Musim 5

1.2K 196 12
                                    

Musim 3 ~ Rasa yang lain

Hari ini mungkin kamu menjadi yang paling berharga,

tapi esok mungkin kamu jadi yang paling tidak berguna.





"Kok, baju kamu basah?" tanya Nila heran melihat bagian lengan baju seragam Bagas basah kuyup.

"Temen aku tadi gak bawa payung, jadi aku anterin pake payung aku dulu ke gerbang sekolah" jawab Bagas seraya melirik lengan bajunya yang hampir seluruhnya basah lalu mengusap-usapnya berharap jadi cepat kering. Bagas tidak terlalu menyukai hujan, tidak juga terlalu membenci hujan, biasa saja. Tapi kala bersama Nila, hujan bisa terlihat membahagiakan. Entah apa yang ada di dalam diri Nila yang membuat Bagas sungguh jatuh hati sedalam dalamnya, yang Bagas tau ini semua adalah cara kerja cinta yang memang tidak ingin dimengerti. Kala hujan seperti ini Bagas tak ingin kemana mana, ingin cukup berdiri melihat Nila lekat lekat.

"Perempuan atau laki-laki?" Tanya Nila.

"Perempuan," jawab Bagas tanpa ragu dan berbohong, karena Nila memang bukanlah pacar yang mudah cemburu pada perempuan lain. Nila mengangguk pelan, mengerti tak perlu ada hati yang cemburu selagi itu adalah hal kebaikan.

"Nih, pakai jaket ku dulu," Nila mengambil jaket biru dari dalam tasnya. "Dingin, kan?" lalu memberikannya pada Bagas.

"Kamu aja yang pakai," tolak Bagas. "Masih gerimis," ujar Bagas, ia mengambil alih jaket itu dan mengenakannya di pundak Nila. Nila hanya bisa tersenyum pada Bagas, sebagai balasan dari sikap manisnya selama ini.

"Kamu kan tau, aku suka main air hujan" Gadis menadahkan tangannya pada kerumunan air hujan, Tak berselang lama tangannya sudah penuh dengan air hujan, Nila mencipratkan air itu tepat di wajah Bagas.

Bagas hanya bisa tersenyum melihat Nila mentertawakannya, sebahagia itu. Bagas kekasihnya sendiri justru merasa belum bisa sepenuhnya membuat Nila bahagia, seperti hujan. Cuma hujan yang selalu berhasil buat Nila menjadi orang paling bahagia di mata Bagas dan di mata semesta.

Hujan deras sudah mereda. Sekarang hanya ada tetesan tetesan kecil air yang jatuh dari langit.

"Mau pulang sekarang?" tanya Bagas. Nila mendongak ke atas melihat keadaan langit, seraya menjulurkan tangannya ke depan, merasakan debit air yang jatuh dari langit ke tangannya.

"Udah kecil hujannya, pulang sekarang aja ya, gak papakan?" Tanya Nila, Bagas mengangguk lalu mereka berjalan bersama menuju tempat parkir motor di basement sekolah.

Di tengah perjalanan, Nila minta untuk mampir ke salah satu toko aksesoris handphone di pinggir jalan yang sedang mereka dilewati. Headset miliknya sudah 2 hari ini rusak, barang itu adalah belahan jiwa yang setiap hari dan setiap saat harus dia bawa, kemanapun Nila pergi. Benda itu benar-benar ampuh menyumpal suara-suara yang tak ingin Nila dengar, dengan menyetel lagu sekencang-kencangnya.

Bagas pun turun dari motornya lalu menyusul Nila yang sudah mendahuluinya. Mata Nila langsung terhipnotis oleh headset berwarna pink di sudut toko, tatapannya sama sekali tak memperdulikan headset lain yang memohon-mohon untuk dibeli. Sesuai dengan harapannya, headset itu tidak berkaret. Nila tidak terlalu suka dengan headset yang mempunyai karet, karena itu terasa kurang efektif, suara dari luar masih bisa masuk ke telinganya.

Tanpa pikir panjang Nila langsung mengambil headset itu dan membawanya ke meja kasir, "Bagaimana?" tanya Nila pada Bagas yang menunggunya di dekat meja kasir.

"Bagus" kata Bagas. Selera Nila memang selalu sama dengan Bagas, hanya sedikit berbeda pada pilihan warna. Selera yang semua hampir sama, membuat mereka mudah untuk mengisi waktu luang dengan hal-hal yang mereka sukai bersama.

Nila tersenyum mendengar jawabannya. "Berapa, Mba?" tanyanya pada penjaga toko.

"40 ribu," Kasir itu tersenyum menjalankan SOP di tokonya.

"Sebentar ya mba," ucap Nila seraya mengambil uang di dalam tasnya.

"Trimakasih," ujar penjaga toko. Nila terheran-heran mendengarnya, uang untuk membayarnya saja sama sekali belum dia keluarkan. Nila mengangkat kepalanya.

"Sama sama Mba," sahut laki laki di samping Nila.

"Kenapa kamu yang bayar? Aku bawa uang kok, Gas," kata Nila.

"Angap aja itu hadiah dari aku" ucap Bagas.

"Kamu ini! kamu sudah terlalu banyak kasih aku hadiah." Nila geleng geleng kepala. Jika diingat-ingat lagi, kamar Nila sudah hampir penuh dengan barang-barang pemberian Bagas.

Tiba tiba dering telepon terdengar dari saku baju Bagas, ia merogoh sakunya dan mengangkat panggilan itu.

"Kenapa, Mah?" tanya Bagas pada seseorang diseberang sana.

"Loh, kok bisa?" air wajah Bagas kini berubah menjadi cemas, lalu ia menarik nafasnya pelan kemudian membuangnya. Nila dibuat bingung dengan pembicaraan anak dan ibu lewat telpon itu.

"Bagas kesana, Mah." Bagas mengakhiri sambungan telponnya.

"Kenapa?" tanya Nila penasaran.

"Mamah kecelakaan," jawabannya sontak membuat Nila terkejut dan ikut cemas.

"Kamu pulang sendiri gak papa, kan?" lanjut Bagas yang langsung mendapat anggukan dari Nila sebagai jawaban. Situasi sangat mendesak, Bagas sebenarnya tidak tega membiarkan Nila pulang sendirian, tapi apa boleh buat.

Bagas melangkah meninggalkan Nila yang masih ada di dalam toko. "Bagas!" panggil Nila sambil mengejarnya.

"Hati hati!" ucapnya seraya menggengam tangan Bagas yang terasa dingin. Bagas naik ke atas motornya lalu pergi menghilang dari pandangan Nila.


xoxoxoxoxoxox


Bagas menghela nafasnya lega setelah mengatahui luka yang dialami mamahnya tidak terlalu parah. Hanya ada beberapa luka di tangan dan mata kakinya karena tergores aspal jalanan.

"Kok bisa sampai kayak gini, Mah?" tanya Bagas pada perempuan di sampingnya.

"Mamah tadi buru-buru mau nyebrang, soalnya udah gerimis, takut hujan gede" Ia mulai bercerita.

"Terus, Mamah ngga sempet buat liat kanan kiri, asal jalan aja. Eh, dari arah kiri ada motor yang kenceng banget. Jadi deh, Mamah keserempet" Rianti-Mamah Bagas, memberi penjelasan kronologi yang membuat tangan dan kakinya luka luka. Bagas ingin menanyakan dimana orang yang mengendarai motor itu. Belum sempat mulutnya terbuka, ia sudah kembali diselak.

"Untungnya tadi ada orang yang mau nolongin Mamah."

"Orang yang naik motor itu, sekarang dimana, Mah?" Bagas berhasil bertanya. Tidak, ia tak ingin marah-marah pada pengendara motor itu, hanya ingin tau saja. Lagipula sudah tak masalah, karena Rianti sudah mendapatkan penanganan.

"Orang itu kayaknya lagi buru-buru banget, Gas. Jadi setelah bantu Mamah berdiri dan minta maaf, dia pergi. Tapi dia sempet bantu cari kendaraan buat antar Mamah ke sini." Rianti memang selalu begitu, tak pernah membenci siapapun, bahkan orang-orang yang menyelakainya.

"Jadi siapa yang antar mamah ke sini?" Bagas menanyakan orang baik hati itu.

"Dia sudah pergi tadi, waktu dokter bilang semua baik-baik aja."Ada sedikit menyesal di hati Bagas karna belum sempat berterima kasih pada orang itu. Saat itu juga, dari sudut hati Bagas mendoakan orang itu agar selalu diberi keselamatan dihidupnya oleh Tuhan karena mau memolong perempuan nomor 1 di hatinya.

" Dia satu sekolah juga sama kamu, Gas" lanjut Rianti. Rianti ingat betul seragam yang dipakai anak perempuan itu sama persis dengan sergam yang dipakai Bagas hari ini.

"Siapa namanya, Mah?" tanya Bagas penasaran.

"Siapa ya? Mamah lupa nanyain namanya Gas,"

PELANGI KEENAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang