Ada saatnya aku begitu mencintaimu,
Tak dapat bertahan tanpamu
Tak bisa jauh darimu
Bagiku duniaku hanyalah dirimu.
Sampai saat disatu titik dimana aku dipaksa untuk mengubur sosokmu,
Melupakan segalanya tentang kita
Sampai tak akan ada lagi kita, yang tersisa hanya ada kamu dengan hidupmu dan aku dengan hidupku...
Aku....dan...kamu adalah orang asing.¤¤♥♥¤¤
Gita menghentikan apapun yang saat ini dilakukannya. Tubuhnya benar-benar kaku, sosok yang berdiri tak jauh darinya itu seolah menghisap habis daya hidupnya.
Dalam mimpi terburuknya sekalipun wanita cantik itu tak mengharapkan kenyataan ini terjadi. Lelaki ini, lelaki didepannya yang saat ini telah berpindah berdiri dibelakang kursinya sekarang adalah orang yang paling tak ingin ia temui.
"Merindukan ku" bisikan itu terdengar begitu dekat ditelinganya hingga membuat bulu kuduk Gita meremang. Tak dapat dipungkiri dalam kalimat penuh pemujaan itu sarat akan nada dingin yang membekukan. Lidah Gita terlalu kelu untuk menjawabnya. Sampai telapak tangan kekar itu berada dipundaknya, dia justru tersentak seolah sentuhannya bisa mengalirkan listrik ribuan volt.
Tentu saja hal itu membuat si lelaki terkekeh geli melihat respon dari wanita didepannya.
"Kenapa mine? apa aku sebegitu menakutkannya untukmu?"
Lagi-lagi tanya itu tak terjawab, karena wanita didepannya sedang berusaha mengendalikan jantungnya yang berdetak tak karuan.
.
.
.
Anggita, wanita cantik itu menggigit bibir bawahnya dengan cukup kuat, hingga ia dapat merasakan sedikit perih disana. Sorot matanya yang biasa telah berganti dengan sorot sendu dan penuh luka.Meskipun sudah beberapa tahun berlalu, perasaannya masih saja sama. Responnya pun masih tak ada yang berubah terhadap lelaki ini. Sekeras apapun dia mencoba dan menyangkal, hatinya tak bisa didustai bila seluruhnya masih milik lelaki ini. Lelaki yang saat ini menatap tajam kearahnya, walaupun dia tak melihat secara langsung tetapi tatapan tajamnya begitu terasa. Yang lagi-lagi kembali membuka luka yang kian bernanah.
Memang bukan salah lelaki ini, semua memang salahnya karena dialah yang telah meninggalkannya dengan begitu banyak luka. Dialah yang harusnya bertanggung jawab akan semuanya. Jadi memang sudah seharusnya rasa sakit itu didapatkannya bukan!?.
Bukankah siapa yang berbuat dia juga yang menanggung. Namun perasaan sesak itu semakin lama semakin tak bisa ditanggungnya. Terlebih dengan kehadiran lelaki itu saat ini. Lalu apa yang bisa dia harapkan!?.
Rasa bersalahpun seakan tak cukup untuk menganti semuanya. Bahkan tuhanpun tak mengijinkan dirinya untuk merasa nyaman dalam hari-hari yang ia jalani.Dengan sedikit keberanian Gita berusaha bangun dari tempat duduknya. Perlahan ia membalikkan badannya agar bisa bertatapan langsung dengan lelaki itu. Saat matanya kembali bertatapan dengan sepasang bola mata hitam itu, sedikit keberanian yang ia punya, lenyap tak bersisa. Badannya terasa tersiram dengan air es. Ya hanya sorot itu yang sekarang berubah. Sorot mata yang dulu memandangnya penuh cinta dan pemujaan. Kini telah digantikan dengan sorot mata angkuh dan penuh kemarahan.
"Ba..bagaimana..kabarmu Didi?" Tanya Gita dengan nada gugup.
"Kudengar kau akan bertunangan ya?" tukas lelaki itu cepat, tanpa menghiraukan pertanyaan yang diucapkan oleh wanita didepannya.Raut wajah cantik itu semakin pias, bagaimana bisa dia melupakan hal itu. Pertunangan dengan Sansa Wirarya yang diputuskan oleh sang mama yang sudah terlalu senang karena putri bungsunya sudah mau didekati lelaki. Dan bagaimana bisa Anggita melupakan fakta bila Sansa adalah salah satu pengusaha muda yang sukses dalam karir. Tentu saja kehidupannya akan selalu disorot oleh media. Dan satu fakta lain, bila lelaki yang saat ini tengah berdiri didepannya juga merupakan salah satu dari jajaran lelaki idaman yang memperoleh segalanya dalam hal karir maupun materi.
Merasa tak akan mendapat jawaban dari bibir mungil wanita didepannya lelaki itu kembali berujar.
"Hebat sekali lelaki itu" ucapnya sambil mendudukkan diri dimeja kerja Anggita. "Sulung Wirarya bukan!? Apakah dia sudah tahu tentang kau dan aku?"
Seketika wajah Anggita semakin terlihat pucat pasi, pandangannya mencari keseriusan diwajah lelaki itu yang masih menatapnya datar.
"Ap..apaa maksudmu Dika?"
"Tentu saja yang kumaksud adalah...kita"
Anggita mengambil nafas panjang setelahnya dia hembuskan secara perlahan untuk mengurangi sesak. Matanya mengerjap untuk menghalau lelehan air mata yang mendesak keluar."Su..sudah tak ada lagi kita Dika"ucap Gita lirih.
"Oh ya? Aku tak pernah ingat kalau kita sudah berpisah mine" tukas ringan pria yang ternyata adalah penerus kerajaan bisnis Parawansa tersebut.Anggita semakin tak dapat menahan laju air matanya. Betapa setiap kata yang keluar dari pria didepannya ini masih sangat berpengaruh besar terhadapnya.
"Itu semua...masalalu Dika, kau harus tetap melanjutkan hidupmu lebih ba.."
"Jangan berbicara seolah kau lebih tahu apa yang baik untukku"potong Dika dengan geram.
Kedua tangan besarnya kini mencengkram bahu Gita dengan sedikit kasar.
"Jangan mengaturku dengan semua omong kosong mu seperti beberapa tahun yang lalu, dan batalkan acara pertunangan sialan itu atau kau akan tahu apa yang bisa ku lakukan "ujar Dhika penuh peringatan.
Anggita hanya mampu tergugu dengan sikap Dhika yang mulai muncul kepermukaan.
"Kau masih milikku, ingat itu!" Setelahnya lelaki itupun berlalu pergi meninggalkan Anggita yang kini terduduk dikursinya dengan bahu yang bergetar.
Samar isak tangisnya mulai terdengar, bahkan deringan ponsel yang ada diatas meja pun dia abaikan.Anggita terlalu mengenal bagaimana sosok seorang Pradhika Parawansa, lelaki yang pernah menjadi sosok terpenting dalam hidupnya_atau bahkan masih begitu, pasti akan membuktikan semua ucapannya. Dan lagi-lagi hal itu akan menimbulkan luka untuk keluarganya, menambah daftar hitam rasa bersalahnya, dan melukai banyak orang. Membayangkannya saja sudah membuat perasaan sesak menghimpit dadanya. Lalu apa yang harus dia lakukan saat ini. Entah berapa lama wanita itu tenggelam dalam tangisnya hingga sosok suster Lani muncul dengan membawa bungkusan makanan yang dipesannya tadi. Suster muda itu terlihat khawatir mendapati keadaan atasannya yang sedikit kacau. Suara lembutnya yang serak karena terlalu lama menangis, hingga wajah ayu nya yang terlihat sembab menimbulkan berbagai tanya dibenak assistennya tersebut.
Untuk kesekian kalinya Gita mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja."Terimakasih suster Lani, aku tak apa" ujarnya. "Dan bisa tolong untuk memajukan jadwal pemeriksaan pasien satu jam lagi, sementara itu ada beberapa berkas yang harus saya pelajari"
"Baik dok, jika ada hal lain jangan sungkan mengatakan pada saya"
Gita memberikan seulas senyum tulus untuk suster muda tersebut.
"Terimakasih banyak Lan, aku baik-baik saja sungguh. Jadi setelah ini kau tak perlu memberitahu mamaku. Karna aku akan memakan dengan baik makan siangku" tukas Gita dengan sedikit candaan, membuat suster Lani ikut tersenyum dan mengangguk mengerti. Setelah suster Lani keluar dari ruangannya, wanita itu tampak menghela nafas panjang. Mengatur perasaannya yang kacau sejak kedatangan lelaki masa lalunya tadi.Setelah ini dia harus berbicara dengan Sansa, lelaki baik itu berhak untuk tahu semuanya. Mungkin tidak semuanya, hanya secara garis besarnya saja. Setelahnya dia bisa memutuskan sendiri, langkah apa yang akan mereka ambil selanjutnya.
Bisa saja Gita mengabaikan peringatan Dika, tetapi wanita itu tidak cukup tega untuk membiarkan orang lain menanggung akibat dari sikap egoisnya. Terlebih seorang Sansa adalah pria baik dan tulus terhadapnya.Sebelum itu Gita perlu menghubungi para sahabatnya. Mereka yang juga mengenal baik sosok Dika pasti memiliki pertimbangan yang dapat membantunya mengambil keputusan.
****
Please vote + comment
KAMU SEDANG MEMBACA
GitaCinta Parawansa
Random~Anggita Putri Prameswari~ ~Pradikha Putra Parawansa~ Mungkin aku bisa memaafkan, tetapi aku tak mungkin bisa melupakan. Kau bagian dari masa laluku, memberikan luka yang begitu dalam,meski aku memilih bertahan setelahnya akupun kau tinggalkan. maaf...