Aku tidak mengira, bahwa kalimat 'kau adalah harapan kami satu-satunya', memiliki beban yang sangat berat. Bukan hanya karena dipaksa hidup dalam situasi serba apa adanya, melainkan juga tekanan bahwa aku harus cepat belajar dan menguasai segala jenis hal. Mulai dari seni bela diri, berpedang, ilmu politik dan pemerintahan, bahkan sampai ilmu strategi perdagangan.
Jika dulu aku berpikir bahwa tata krama merupakan ilmu yang membosankan dan menyebalkan, maka ilmu-ilmu baru setelahnya adalah neraka yang sering membuatku putus asa. Ada jenis ilmu yang semakin dipelajari, kadang malah semakin tidak dimengerti, seperti ilmu filsafat. Aku sering menangis ketika tidak mampu memahami makna dari kalimat-kalimat filsafat yang terkadang kata-katanya saling bertolak-belakang.
Sejak meninggalkan istana, hidupku terbilang menyedihkan. Sigurd membawaku dari satu hutan ke hutan lain, dari satu desa ke desa lain, dan terkadang kami singgah ke suatu kota. Akan tetapi Sigurd akan langsung mengajak pergi di hari itu juga. Dia benar-benar menghindarkanku dari keramaian, dan lebih sering tinggal di hutan. Kami bisa tinggal selama berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan.
Di hutan, aku harus belajar memakan dedaunan asing, menangkap ikan atau memanjat pohon demi buah-buahan yang kadang belum masak. Padahal, sebelum pergi dari istana, semua kebutuhanku tercukupi. Aku tidak perlu takut kedinginan, tidak perlu memikirkan makanan apa yang harus dimakan nanti, dan tidak perlu takut ada binatang berbisa yang akan menyerang.
Kehidupanku dijungkirbalikkan sedemikian rupa, hingga aku merasa menjadi anak yang paling mengenaskan di dunia ini.
Namun, Sigurd selalu berkata, bahwa apa yang kualami masih lebih baik. Dia pernah bercerita, bahwa ada anak-anak seumuranku yang dipaksa bekerja sampai mati. Ada juga anak-anak yang tidak bisa makan, karena tidak ada bahan makanan. Lelaki itu juga bilang, kalau mayoritas dari mereka adalah anak-anak yang telah kehilangan orang tua, tetapi, sebagian lagi merupakan korban penculikan. Dia sempat membawaku ke pasar budak dan memperlihatkan sederetan anak-anak bertubuh ceking dengan pipi yang sangat tirus. Mereka dijual di pasar dengan harga yang sangat murah, sekitar 100 Oskel atau setara dengan dua karung beras.
Ketika aku mengatakan bahwa para pedagang budak itu telah bersikap tidak adil, Sigurd hanya tersenyum sedih dan membalas, bahwa seperti itulah hukum rimba. Siapa yang kuat, dia akan menang, sementara yang lemah akan ditindas sampai mati. Aku sempat mendebat ucapannya, karena yang berlaku di sini adalah peraturan kerajaan, bukan hukum rimba. Namun, dengan santai dia membalas, bahwa rajalah yang memegang kuasa paling kuat dalam hal apapun. Lelaki itu lalu menyuruhku untuk menelaah kembali peraturan-peraturan yang pernah diajarkan para guru, mengenai aturan dagang, aturan budak, bahkan sampai aturan lalu lintas perdagangan.
Ucapannya lantas membuatku menangis, mengingat keluargaku tidak lagi punya peranan dalam menciptakan aturan kerajaan. Sebab, saat ini Kurante yang memegang kendali.
Sigurd mungkin benar. Nasibku masih lebih baik daripada anak-anak budak itu. Walaupun harus memakan dedaunan hutan, buah yang kadang masih mentah, dan tidur dengan selapis jubah yang sudah usang, tetapi, hidup ini adalah milikku sendiri. Aku masih bisa belajar, dan bebas pergi ke mana pun dengan penjagaan Sigurd. Namun, hidup seperti ini juga tidak benar.
Kehidupan kami yang dalam pelarian ini, tidak pernah memiliki kata tenang.
Ada alasan kenapa Sigurd selalu mengajakku berpindah-pindah tempat tinggal, tak lain adalah untuk menghindari pengejaran Kurante dan Ezbur. Lelaki itu sempat bercerita, bahwa Keduanya telah membuat kesepakatan yang mengancam nyawaku, sehingga Ibu dan Sigurd memilih melarikanku.
Aku pernah bertanya, kenapa ibu tidak ikut dalam pelarian ini, dan penjelasan Sigurd sangat sederhana. 'Lebih mudah membawa satu anak kecil kabur, daripada menanggung keselamatan dua nyawa sekaligus' . Itu artinya, butuh lebih banyak persiapan, bila ibuku ikut kabur, sedangkan waktu kami saat itu tidak banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Golden Anshok
FantasyLea harus menjalani hidupnya seperti seekor tikus. Tenang, tak terlihat, dan tidak berisik. Hidupnya selalu dihantui kecemasan kapan dia akan ditemukan dan dibunuh. Anak manja yang hanya tahu keindahan dunia, kini harus bersembunyi untuk bertahan hi...