Lenganku terpaut, menyebarkan rasa menggigil yang dipendam ke sepenjuru tubuhku. Mulutku bergemelutuk membentur gigi-gigi yang saling beradu di dalamnya. Kaki panjangku kurapatkan, tubuhku kuimpit satu sama lain, menciptakan ruangan sempit di udara.
Uap putih mengudara tiap tarikan nafas yang coba kuhembuskan, menciptakan perpaduan warna di antara langit kelabu di atas. Malam telah menerpa, tetapi tiada tempat untukku berteduh saat ini, tidak tanpa perlindungan.
Hujan telah menunjukkan janjinya setelah lima menit berlalu semenjak guntur merajalela, menandakan akan tumpahnya gumpalan air dari langit. Awan telah menyatu, kumpulan abu-abu memenuhi langit dengan kekelamannya, menitikkan air hujan tanpa pamrih. Tiada yang mempedulikan seorang anak perempuan yang menggigil seorang diri di daerah asing, melenggak lenggok tanpa tujuan pasti. Tiada seorang pun yang ingin meluangkan waktu berharga mereka demi menghabiskan sekiranya dua menit untuk menghampiri dan memantau keadaan gadis itu.
Ya, aku sudah berdiri dengan basah di seluruh tubuhku selama lebih dari sepuluh menit, membiarkan angin menerpa dan hujan mengguyur ganas. Mataku senantiasa kukatupkan demi melawan angin yang menghajar kuat irisku. Namun, kupaksakan alat indra itu berfungsi demi melihat ke sepenjuru tempat, berharap ada seseorang yang baik hati untuk menolong.
Apa daya, aku hanya dapat menatap menyongsong kehampaan di depanku dan menahan terjangan angin dan hempasan hujan di tubuh. Satu dua, kakiku begitu goyah oleh dingin dan letih hingga sontak kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Namun, aku tidak ingin terdiam dalam duduk di keadaan menyedihkan, terjatuh, maka kupaksakan kedua kaki ini untuk bangkit dan kembali berdiri dalam sepi. Uap nafasku kini telah mengepul bagai air mendidih.
Apakah benar-benar tiada seorang pun yang sekiranya cukup manusiawi di sekitar sini? Tidak adakah yang mengkhawatirkan nasib gadis lima belas tahun sepertiku? Aku yang hanya dapat membisu dalam diam sembari menunggu pertolongan seseorang dari terpaan angin dan hujan ini? Apakah orang-orang sekitar telah buta hingga tidak dapat melihat mulut membiruku atau wajah pucatku?
Aku meneliti keadaan sekitar, aku yakin tempat ini semacam kota kecil dengan penduduk yang saling mengenal. Dari tempatku berdiri, terlihat salah satu rumah dengan warna krem. Seorang wanita berusia empat puluhan sedang berbicara di telepon dengan mimik sedih, entah apa yang sedang didengarnya. Aku mampu melihatnya berkat jendela yang tidak ia tutup dengan korden ataupun penutup lainnya. Ia sesekali menggigit bibir dan memainkan rambut cokelatnya yang dipotong pendek, menampakkan kecemasannya.
Aku ingin tahu apakah dengan melambaikan tangan, akan menarik perhatiannya kepadaku. Mungkin ia akan senantiasa membantuku dan membiarkanku bermalam di rumahnya sekarang. Namun, sekuat apapun aku melambai, sekencang apapun aku berteriak, mata itu tidak menoleh ke mari walaupun hanya sedetik. Aku mendesah kesal, mulai mengutuk dunia yang dengan tanpa penjelasan mengutusku ke mari. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat ke sini dan untuk apa, tetapi hati ini berteriak ingin berargumentasi. Rasanya aku mengenal sosok wanita di telepon itu meskipun memori ini menguncinya.
Jantungku hampir melompat ke luar ketika wanita itu berbalik ke kelaman malam, dapat dengan tidak sadar menangkap pandangan mataku dengannya. Namun, ia hanya menatap melintasiku seperti tidak ada siapapun di sana, atau hanya berpura-pura tidak melihat. Gawat, bagaimana sekarang aku akan bermalam?
Kucoba menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan pelan, membiarkan segala kekhawatiranku ikut pergi bersama helaannya. Aku memang tidak ingat bagaimana caranya hingga tubuh ini dapat berakhir di entah berantah ini, tetapi otakku tahu kejadian sebelumnya. Hal yang terjadi beserta memoriku sebelum raga ini mengambil alih keputusan dan menancapkan keinginannya. Hasratnya untuk tiba di sini, tanpa izinku. Tubuh ini, yang entah dengan muslihat macam apa mengantarkanku ke pintu penuh dera angin dan derita, tanpa seorang pun mempedulikanku.
Sekarang aku benar-benar basah kuyup, sweter merah yang kukenakan beserta rok putih kotak-kotak telah tenggelam dalam hujan. Rambut hitam panjangku pula tidak lebih baik dari pakaianku, tampak melekat kuat ke dalam lapisan sweterku. Aku menghela nafas, kaki ini perlu melangkah walaupun berhenti di rumah orang lain ataupun menyelinap masuk bila perlu. Benak ini sudah membuang harga diri, keadaan inilah yang perlu kuperjuangkan. Tiada seorang pun bersukarela menampungku di rumahnya, makan aku sendirilah yang harus menyelinap.
Namaku tidaklah penting, masa lalu pun abaikanlah. Aku seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang bermartabat, tetapi tidak bila keadaan telah mendesak. Ketika sadar aku sudah berada di sini, di tengah derai hujan dengan tiada seorang pun mengulurkan tangan. Akan kuceritakan kisahku tentang alasan yang memicuku datang kemari, walaupun diri ini tidak menghendaki. Kuceritakan, selagi menyelinap.
---
Hai semua! Saya DyaPrim, penulis cerita yang berharap agar kalian menyukai karya saya.
Tolong vote dan vomment bila suka ya. Saya pasti menghargai para pembaca, maka itu terima kasih banyak telah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...