Lumina POV.
Hujan sudah reda beberapa saat yang lalu. Setiap harinya dibulan November ini hujan selalu menemani setiap langkah orang - orang yang hendak beraktifitas. Harumnya tanah basah yang disembur air menguap, menggelitik setiap hidung manusia yang menciumnya. Aku masih bergelung dengan hangatnya selimut, malas untuk beranjak. Ditambah lagi dengan udara dingin yang masuk melalui celah - celah ventilasi dan menyebar ke seantero ruangan kamarku. Kuliahku dimulai masih 1.5 bulan lagi -- Alasan mengapa aku masih di atas kasur saat ini. -- aku mulai rindu dengan dinginnya bangku sekolah yang hampir setiap hari ku tempati. Aku mulai rindu dengan teman - teman yang sekarang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. Aku rindu dengan seluruh peraturan dan tata tertib yang memaksa, tapi justru menjadi suatu kenangan yang tak akan terlupakan sepanjang masa. Aku rindu sekolah.
Aku menatap kearah langit - langit kamar, terdapat beberapa burung origami yang tergantung disana. Jika burung origami itu satu persatu dibuka, ada banyak harapan di dalamnya. Masyarakat di Jepang percaya, jika kita membuat 1000 burung dari kertas origami, maka keinginan seseorang akan terkabul. Burung origami yang tergantung dipelafon kamarku memang tidak 1000 jumlahnya, bahkan 100 buah pun tak sampai. Tapi apa salahnya kalau aku menggantung semua harapanku diatas sana? Siapa tahu, salah satu dari mereka ada yang terkabul.
Sisa - sisa hujan meninggalkan bekas kenangan tersendiri bagiku. Seketika aku teringat akan malam itu. Malam ketika dimana Yuga tak bisa terkendali dan aku yang dengan bodohnya mengikuti semua tawaran yang Ia berikan terhadapku. Malam di mana aku menangis seharian setelah kami melakukan hal yang seharusnya dilarang oleh agama. Malam dimana Yuga memelukku erat dan berkata bahwa semua akan baik - baik saja.
Ya, semua akan baik - baik saja. Ku harap.
Aku menangkup wajahku dengan telapak tangan. Kutepis semua lamunan yang menyeruak dan berusaha sekuat tenaga menanamkan perkataan Yuga dibenakku.
"Lumina, sudah bangun?"
Ibu datang ke kamarku dengan membawa satu nampan berisi makanan.
"Ini ibu bawakan makanan kesukaanmu. Kamu belum makan dari pagi loh, nak." Sambungnya.
"Mina lagi ga nafsu makan bu. Kepala Mina sakit." Ujarku. Ya, sudah beberapa minggu ini kondisi tubuhku sedang tidak bersahabat.
"Yasudah kalau gitu kamu makan dulu, ya? Habis itu minum obat nanti ibu bawakan."
"Terimakasih, bu." Kataku sembari tersenyum.
"Kamu yakin mau menolak beasiswa itu?"
Surat yang terbalut amplop berwarna coklat muda itu datang sejak 3 bulan lalu. Surat yang menyatakan bahwa aku mendapatkan beasiswa untuk menjadi salah satu mahasiswi di National University of Singapore, fakultas kedokteran gigi. Sahabat ibu menjadi salah satu dosen disana, tapi bukan hanya itu sebab nya aku bisa mendapatkan beasiswa ini. Usaha ku selama masih menjadi murid SMA adalah penunjang keberhasilanku. Di saat beribu orang yang berbondong - bondong untuk mendaftar ke Universitas favorite di Singapore itu, aku sudah mendapat kursi disana. Dan aku menolaknya.
"Aku pikir universitas di Indonesia juga bagus, bu. Kalau aku sekolah disana aku akan jauh dari ibu." Ku tatap amplop berisi surat pemberitahuan tentang beasiswa ku yang sudah terbuka bagian pengeratnya tersebut.
Ibu tersenyum. "Tak usah pikirkan ibu. Ibu dan adikmu pasti akan baik - baik saja disini. Yang harus kamu pikirkan adalah masa depanmu."
Hening.
"Pikirkan keputusanmu, selagi masih ada waktu yang tersisa."
Ibu keluar kamarku dengan harum parfumnya yang membekas, ini wangi favorite ku. Tapi entah mengapa saat ini aku merasa tak menyukainya, ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku memberikan penolakan akan wanginya parfum ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate To Loving You
RomanceAku berjalan sendirian, menelusuri hitam putihnya kehidupan. Terkadang, apa yang di rencanakan tak sesuai dengan angan - angan. Aku masih ingat bagaimana relief wajah tampan lelaki itu. Lelaki yang hanya bisa berjanji tapi nyatanya ingkar. Pergi tan...