Dirimu Seutuhnya

192 4 0
                                    

Sebuah tangan menarikku saat langkahku bergerak maju. Kucoba tepiskan tangan yang menyiratkan kegagahan.

“Sudahlah Jack...” kataku pesimis.

“Sudah apa Sa???” tanyanya menampakkan keresahan.

“Rasa itu hadir hanya untuk kunikmati, tidak untuk kumiliki...” jelasku menambahkan kegundahan di jiwaku.

“Kenapa? tolong perjelas... aku ingin mengerti..” pinta pria bertubuh semapai itu lirih.

“Karena aku takut jauh lebih mencintaimu... aku takut jiwaku terluka, aku takut hatiku merana, seperti yang sebelum-sebelumnya kurasakan...” ungkapku tanpa bisa menahan pedihnya hati dalam ungkapan linangan air mata.

“Lho... bagus dong! Kenapa harus ditakuti?” tanya Jack antara lega dan bingung.

Kulepaskan cengkeraman erat tangan bidang itu dari pundakku. Parasku panas membara diselingi tangis yang telah lama kutahan. Aku berlari menjauh, meninggalkan kenyataan yang tidak berani kuhadapi. Ketakutan itu mengalahkan rasa cintaku yang begitu besar padanya, Jack.

***

Berawal dari keisenganku untuk mengungkapkan perasaanku. Kubuat E-Mail yang kunamain KATA@gmail.com. Di sana aku mengungkapkan perasaanku yang telah lama kupendam dan selalu saja berusaha kukubur kepada Jack yang kini hidupnya telah melampaui dari kata berhasil.

Dear Jack,

Aku seorang wanita

Aku pernah merasa bahagia, dan itu karena kamu.

Aku pernah merasa bersedih, dan itu karena aku tidak pernah merasa beruntung.

Aku pernah merasa gugup, saat aku dihadapkan padamu.

Aku pernah merasa rindu, saat terbayang kebaikanmu.

Dan karena aku pernah merasa...

Aku mencintaimu, itu melengkapi hidupku sebagai wanita.

***

Dear KATA,

Maaf, siapa Anda?

-Jack-

Sepenggal kalimat menenun rasa rindu yang mendera perasaanku. Senyuman demi senyuman  merasuki setiap naluriku. Surat pertama yang kuterima dari pujaan hatiku sejak diriku belia. Jack bukan seorang pria yang rupawan, namun ia menawan. Ia mampu mengelabui pandanganku dan membuat hatiku terpesona oleh kehadirannya. Keberanian tidak memampukanku untuk mengakui siapa diriku yang hina – begitulah aku memandang diriku.

“Kamu nulis surat buat dia?” terkejut Nia, sahabatku mendengar celotehku tentang Jack.

“Yah... dan aku tidak punya keberanian untuk mengakui kebenaranku yang tidak pantas dikenalnya ini...” ujarku menundukkan kepalaku sehingga rambut panjangku menutupi parasku yang putih.

PLOK!

“Apaan sih Nia??” protesku cepat ketika tangan kecilnya melayang ke kepalaku.

“Kamu ini kapan optimisnya sih? Dari dulu tidak pernah berubah.. muka nggak jelek, tubuh enggak gemuk sepertiku, kulit putih, rambut panjang... hanya satu yang kurang...” celoteh Nia panjang lebar namun menggantung ucapannya untuk menunggu responku.

“Kurang apa??” tanyaku sewot.

“Kurang PERCAYA DIRII...” teriak Nia seraya mengendap-endapkan langkah kaki untuk kabur dari hadapanku sebelum sempat kutimpuk.

***

“MELLISSA!!!” jeritan bersuara sopran berpendar dalam pendengaranku yang mengagetkanku dari lamunan panjangku tentang awal dari bencana yang menyayat hatiku.

Dirimu SeutuhnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang