Kepalaku penuh dan panas karena dipenuhi oleh amarah yang membara. Juga dada yang sesak karena menahan tangis, sebenarnya aku sudah menangis dari tadi, tapi aku tidak mau mengeluarkan isak tangis yang menyedihkan. Aku menghadap ke arah jendela mobil dan meluncurkan seluruh air mataku dalam diam. Untunglah hari sudah gelap, mama tidak mungkin bisa melihatku menangis, kan?
"Terus, maumu gimana?" tanya mama membuka pembicaraan. Nada suaranya juga terdengar sangat kesal. Aku melirik sedikit, aku bisa melihat dahi mama yang berkerut dalam disinari cahaya lampu jalanan.
Aku mengusap ingusku dengan tanganku tanpa menjawabnya. Mama menghela nafas, terdengar semakin kesal. Mama bukanlah tipe mama-mama penyayang dalam artian yang mengatasi segala hal dengan cara 'keibuan', kata lainnya, mamaku ini wanita perkasa. "Terus koe mau nangis gitu bisa menyelesaikan masalah?" tanya mama dengan logat Jawa-nya yang terbawa-bawa jika ia marah atau sedang kesal.
Aku menghapus air mataku karena malu ternyata mama melihatku menangis. Pengelihatannya yang sudah menginjak umur 45 tahun ini memang luar biasa. "Taulah!" kataku dengan nada suara meninggi.
"Ya terserah, kamu bilang mau kamu, tuh, apa!" ujar mama semakin kesal. "Mama kan udah bilang dari kemarin, tiba-tiba kamu nolak gini ya nggak bisa gitu aja batal, dong, Cha."
"Ya aku nggak tau kalau mama serius!" bentakku.
"Ya masa mama nggak serius!" balas mama dengan bentakkan yang lebih dahsyat.
Mama memang berencana untuk pindah ke Bandung. Bukan rencana, sebenarnya sudah mutlak. Walaupun aku membantah habis-habisan juga pasti aku akan kalah. Mana mungkin aku tinggal di Jakarta sendirian, terlebih aku anak tunggal dan papa pindah ke Kalimantan semenjak bercerai dengan mama. Aku juga tidak mungkin pindah ke Kalimantan hanya karena 'ngambek' dengan mama. Tapi aku juga tidak mau meninggalkan sekolahku yang sekarang. Sebenarnya, bukan sekolahnya, tapi teman-temannya.
Aku mendengar mama menghela nafas lagi. "Mama tanya lagi, sekarang maumu gimana?" tanyanya. Sebenarnya aku ingin menjawab dengan tangisan meronta-ronta, tapi mulutku hanya rapat dan hanya menaikkan bahu. Otak dan tubuhku ini memang tidak memiliki koneksi hubungan yang baik.
Sesampainya dirumah, aku langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa membanting pintu kamar ketika aku hendak masuk untuk beristiahat. "Chaca! Chaca!" panggilan mama yang menggema ke seluruh rumah, juga telingaku ini membuatku semakin marah. Aku mengumpat kecil sebelum keluar dari kamarku.
"Apa?!" tanyaku sambil membentaknya.
Mama melotot lalu menghampiriku, ia memukul mulutku. "Berani ya, sekarang?!" tanyanya marah. Aku menangkis tangannya tapi dia terus berusaha memukul mulutku.
"Yaudah apa, sih?!" tanyaku sambil terus berusaha menepis tangannya.
"Berani kamu ya, sekarang!" hujatnya. Dia menatapku dengan ekspresi wajah paling menyebalkan sedunia. "Mandi dulu!" ujarnya, tak lupa ia memutar bola matanya. Ia berjalan ke arah dapur. Astaga, aku bisa gila! Aku kembali ke kamar dengan membanting pintu kamarku. "Astaga, Chaca!" bentak mama.
***
Keesokan harinya, aku dan mama pergi ke sekolah untuk mengurus kepindahanku. Aku benar-benar tak menyangkan hal ini benar-benar terjadi. Aku masih mengunci mulutku rapat-rapat, begitupula dengan mama. Ia masih terlihat sangat kesal. Tapi disela-sela rasa marahku, aku merasa bersalah dan ingin menangis. Seharusnya tidak begini.
Setelah urusan kepindahan selesai, mama meninggalkanku disekolah. Ia harus mengurus kepindahannya di kantornya juga. Aku dan teman-temanku akhirnya membolos ke kantin sekolah. Ketika kami sedang tertawa terbahak, wajah teman-teman yang duduk dihadapanku berubah aneh. "Kenapa?" tanyaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong To Me
Teen FictionDia adalah laki-laki yang selalu membuatku kehilangan kata-kata, laki-laki yang selalu membuatku lupa dimana seharusnya aku berada, laki-laki yang selalu membuatku lupa aku hanya gadis biasa. Tuhan, hidupku tidak mudah, hidupku tidak selalu menyenan...