Dheg!
Langkah kakiku yang sedang mengayun menuju halte, seketika terpancung.
Aura ini. Aku mengenalinya sebagai aura milik seseorang dari masa lalu.
Apakah sekarang dia ada di sini?
Tanpa terencana, pandanganku mengitari sekeliling. Mencari sosoknya diantara sekian banyak manusia lain yang berlalu-lalang.
"Aku di sini." Suara familiar dari arah belakang membuatku berbalik.
Ah, mata itu. Mata sekelam malam dan caranya memandangku yang sekian tahun lalu pernah menghipnotisku ke dalam gradasi indah cinta pertama. Akhirnya, aku melihatnya lagi.
"Apa kabar?" tanyaku, berusaha terdengar ringan meski berseberangan dengan jantungku yang tidak sepaham dan malah menjadi berisik liar di dalam sana.
Aku bahkan lupa berapa lama tepatnya waktu telah berlalu semenjak tatap muka kami yang terakhir kali. Kalau tidak salah, sejak beberapa minggu sebelum hari pernikahanku, saat terakhir dia bertanya tentang kesempatan, sebelum dia menghilang.
Dia tidak banyak berubah. Kelihatan lebih dewasa, iya. Namun, hal lain dalam dirinya masih tetap terasa sama.
Misalnya, senyum miringnya saat ini. Itu senyuman yang sama dengan senyuman yang pernah kugilai selama hampir tiga tahun masa kebersamaan kami. Senyum yang selalu hadir melukisi lembaran mimpiku, bahkan tatkala jasadnya tak bisa kusentuh.
"Tidak sedang baik-baik saja," jawabnya. "Tapi, mungkin bisa lebih baik jika kita menepi sejenak ke sana," ujung dagunya menunjuk ke satu arah, yang ketika kuikuti dengan pandangan mata adalah kafe outdoor kecil yang kelihatan lumayan nyaman. "Kita perlu bicara. Dan trotoar ramai di bawah terik matahari pukul dua belas siang kurasa bukan tempat yang tepat."
Benar, kami memang perlu bicara. Barangkali untuk meluruskan beberapa hal atau menjawab beberapa pertanyaan yang sedang berseliweran di benakku saat ini. Umpamanya... tentang dia yang tiba-tiba muncul sekarang.
Jadi, kuanggukkan kepalaku dan membiarkan saja saat dia menggiring langkah kami ke salah satu meja pojok yang cukup jauh dari meja-meja lain.
"Masih suka udang?" tanyanya sementara tangannya sibuk membuka lembaran menu.
Aku mengangguk kecil. Sedikit ragu. Aku suka udang, tapi sudah hampir enam tahun ini aku tidak lagi menjadikannya menu utama. Alasannya sederhana. Suamiku alergi udang, dan membencinya.
Oh, mantan suami, lebih tepatnya.
Kulirik lagi map coklat yang kutenteng sejak dari dalam gedung pengadilan agama di seberang jalan ini, yang kini sedang tergeletak rapi di atas meja bersama tas kecilku. Sejenak, nyeri yang tadinya terabaikan oleh kehadiran tiba-tiba pria di hadapanku ini kembali hadir saat teringat lagi apa alasanku berada di sini.
Ketok palu sidang perceraian. Dan isi map itu adalah bukti status baruku sebagai janda.
Yang namanya hati, siapa yang tau kemana pada akhirnya ia akan berpihak? Yang namanya takdir, siapa yang bisa memastikan kemana akhirnya ia akan berujung?
Aku tidak menyesali sembilan tahun yang kubagi bersama Adiaz dan kisah-kisah kami yang terjalin dalam rentang waktu itu, meski tak semuanya adalah tawa. Aku hanya terluka, luka yang parah dan tak bisa tertebus lagi dengan sabar dan maaf, setelah sekian kali ia menghadirkan orang lain di antara kami. Jangan kira sekian tahun ini aku tak pernah berjuang untuk mempertahankan bahagia yang kami miliki, setidaknya untuk Aira sang buah cinta, dan mencoba menafikan rasa sakit sendiri. Namun, bahkan kesempatan, cinta, dan maaf yang kumiliki untuknya pun memiliki batas. Dan jika sekarang semua itu sudah berakhir, kuharap ini yang terbaik untuk kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Moment (Kumpulan One Shoot)
Romance"Mungkin sekarang terlalu cepat untuk membuka hati bagi cinta yang baru, tapi kalau membuka lagi kotak cinta lama yang pernah kusimpan rapi di pojok hati, nggak masalah, 'kan? Karena mungkin saja... akan muncul pelangi setelah hujan." _Aku_ "Aku ti...