ACT ONE
CHAPTER 1
KADANG di tengah perjalanan kereta yang sepi, kait-kait di balik kepalanya saling bertautan. Membayangkan ini, membayangkan itu. Seluruh dunia mungkin tidak luput dipikirkannya. Tapi sore itu, pikirannya hanya terpancang pada suatu hal kecil; seorang laki-laki yang terus saja memperhatikannya. Dia sudah biasa dipelototi dari ujung kaki sampai kepala. Tapi entah mengapa, dia merasa, kali ini berbeda. Pikirannya berpacu. Perlahan dia membayangkan dirinya ditindih oleh lelaki itu. Dengan gemetar, dia meminta ampunan kepadanya, meminta agar dia dilepaskan saja. Bam bam bam, semua terjadi. Bayangan mengenai keluarganya seketika muncul. Juga keluarga dari lelaki itu. Juga pekerjaannya. Juga teman-temannya. Dia tersenyum tipis. Dia tahu dia itu terlalu banyak berfikir. Dulu, ART di rumahnya sering berteriak memarahinya karena terlalu sering mengurung diri di dalam kamar untuk berfikir.
"Lidia, jangan terlalu banyak berfikir. Bisa bisa otakmu nanti habis di makan semut!"
Dia, sampai sekarang, bahkan tidak tahu kenapa semut ingin memakan kepalanya yang penuh pikiran rumit. Semut suka segala sesuatu yang manis. Dan sepanjang yang dia ketahui, hampir seluruh pikiran-pikiran yang ada di balik kepalanya tidak semanis itu.
Underground yang dinaikinya berhenti, begitu juga dengan hal-hal yang ada di pikirannya. Dia beranjak dari bangku tempatnya duduk lalu berjalan pulang menuju ke flat kecil miliknya di pusat kota.
Scarf tipis yang dikenakannya nyaris diombang-ambingkan oleh angin malam London yang dahsyat. Hampir sepanjang perjalanan dia habiskan untuk menahannya agar tidak melayang. Seharusnya dia tidak menghambur-hamburkan uangnya untuk mengikuti seminar Menjadi Kaya dalam Sekejap. Karena: tentu dia tidak akan menjadi kaya dalam sekejap, dan yang kedua, dia mungkin saja bisa menggunakan uangnya untuk membeli scarf yang lebih tebal, dan hangat. Mungkin ini kutukan baginya karena menjadi terlalu bodoh.
"Sialan, kau, otak!"
Malam ini terasa lebih sepi dari biasanya. Toko ayam goreng yang biasanya dia lewati ketika pulang, tutup lebih awal.
Dia tidak menyukai ini. Karena di tengah sepi, pikiran-pikiran di dalam kepalanya menjadi semakin liar dan tidak bisa ditahan. Sungguh pikirannya itu adalah sesuatu yang rumit. Mungkin beberapa saat yang lalu dia membayangkan menjadi anggota keluarga kerajaan, lalu beberapa saat setelahnya, dia akan membayangkan dirinya menjadi ketua mafia paling ditakuti di dunia.
Angin malam bertiup makin kuat. Dia bisa merasakan jantungnya berdentum makin keras, membuat nyalinya semakin ciut. Dia seolah merasakan sesuatu malam ini. Mungkin saja anjing besar berkaki enam yang dibayangkannya akan muncul dan menerkamnya dari belakang. Lalu dia akan dicincang habis hidup-hidup lalu-
Langkahnya terhenti.
Keringat dingin mulai melumasi punggungnya. Tidak memakan jeda terlalu lama sebelum dia mulai menarik nafas lalu berlari sekuat tenaga. Entah apa yang sedang dia coba untuk hindari. Tapi toh meskipun begitu, dia tetap saja berlari, berlari secepat cheetah. Seperti apa yang guru olahragannya dulu selalu bilang kepadanya.
Mungkin anjing hitam yang dibayangkannya itu memang sedang berjalan di belakangnya, menunggu saat yang tepat untuk mencabik tubuhnya yang menyedihkan.
Flat putih miliknya mulai terlihat dari kejauhan. Dia terus berlari. Semakin lama, Lydia makin mempercepat langkahnya. Dia berlari, lalu berlari, dia terus berlari. Tapi jarak yang ada seperti tidak kunjung memendek. Nafasnya tersenggal, paru-parunya seolah terbakar. Dia harus segera pulang! Dia harus pulang dan mengunci pintunya rapat-rapat, juga jendelanya. Lalu dia akan langsung berlari ke kamar tidur dan menyelimuti seluruh tubuhnya sampai pagi.
Pintu depan rumahnya yang berwarna coklat sudah dapat dia jangkau. Dengan kacau, dia meraih kunci rumahnya dan berusaha sekuat tenaga untuk memasukkan ujung kuncinya ke dalam lubang pintu.
"Sial! Sial!" Tangannya terlalu gemetar untuk bisa segera memasukkannya ke dalam daun pintu.
Butuh beberapa menit sebelum pintu yang ada di depannya benar-benar bisa terbuka. Setelah itu, dia segera masuk dan berbalik untuk membanting pintunya keras-keras. Juga tidak lupa dia mengaitkan segel dan menguncinya dari dalam. Dia berlari menuju ke jendela. Dia mengaitkan kuncinya, lalu menarik korden untuk menutupinya.
Bagian dalam rumahnya gelap gulita.
Di tengah gelap dia berjalan pelan menuju ke kamar tidurnya; tempat paling aman di dunia. Jauh di dalam hatinya, dia berharap supaya kamar kecilnya ini dapat melindunginya dari anjing besar berwarna hitam itu.
***
Dia terbangun di tengah malam. Dan satu dari sekian hal yang paling dia benci adalah tidur yang terganggu.
Di tengah sepinya malam, dia mendengar suara itu. Suara rintihan yang makin lama terdengar seperti rintihan kesakitan. Seketika jantungnya berdebar. Apakah ini salah satu dari khayalannya? Karena pernah di suatu kesempatan, apa yang ada di pikirannya terasa riil. Sangat nyata sampai dia tidak bisa membedakannya dengan apa yang benar-benar ada di hadapannya.
Dia kembali menyandarkan tubuhnya. Mungkin beberapa menit menutup mata akan membuatnya kembali tertidur. Tapi suara itu kembali mengusiknya. Mungkin suara itu tidak begitu kencang, tapi cukup untuk membuatnya merinding.
Ah, mungkin hanya orang-orang- pemabuk itu.
Tiga puluh menit, dia kembali terbangun dari tidurnya. Kali ini, sebuah suara hantaman yang membuatnya terbangun. Buk, buk!
Dia tidak tahu benar apa yang menghantam dan apa yang terhantam. Tapi yang jelas, kali ini, dia tidak hanya diam. Lydia beranjak dari tempat tidurnya, lalu mengintip dari korden putih yang menutupi jendela kamarnya.
Tidak ada apapun.
Dia berjalan menuju ke ruang tamu lalu mengangkat kecil korden yang menutupi jendela. Dia melihat ke segala arah, berharap untuk melihat sesuatu. Tapi dia tetap saja tidak melihat sesuatu.
Dia tidak berdaya. Nafasnya memburu. Bagaimana bisa dia mendengar sesuatu tapi tidak melihat apapun? Apa benar dia sudah gila?
Dia kembali mengintip dari jendela. Beberapa saat kemudian, suara itu kembali muncul. Tidak perlu waktu lama bagi Lydia untuk melihat seorang laki-laki tergeletak penuh luka tepat di bawah jendela.
Ah tidak! Ini tidak boleh terjadi!
Nafasnya semakin tidak karuan. Tubuhnya seolah berada dalam dilemma. Dia ingin membantu laki-laki itu. Tapi pikiran liar di dalam kepalanya kembali muncul. Bagaimana kalau dia adalah lelaki psikopat itu- seperti Hannibal Lecter, yang berpura-pura lemah untuk bisa membunuh dan memakan organ tubuhnya?
Lydia yang malang hanya bergeming.
Beberapa menit berlalu, kali ini, dengan ajaibnya, Lydia beranjak. Dia meraih kunci rumahnya lalu membuka pintu depan yang selalu dia kunci pada malam hari.
Suara rintihan laki-laki itu makin terdengar. Kenapa hanya dia yang keluar dari rumah untuk menolong laki-laki itu?
Lydia yang ketakutan mendekati tubuh laki-laki itu dan menggoyangkannya pelan.
"Sir?"
Dia kembali mendengar suara rintihan. Tangannya yang mungil meraih tangan kanan laki-laki itu, untuk melihat sebuah luka yang cukup dalam bersarang pada bagian perutnya.
Sial.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Dystopia [Discontinued]
RomansaLYDIA tidak pernah menyadari, bahwa membantu seorang laki-laki yang tergeletak penuh luka di samping rumahnya, akan membuat hidupnya menjadi sulit. Semua mulai menjadi rumit, ketika dia tahu bahwa laki-laki itu adalah anak dari seorang konglomerat b...