Puisi Nadia

299 0 0
                                    

Siang yang terik membuat sebuah ruangan kelas X terasa sangat panas dan gerah, tapi untungnya bagi para murid kelas X karena bel pulang telah berbunyi. Bu Lovita, guru Bahasa Indonesia segera merapikan buku-bukunya yang berada di atas meja. ”Baik semuanya,” kata Bu Lovita sebelum pergi. ”sebelum ibu pergi, ibu ingin memberikan kalian sebuah tugas yaitu menulis puisi dan besok kalian satu-persatu akan membacanya.”

Semua murid mulai mengeluh dengan tugas yang diberikan oleh Bu Lovita, terutama seorang murid yang bernama Nadia Wijaya.

”Membuat puisi? Oh my God! Rasanya bete banget deh!” keluh Nadia pada temannya Kesha, ketika mereka keluar dari kelas dan berjalan menuju tempat parkir.

”Tenang dulu dong, Dia,” kata Kesha. ”Buat puisi nggak sesulit yang lho kira.”

”Itu sih bukan masalah buat lho,” gerutu Nadia. ”Soalnya’ kan lho itu pinter banget soal ngarang-mengarang. Sementara gue, kalo nulis puisi aja butuh waktu berjam-jam.”

”Ya usaha dulu dong,” jelas Kesha. ”Buat puisi itu nggak perlu mikir terlalu keras, cukup gunakan imajinasi dan cari inspirasi.”

”Ngomong sih mudah buat lho, tapi ngerjainnya yang sulit buat gue.” Keluh Nadia.

Dengan itu keduanya berpisah di tempat parkir, naik ke sepeda motor masing-masing dan pulang ke rumah.

Malam harinya Nadia tidak menonton sinetron favoritnya, dia hanya menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Nadia baru saja membuka Microsoft Word untuk menulis puisinya, tapi sepuluh menit berlalu dan Nadia belum menulis apapun di halaman Microsoft Word-nya. Mungkin gue musti nonton sinetron dulu baru nulis puisi gue, pikir Nadia lalu beranjak pergi dari laptopnya yang masih menyala.

Setibanya di ruang keluarga, Nadia sangat kecewa ketika ayahnya telah duduk di sofa di depan TV sambil menonton sebuah berita. Tapi karena tidak ada pekerjaan selain menulis puisi, dia akhirnya memutuskan untuk menonton berita dengan ayahnya. Ketika Nadia duduk di sofa di sebelah ayahnya, ayahnya sangat terkejut melihat Nadia duduk di sebelahnya sambil ikut menonton acara berita yang tidak ia suka.

”Nadia, tumben banget nonton berita bareng ayah. Ada apaan sih?” tanya Ayah Nadia.

”Lagi nggak ada kerjaan aja, Yah,” jawab Nadia.

”Oh, gitu,” balas Ayah Nadia.

Nadia menatap ke layar TV, ketika acara berita yang dia tonton menunjukkan video bagaimana orang-orang yang tidak bertanggung jawab menebang pohon-pohon di hutan dengan liar.

”Manusia yang tidak bertanggung jawab tidak hanya merusak pohon-pohon di hutan tapi juga merusak ekosistem alam. Masihkah ada kesempatan untuk dunia ini agar dapat bertahan?” jelas si Pembawa Acara Berita.

Masih ada kesempatan? Pikir Nadia, lalu tiba-tiba dia mendapat sebuah ide. Nadia segera berdiri dari sofa dan berlari kecil menuju kamarnya.

”Kenapa tuh anak?” tanya Ayah Nadia pada dirinya sendiri. ”Tadi bilang mau nonton kok sekarang pergi?” Ayah Nadia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melanjutkan kembali menonton berita.

Keesokan harinya tibalah hari di mana semua murid kelas X harus membacakan puisi karya mereka sendiri. Bu Lovita memanggil para murid satu-persatu semua absen, beberap murid ada yang membuat yang terdengar indah ada juga yang membuat puisi tidak keruan sehingga membuat beberapa murid lainnya tertawa.

”Nadia Wijaya,” panggil Bu Lovita.

Nadia mengambil nafas dalam-dalam lalu berjalan ke depan kelas lalu membaca kertas berisi puisi ciptaannya. ”Masih Ada Kesempatan oleh Nadia Wijaya,” baca Nadia.

Bumi memanas, daratan hampir mengering

Dan samudra sedang menguap juga mendidih

Tetapi, masih ada kesempatan

Sebelum semuanya berakhir tragis

Tanamlah pohon, buat ladang tandus menghijau

 Jika kita selamatkan alam, alam akan berbalik melindungi kita

Juga senang hati untuk menolong kita

Pilihan kita akan mempengaruhi masa depan Bumi

Satu pohon seribu manfaat

Pepohonan membantu hujan turun dengan deras

Membuat tanah kering menjadi subur

Bumi yang dulunya coklat kering menjadi hijau kembali

Semua murid terdiam, lalu tiba-tiba mereka semua bertepuk tangan dan bersorak gembira. Bu Lovita juga ikut bertepuk tangan dengan senang karena mendengar puisi Nadia. Nadia menoleh ke tempat duduk Kesha. Dan Kesha tersenyum pada Nadia sambil mengankat jempol tangannya untuk menunjukkan kalau dia sangat suka dengan puisi itu. Nadia tersenyum, karena dia tidak menyadari kalau akan membuat puisi sebagus ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Puisi NadiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang