Kami saling menempelkan punggung dan terdiam. Merasa pedih untuk memulai obrolan malam ini yang terasa pekat dan pilu.
"Minggu depan aku akan melamarnya?"
Aku terdiam dan menahan nafas, membenci perkataan dia yang sudah aku prediksi akan terucap sebelum kami bersama.
"Baguslah mas kalau begitu."
"Kamu bagaimana?"
"Lusa aku berangkat, semuanya sudah siap dan tidak bisa ditunda."
"Jika itu pilihanmu maka pergilah."
"Apa aku terlihat punya pilihan mas?"
tanyaku miris dan air mataku sudah mulai menetes. Aku berusaha menunjukkan bahwa aku tegar.
"Aku harap kamu bahagia."
"Kamu tau mas bahagiaku itu kamu."
"Kamu bukan mukhrimku."
Aku terdiam dan merasa sakit hatiku. Inikah yang aku terima, sakit hati yang teramat dalam.
"Setelah lusa jangan pernah cari atau hubungin aku lagi mas. Itu salah satu penyembuhanku agar tidak selalu terbayang-bayang dirimu."
"Baik."
Aku berdiri dan berpindah duduk menghadap dia.
"Apapun yang terjadi dimasa depan kita jangan saling menganggu ya mas. Janjilah padaku."
"Indama iftaqodtuka lan abhatsu a'nka ba'iedan ... bal saandzuru ilaa a'maqi qolbi haitsu takuunu daaiman."
"Laisal hubbu a'n nabqo daaiman bi jaanibi man nuhibbu, wa laakinnal hubbu an nabqo fie qolbi man nuhib."
"Mas apa artinya?"
"Hussst sini"
Dia menempelkan telunjuknya dibibirku ,merengkuhku dan mendekapku. Dia mengeluarkan airmata dan menangis bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Love but Two Way
RomanceIndama iftaqodtuka lan abhatsu a'nka ba'iedan ... bal saandzuru ilaa a'maqi qolbi haitsu takuunu daaiman Aku tidak tau apa artinya saat kamu membisikkan kalimat itu ditelingaku. Aku hanya tau malam ini menjadi saksi terakhir kebersamaan kita. Hai k...