The Recognition

8K 353 10
                                    

Lumina POV.

Pukul 14.00 WIB.

Aku dan Yuga duduk terdiam di dalam mobil yang terparkir di sisi bahu jalan. Kemarin lusa Yuga telah berjanji untuk membawaku ke kediamannya dan berbicara secara delapan mata bersama kedua orangtua nya. Tetapi yang ada sekiranya sudah hampir satu jam kami memutari kota tanpa tujuan. Suasananya kian memburuk ketika hening menggerogoti seisi ruang sempit ini. Tidak satupun dari kami yang ingin memulai pembicaraan.

Sebenarnya aku merasa tidak nyaman, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Melihat wajah Yuga yang tampak kusut seperti ini membuatku takut untuk berinteraksi dengannya. Semangat di wajah nya nampak memudar. Jadi aku hanya bisa mengalihkan pandangan ku keluar kaca mobil. Di luar sana, di bawah pohon yang rindang terdapat dua anak jalanan kecil. Pakaian mereka lusuh dan kotor, masing - masing tangan kiri mereka menggenggam botol pelastik berisikan beras sementara tangan kanan nya sibuk menyuap makanan ke mulut mereka. Sesekali dua bocah kecil itu tertawa renyah di sela makan siangnya itu. Aku merenung melihatnya. Dan aku berfikir...

Apakah nanti bayiku akan tumbuh dengan baik?

Apakah nanti bayiku akan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya?

Atau mungkin...

Apakah nanti bayiku akan terlantar layaknya anak - anak jalanan tersebut?

Ku alihkan pandanganku dari mereka. Dua bocah kecil itu telah sukses membuatku gusar. Mengingatkan ku akan bayi yang sedang bersemayam di rahimku. Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku akan menjadi seorang ibu. Aku belum siap. Bagaimana tanggapan ibuku mengenai hal ini nantinya? Atau bagaimana pendapat orang - orang mengenai aku yang telah mengandung anak seseorang yang bahkan belum menjadi imamku?

"Cukup Lumina, kau hanya membuat jiwamu semakin kacau." batinku membela.

Lalu pening seketika menjalar hebat di ruang kepalaku. Sesuatu yang bergejolak dari dalam itu mulai muncul lagi.

"Ueekk, ueekk." Tanganku refleks menutupi bibir.

"Mual lagi ya? Mau muntahin diluar?" Akhirnya Yuga berkata.

"Engga usah, aku gak apa - apa kok, Ga. Aku bawa minyak kayu putih biar gak mual lagi." Ujarku.

Tangan hangat Yuga mengusap pipiku. Mimiknya memancarkan kesedihan yang tiada tara. Dan tak lama air matanya menggenang di kelopak matanya, lalu menetes ke pipi. Yuga menangis.

"Please, Ga, jangan nangis. Aku gak apa - apa kok, sungguh." Ucapku mengusap air matanya.

"Gak seharusnya kamu kayak gini. Semua gara - gara aku, seandainya malam itu aku gak iseng dan gak kepancing, pasti semua ini tidak akan terjadi."

Aku menghembuskan nafas, menahan tangis.

"Ya, tapi semua nya udah kejadian, Ga. Kamu mau apa buat mengubah keadaan? Gak ada yang bisa kita lakuin."

"Maafin aku. Please maafin aku." Ujarnya semakin parau.

"It's always."

Aku merengkuh pundak kokohnya yang sedang rapuh itu, kami sama - sama rapuh. Dan terisak bersama atas kesalahan yang kami buat sendiri.

****

Kereta besi ini menghentikan lajunya di depan rumah besar nan mewah bergaya eropa klasik dengan empat pilar yang berdiri kokoh menopang langit - langit teras rumah tersebut. Seketika aku jadi gugup, hawa dingin menjalar keseluruh tubuhku. Yap, aku nervous sekarang.

"Yuk kita turun."

"Aku takut, Ga." Ujarku gugup.

"Gak apa – apa, kan ada aku. Kamu gak perlu takut."

Hate To Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang