Dia.
Yang selalu duduk di pojok kantin, sendirian, ketika istirahat. Hanya memakan bekalnya dalam diam, tidak mengajak siapapun bicara. Termasuk beberapa orang yang duduk satu meja dengannya, karena meja di kantin sudah habis digunakan murid lain. Ketika mereka, yang satu meja dengannya, berbicara atau mengajaknya berdiskusi, yang ia lakukan hanya diam.
Namun, dia juga yang duduk paling depan dalam setiap kelas.
Dengan aktifnya menjawab setiap pertanyaan guru.
Seolah tangan terasa gatal apabila tidak teracung sehari, baik bertanya maupun menjawab.
Seolah kelas adalah panggungnya; dan dialah aktris yang dengan bersinar membuat banyak orang kagum.
Dia juga yang ketika praktikum, membunuh seekor tikus dengan wajah datar, tanpa rasa kasihan sedikit pun, hanya dengan sebuah pisau dan gunting.
Membuat seisi kelas ketakutan.
"Apa yang kau lakukan!" begitu, teriak seorang teman sekelompoknya.
Tanpa rasa bersalah, ia memandang balik temannya itu, mengacungkan gunting yang penuh darah tepat di depan matanya. Pada akhirnya, satu kalimat keluar dari bibir pucatnya;
"Apa kau mau menemaninya?"
Dia juga yang menawarkan bantuan dengan ramah kepada para adik kelas, menanyakan apakah ada kesulitan dalam ujian mendatang. Lengkap dengan senyum manis di wajahnya, membuat semua orang terheran-heran.
Dia, yang menurut semua orang, bermuka banyak.
Dia, yang tidak pernah dimengerti orang lain.
Suatu hari, kuberanikan diriku bertanya padanya,
"Ada apa denganmu?" tanyaku, heran.
Ia menoleh, tersenyum. "Kenapa? Aku baik-baik saja."
"Bukan itu!" aku berseru. "Kau bisa tampak begitu senang sekarang, begitu sedih saat istirahat, begitu gila disaat-saat lainnya. Bagaimana kau melakukannya?"
Ia diam.
"Mengapa kau melakukannya? Bukankah cukup menjadi dirimu sendiri? Cukup satu?"
Ia tetap diam.
"Tidak tahukah kamu, semua orang tidak mengerti akan dirimu! Semua beranggapan, kau orang yang munafik!" seruanku diakhiri dengan nada frustasi. Aku memandanginya, menuntut sebuah jawaban.
Kalian tahu apa jawabannya?
Tawa.
Ya, sebuah tawa.
"HAHAHAHAH!"
Aku kembali dibuat bingung. "Mengapa kau tertawa?"
"Kau orang yang bodoh," ucapnya. "Sungguh, sangat bodoh."
"Apa?!"
"Satu tidak cukup bagiku. Semuanya, senang, gila, kesepian dan sebagainya, semuanya adalah bagian dariku." Terlihat senyuman jahat. Bibirnya melengkung ke pipi; membentuk sebuah bulan sabit yang menyeramkan. "Semuanya."
Ia berjalan mendekat ke arahku, berbisik dengan suara rendah; "kau pun demikian, sayang."
End.