harus terus duduk diam dan sesekali memegang perseneling atau gas, atau rem demi mencoba keluar dsri kemacetan? Ck.
Pria yang dijadikan supir oleh Rise hanya bisa menggeleng tidak percaya. Kelakuan gadis yang berbeda setahun dari pria itu sama sekali tidak berubah dari 10 tahun yang lalu. Sifatnya masih sama, masih sama seperti saat dirinya bertemu Rise di Perancis sana— tempat kelahiran gadis itu tinggal dan tumbuh dahulu.
" Kadang gue bingung, yang kakak itu lo apa si kembar sih? Kelakuan lo bener-bener bocah " ledek pria itu
" Bawel lo Ken! Bawa mobil yang bener aja deh. Ke Starbucks, awas sampe nyasar! Gue perkedel lo " Keenandra Frederick Holton, pria yang setahun lebih tua dari Rise melotot mendengar ucapan 'kurang ajar' itu.
" Gue turunin dijalan juga loh Rais "
" Turunin gih. Gue ngadu aja entar ke Grand-mere " sahut Rise malas
" Hih dasar. Young majesty " Young Majesty, berkali-kali kata itu terus dilontarkan orang terdekatnya karena statusnya. Terkadang Rise lelah dengan sebutan itu. Sebutan itu bukanlah untuknya. Bukan, ia lelah mendengar semua itu. Tidak ada niatan baginya untuk menimpali ucapan dari Keenan, membuat pria itu tersadar akan ucapannya.
Selain Keenan, tidak ada yang tahu lagi kenapa Rise selalu diam jika keluarga besarnya menggodanya dengan sebutan 'Young Majesty' itu.
" Rise, Aku... - "
" Gapapa. Gue nya aja baper. Udah bawa mobil yang bener. Gue ke starbucks sendirian aja, lo tinggal aja. Nanti gue calling kalau udah selesai " Tidak sekalipun Rise memberikan kesempatan pada Keenan untuk menjawab ucapannya tersebut.
Keenan mendesah pasrah, ya sepertinya memang tidak bisa lagi ia membahas mengenai ini. Dalam hati, ia memaki dirinya sendiri yang membuat gadis yang notabenennya adalah sepupunya itu bersedih.
~~~~~~~~~~~~~~~
Seperti layaknya cacing kepanasan, gadis dengan rambut yang di ponytail itu segera bergerak kesana kemari, membuat orang yang berada disampingnya menatapnya kesal.
" Miss, anda itu sebenarnya sedang apa ya? Anda benar-benar menganggu " Dengan sopan, salah seorang pengunjung yang merasa terganggu dengan aktivitas si gadis ponytail itu menegurnya, membuat atensi si gadis berpindah kearah orang tersebut.
" Eh.. oh? Eh iya maaf ya. Tidak akan kuulangi lagi nanti " ujarnya tidam enak pada pengunjung tersebut dengan menunduk.
" Tidak masalah " balas pengunjung lainnya.
Bis berhenti tepat disebuah stasiun pemberhentian, sesaat beberapa pengunjung sudah keluar namun ada beberapa juga yang masuk, menggantikan kerumunan yang baru saja keluar itu." HEIDI! " Gadis ponytail itu kembali berseru, membuat pengunjung yang berada didalam bis itu melihat kearah si gadis ponytail. Tidak menperdulikan pandangan orang-orang, gadis ponytail dengan name tag Nicoletta Marcia Anastaise itu segera berlari menuju gadis jangkung yang tampak celingukan.
" Heh bodoh! Lo ini dipanggil juga " Heidi Karlisia Lucero menatap Letta— gadis ponytail itu.
" Lah lo nggak masuk sekolah Let? " Heidi bingung. Jelas. Ini pertama kalinya ia melihat Letta berada di bis yang sama dengannya.
" Kesiangan, bokap tadi jalan pagi-pagi, nyokap juga. Gak ada yang bangunin, si embok juga pergi ke pasar tadi " Letta mendengus sebal seraya menghentak-hentakkan kakinya.
Heidi tertawa melihat wajah sahabatnya itu. Mendengar tawa Heidi, Letta makin mengerucutkan bibirnya sebal lalu memandang ke segala arah, saat ia merasakan sebuah lengan bertengger di bahunya.
" Yailah, jangan ngambek napa Let. Yodah, biar enggak ngambek kita ke Starbucks aja gimana? Gue traktir "
" DEAL " Heidi lagi-lagi menggeleng melihat wajah Letta yang langsung berseri-seri itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
" KAMU KENAPA SIH NGAMBEK GINI?! " Anselma Raphaela Lefrenz hanya mendengus seraya bersedekap dada, menatap jalanan dengan datar. Diacuhkannya pandangan pria yang sedang menyetir itu.
" Oh ayolah El, kamu pasti kenapa-kenapa ini " Pria itu menggeram dengan kesal saat mendapati dirinya diacuhkan oleh gadis yang berada dibawah usianya.
" Aku tidak apa-apa, dan lagi itu juga bukan urusanmu! " ketus gadis yang akrab disapa Elma itu.
" Elma! " geram pria itu, mencoba membuat gadis yang sedang satu mobil dengannya itu menoleh kearahnya.
" Jangan ganggu aku " Pria itu bungkam mendengar ucapan Elma, yang lebih mengarah kearah perintah. Prinsip pria itu satu, jika Elma berkata dengan nada memerintah, sudah menjadi satu hukum wajib baginya untuk menurutinya, dan disitulah pria itu merasa terkadang seorang Anselma Lefrenz adalah pemegang kendali atas dirinya. Menyebalkan.
Jalanan kota Bandung kembali membuat mobil itu dalam keadaan hening, karena keadaan macet diluar sana, membuat mobil milik pria itu tidak lagi bergerak. Sama seperti mobil lainnya.
Elma menoleh keluar, mencoba memperhatikan keadaan kota Bandung yang tidak banyak berubah. Kerongkongannya tampak kering, menandakan belum adanya satupun cairan yang melewati tenggorokannya itu." Ada kuliah pagi? " Elma memastikan terlebih dahulu jadwal pria yang sedang mengemudi ini
" Hmmm "
" Bagus, turunin aku di Starbucks saja " Gregorry Birmingham melotot mendengar ucapan adik kelasnya itu.
" Kamu enggak sekolah El? "
" Terlambat, gerbang pasti ditutup. Bawa ke Starbucks didepan saja, kamu langsung ke tempat kuliah saja " Rahang pria kelahiran Inggris itu mengeras, mimik wajahnya kaku seketika.
" Elma " Panggilnya dengan nada berbahaya
" Aku tidak mau dibantah " Tahu akan kelemahan pria yang disampingnya, Elma langsung memanfaatkan hal itu, membuat Gregorry langsung mengumpat dengan kesal.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Seperti biasa, kalau sudah bertemu dengan kopi, terlebih kopi kesukaannya, dua gadis yang sama-sama masih memakai seragan sekolah itu tampak tidak memperdulikan waktu. Entah apa yang terjadi di rumah mereka masing-masing, baik si gadis dengan wajah polos ataupun gadis satu lagi dengan wajah menawan itu lebih memilih sarapan di salah satu kedai kopi terkenal dikota mereka.
" Oh gila, nikmat banget! " seru Si gadis dengan wajah menawan, entah untuk keberapa kalinya, membuat gadis dihadapannya menggelengkan kepalanya. Christianna Willow Hawkings namanya.
" Norak kamu " ejek Victoire Alfonsie Kialeki pada Willow.
" Biarin, suka-suka gue " balas Willow dengan nada datar pada sahabatnya itu, Victori.
Victori menggeleng mendengar balasan itu. Tangan gadis itu terangkat, guna mengecek arloji yang melingkar manis di tangannya, dan seketika itu pula, ia melotot tak percaya.
" WILL! MATI KITA, INI UDAH JAM DELAPAN. MAMPUS GUA! " Tidak ada etika lagi yang dijunjung tinggi oleh Victori saat ini. Dengan bola mata berwarna birunya, matanya membulat tak percaya melihat angka jarum jam tersebut.
Willow yang sedang meminum kopi favoritnya, segera menyemburkannya, membuat Victori ikut merasakan dampaknya.
Double sialan, ini namanya. Sudah terlambat, kena kopi pula bajunya, oh tuhan Victori harus bilang apa pada kakaknya yang super duper protective itu?! Mati saja lah ia.
" Mati! Serius lu nyet? Mampus gua, eh bolos aja lah sehari, jangan bilang kak Alex nyet "
Willow menggigit bibir bagian bawahnya setelah mengatakan itu. Ini mah namanya bukan anugrah, melainkan bencana. Oh tuhan, harus apa lagi ia kalau sudah seperti ini?!
-tbc
YAK! ini karya pertama hehehe, kalau ada kritik atau saran, terbuka kok! Langsung comment ajaa, makasih yaa, ciao~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Halfblood
Teen FictionTujuh gadis. Tujuh kepribadian. Tujuh cerita berbeda. Tapi satu kesukaan. Kopi. Dengan empat kata sederhana itu, semuanya menjadi mungkin. Dari yang terpolos, hingga ter'cemar' ada semua dalam pertemanan mereka.