Aku menatap punggung tegap yang ada di depanku. Punggung Jason. Sudah hampir sebulan dan Jason masih mendiamkanku, bahkan dia duduk di samping Rini sekarang. Sebegitu bencikah dia padaku? Tapi aku salah apa? Padahal dia yang dulu janji akan selalu ada disampingku, tapi lihatlah kenyataan yang ada sekarang. Dia bahkan menghindariku, entah sudah berapa jauh jarak yang terbentang diantara kami.
Aku pernah meminta maaf padanya, tapi dia hanya memandangiku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan dan tak lama kemudian meninggalkanku sendirian dengan menyedihkan. Aku mulai frustasi dengan sikapnya. Aku bingung harus bersikap apa lagi padanya. Apa perempuan selalu berinisiatif duluan? Padahal dari banyak cerita yang aku baca, kebanyakan lelaki yang meminta maaf duluan dan menjelaskan kesalahannya. Mungkin apa yang dikatakan Natha benar, aku bukan cewek.
Bahuku ditepuk. "Kenapa, Nath?" tanyaku pada Natha.
"Jangan kebanyakan mikirin Jason. Kita mau kuis sekarang. Fokus biar gua bisa nyontek ke lu," ujar Natha pelan.
Aku menatapnya datar dan dia hanya memasang wajah sok innocent. Tapi memang dia innocent sih.
Ternyata soal kuisnya tidak susah, buktinya aku dapat menyelesaikan dalam waktu kurang dari 30 menit. Semua kepala mendongak ketika mendengar ada kursi bergeser. Jason mengumpulkan tugasnya dan langsung keluar kelas tanpa menoleh, apalagi menunggu tunangannya. Rini menatap Jason dengan wajah memerah karena marah. Teman-teman sekelasku memandang mereka dengan raut wajah kasihan sekaligus geli.
Bukan suatu rahasia lagi kalau Rini ngejar-ngejar Jason. Orang satu kampus pun tau. Walaupun mereka selalu terlihat bersama, Jason selalu memasang wajah dingin -dia tidak pernah begitu padaku-. Berbanding terbalik dengan Rini yang selalu memasang wajah sumringah dan mengikuti kemanapun Jason pergi -bahkan ke kamar mandi sekalipun ia tunggu didepan pintu toilet-.
Aku menghela nafas. Sudahlah, bukan urusanku.
****
"Mama pergi dulu ya. Baik-baik di rumah. Jaga papamu." Mama menasihatiku sebelum ia pulang ke kampung halamannya untuk liburan bersama adikku. Aku mengantar mereka ke stasiun.
"Iya, Ma. Baik-baik juga ya disana. Ika bakalan kangen Mama nih. Kabarin aku terus ya," ujarku sambil memeluk Mama. Mama membalas pelukanku dan mengecup dahiku. Aku beralih ke adikku. "Jangan bandel disono. Jangan nyusahin emak gue. Awas lu kalo macem-macem. Jaga emak gua, jangan sampe ilang."
"Bawel lu," omelnya, "tenang aja sih sama gue mah. Buat apa gue ekskul karate kalo gua ga bisa jaga emak gue."
Aku tertawa dan mengacak-acak rambutnya. "Gua bakalan kangen sama lu," ucapku lembut.
Revan mengangguk. "Gue tau kok," ujarnya sombong dan langsung kuberi hadiah jitakan di kepalanya.
"Masuk sana. Keretanya udah mau berangkat tuh."
"Iya. Mama pergi dulu ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawabku sambil melambaikan tangan. Aku menunggu hingga kereta meninggalkan stasiun dan beranjak pulang sebelum hari semakin malam.
Aku membuka pintu rumahku. Sunyi. Tidak ada suara bawel Revan. Baru kali ini bener-bener ngerasa sendirian di rumah.
Aku melangkahkan kaki menuju dapur. Membuka kulkas dan mencari cemilan. Bersenandung kecil untuk menghilangkan sedikit kesunyian. Akhirnya aku memutuskan mengambil satu bar coklat dan memakannya sambil menonton film-film koleksiku.
Baru juga aku makan setengah bar, perutku terasa sakit dan mual. Aku buru-buru menuju westafel dan semua yang kumakan langsung keluar. Hal itu terus terjadi hingga badanku lemas dan keringat dingin bermunculan di sekujur tubuhku. Aku menyeret kakiku untuk mengambil ponsel dan segera mengetik pesan pada temanku yang seorang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum yang Menghilang
RomanceAku takut. Aku sakit. Aku benci dia. Aku benci diriku sendiri. Berat rasanya memikul peran protagonis yang dibalut dengan antagonis didalamnya, memakai topeng bidadari yang dibaliknya terdapat wajah iblis, menjadi pribadi yang bahkan aku sendiri tid...