1 - Sama

79 4 4
                                    

Cewek itu aneh.

Maksud gua bukan cewek secara umum, tapi ini tentang satu cewek yang ada di kelas gua.

Dia selalu duduk di dekat jendela. Bukan, dia bukan setan. Gua udah pernah nyenggol dia. Gak tembus kok.

Setiap hari dia selalu duduk di dekat jendela. Kalau lagi moving class juga sama. Nggak tahu kenapa. Pokoknya tiap hari dia disitu, duduk sendirian sejak pertama kali gua masuk sekolah ini.

Gua emang anak baru. Baru masuk kelas sepuluh kemarin. Kami sekarang kelas sebelas, jadi gua nggak tahu banyak soal cewek ini. Yang gua tahu, dia anak orang kaya, nggak punya banyak teman, dan namanya Serafina.

Cantik memang, namanya.

Nama gua sendiri Rangga Alvino Gea, teman-teman gua manggil gua Avi. Gua pindah ke sekolah ini karena... sesuatu. Gua nggak akan kasih tahu sekarang. Hahahaha.

Balik ke Serafina. Sekilas dia kelihatan kayak cewek pintar kebanyakan, rambut sepinggang yang dikepang longgar, kacamata berbingkai sedikit tebal, dan jaket hoodie yang selalu dia pakai, kecuali kalau hawa panas. Tapi kalau sudah lama ketemu dia, sebenarnya dia berbeda dengan anak pintar lainnya. Dia nggak bicara. Nggak ada teman yang menghampiri tempat duduknya. Dia selalu ke ruang musik pas istirahat. Entah apa yang dia lakukan disana.

Teman-teman gua sih bilang, 'Jangan dekat-dekat Serafina.' 'Nanti dikutuk.' 'Awas ketularan bisunya.' Semua mereka katakan sambil tertawa. Karena komentar-komentar itu, gua nggak pernah mencoba bicara ke Serafina. Cuma sekadar lewat-lewat aja.

Tapi lama-kelamaan, sedih juga rasanya kalau ngelihat Serafina. Dia selalu sendiri, dan gua tau gimana rasanya. Nggak enak.

Tapi kalau mendengar perkataan teman-teman, sebaiknya gua jangan bicara sama Serafina.

Bagaimana ya?

• • •

"Woi."

Tersentak bangun, gua gelagapan sedikit ngelihat teman dekat gua di depan gua. "Apaan Dan?"

Daniel Rama, teman dekat gua semenjak pindah ke sini. Dia orangnya santai, nggak banyak nanya soal kenapa gua pindah.

"Kalo mau tidur di rumah, bro. Lu nggak nyadar apa udah istirahat?" Katanya sambil nunjuk jam kelas. Jam sembilan tepat. Pantes aja. "Oiya ya. Yaudah deh. Mau ke kantin lu?" Tanya gua.

"Ho'oh."

"Nitip makan yak."

"Hih. Ngerepotin lu Vi."

Tapi tetap aja dia pergi beliin gua makan. Hahahahaha.

Pas Daniel keluar kelas, gua baru sadar kalau di kelas cuma ada tiga orang; gua, teman gua yang lagi ngorok, sama tebak coba siapa?

Serafina.

Ini sebenernya kesempatan bagus buat ngomong sama dia. Toh nggak akan ada yang lihat. Paling-paling si tukang tidur bangun, tapi bisa diakalin.

Ngomong, nggak. Ngomong, nggak. Ngomong, nggak. Ngomong, ng-

"Ngapain melototin?"

Gua syok ketika ngelihat bibir Seradina bergerak. "Lu... ngomong sama gua?"

Dia mendengus. "Bukan. Sama si tukang ngorok."

Hoh. Dia ternyata sarkastik.

Hmm. Aneh deh.

"Ehhh... Kenapa lu tiba-tiba ngomong sama gua?" Tanya gua canggung. Serafina cuma ngebalas tatapan mata gua, dan menjawab.

"Abis lu sama kayak gua."

• • •

"Woi. Vi. Avi. Woooi. HOI!!!"

Gua tersentak bangun lagi. Aduh, si Daniel ganggu tidur orang aja deh. "Paan sih Dan? Ganggu tahu."

"Ini udah jam pulang, pe'a. Mau nginep sini lu?" Tukasnya sewot. Gua ngelihat jam, dan ternyata udah jam tiga.

Hebat juga gua tidur selama pelajaran terakhir.

"Itu gara-gara gua bilangin ke Bu Helen kalo lu lagi pusing. Dia ngangguk-ngangguk aja."

Oh. Gua ngucapin kalimat tadi toh.

"Ayo cepet pulang. Gua mau ketemuan sama temen SMP gua nih," kata Daniel, nyeretin gua turun tangga. "Iya-iya, sabar dong."

Sambil jalan, gua masih nggak habis pikir kenapa Serafina ngomong gitu. 'Abisnya lu sama kayak gua'? Sama apanya? Perasaan gua nggak ngapa-ngapain atau berbuat sesuatu yabg ngikutin dia.

Emang aneh bin ajaib tuh Serafina.

Sambil menggerutu soal tidur gua yang diganggu Daniel, gua beres-beres buku dan tas. Aduh mana besok ulangan kimia lagi. Mampus deh gua.

"Dan, catatan kimia lu lengkap nggak? Pinjem dong." Gw nyenggol dia sembari kami jalan ke gerbang sekolah. "Ntar gua fotoin dah. Gua bener-bener harus cabut nih. Udah telat gara-gara lu." Daaan dia pun pergi.

Gua pun sendiri di depan sini.

Seeendiiiriii... sendiri kuu diaaamm..

Lha kok gua jd nyanyi lagunya Noah yak?

Maaf guys gua emang random.

Selagi itu lagu berputar di kepala gua (alias ngestuck), gua nge-sms mama gua kalo gua bakal pulang telat. Kemaren nggak sengaja stik drum gua patah. Terlalu bersahaja gua emang kalo main drum. Mesti beli lagi deh.

Tiba-tiba, di sebelah gua ada orang berdiri. Gua melirik, penasaran siapa. Coba tebak saudara-saudara.

Serafina.

Lagi.

Oke, ini kesempatan lagi buat gua ngomong sama dia. Mungkin setelah ngobrol dia nggak akan seperti rumor-rumor yang beredar. Meski gua nggak yakin sih. Ups.

Dalam hati gua berdebat, ngoming nggak ya?

Ah, ngomong aja la-

"Oh, lu lagi?"

Kenapa dia jadi cerewet kalo cuma ada gua ya?

"Iya gua lagi," sahut gua, menghembuskan nafas. "Kenapa emang?"

"Nggak apa-apa. Lucu aja."

Lucu? Apaan yang lucu?

"Ooh." Jawab gua canggung. "Ngomong-ngomong, gua Avi."

"Iya, tahu," ucap Serafina, "Gua emang pendiam, tapi gua tahu nama semua anak sekelas. Gua nggak sedingin itu."

"Ooh." Lagi-lagi cuma itu yang bisa gua ucapkan. Sambil nyari topik untuk ngobrol, gua sembarangan bicara aja, "Lu nunggu siapa?"

"Nunggu kakak gua." Dia merogoh ke sakunya, mengeluarkan hp dan dua buah karamel. Kayaknya enak...

"Mau?" Tawarnya sambil mengulurkan satu karamel. Tanpa berbicara gua ambil permennya. "Serafina..." Namanya nggak sengaja gua lontarkan.

"Ya?"

"Kok lu mau ngomong sama gua?"

Di luar dugaan, dia langsung menjawab. "Kan gua udah bilang, kita tuh sama. Jadi gua mau aja nyoba ngomong sama lu."

Gua menatapnya bingung. "Iya, tahu, tapi emang apanya yang mirip dari kita? Gua nggak merasa udah ngelakuin sesuatu yang ngikutin lu atau sebaliknya..."

Sekarang Serafina nggak menjawab. Dia cuma menatap ke langit sore, dengan matahari yang sudah setengah jalan menuju ujung bumi. Setelah beberapa menit barulah Serafina mulai berbicara lagi. "Gimana rasanya jadi burung ya?"

"Hah?" Gua dengan gobloknya menjawab.

"Mereka kelihatan bebas. Nggak ada beban di tubuh mereka. Gaya gravitasi pun nggak bisa menahan mereka untuk nggak terbang." Dia menatap dua ekor burung gereja yang terbang melintas. "Gimana rasanya jadi sebebas itu ya?"

Gua ikut menatap kedua burung tersebut. "Gua juga nggak tahu."

SerafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang