Sisi Lain dari Sebuah Pertemuan

309 0 0
                                    

Ini sudah hampir dua puluh tahun. Setidaknya itulah perhitungan menurut Bapak, sejak kami meninggalkan kampung ini, mengadu nasip ke Kalimantan. Waktu itu aku masih bayi, kata Bapak. Sampai sekarang aku sudah dewasa dan kembali ke kampung ini, sungguh kampung yang tak ku kenal. Namun menurut Bapak di kampung ini ada Bu De, Pak De dan beberapa saudara yang lain. Juga Saudara. Saudara satu Bapak. Kata Bapak nama saudara ku itu, anak Bapak juga dari Ibu yang lain, adalah eko nur cahyo adi. Ia Bapak tinggalkan dari kampung ini bersama neneknya ketika masih berumur delapan tahun atau Sembilan tahunan.  Kalau sekarang barangkali umurnya sudah kurang lebih dua puluh delapan tahunan, berbeda delapan tahun dengan ku.

Aku sungguh ingin melihatnya. Seperti apa Kakak ku itu. Bapak juga sudah lupa. Dulu masih kecil, kata Bapak, Kakak ku itu cengeng, tapi pemberani, tukang berantem, bandel tapi pinter di sekolah. Sungguh menarik. Tapi Bapak sudah tidak bisa menebak sifat Kakak sekarang, karena barangkali ia sudah jauh berbeda. Dan aku ragu, jangan-jangan kakak juga sudah lupa, masih ada Bapak dan aku.

 Memang aku akui, wajar kalau kakak sudah lupa dengan kami. Kurang lebih dua puluh tahun kami meninggalkan kakak di kampung ini, tanpa ada kabar dari Bapak. Jika aku jadi kakak, aku pun mungkin sudah melupakan bahwa aku masih memiliki seorang Bapak.

Kata Bapak, Kakak tinggal sama kakek dan neneknya di kampung ini. Rumah Kakek dan Nenek terletak dipinggiran kampung, reot dan hampir roboh. Kata Bapak, dulu rumah Kakek dan Nenek ini bagus, terletak dijalan utama kampung dan memiliki halaman bertaman yang luas. Entah apa yang terjadi mengapa sekarang tinggal gubuk kecil reot. Aku dan Bapak mendatangi rumah itu. Dan kami hanya bertemu dengan Nenek. Kakek sudah lama meninggal, demikian juga dengan Ibu-nya Kakak, Istri Bapak yang pertama.

Kakak. Tidak ada dirumah ini. Cerita nenek, Kakak sudah lama merantau. Ia pergi sekolah ke kota, kemudian pergi kejawa untuk kuliah. Dan sekarang ia bekerja menjadi Kepala Sekolah di sebuah kota besar di Sumatera. Aku bangga mendengar cerita Nenek. Benar kata Bapak, kakak ku pemberani. Dan dia jauh lebih maju daripada kami. Namun perasaan takutku semakin kuat, takut bahwa memang benar-benar dia melupakan kami. Aku dan Bapak.

Tidak lama kami tinggal di rumah nenek. Setelah makan malam kami mohon diri untuk pulang. Nenek hanya memberikan sebuah nomor Telpon genggam. Itu nomor Kakak, kata nenek. Aku menyimpannya dalam Telpon genggamku. Dan bergegas pulang bersama Bapak. Di rumah kami tidak banyak bicara. Sering aku tanyakan, mengapa Bapak meninggalkan Kakak dikampun ini. Mengapa Bapak tidak mengajaknya serta ke Kalimantan. Bapak hanya diam. Tidak pernah memberikan jawaban yang jelas dan memuaskan untuk pertanyaan itu.

****

Suatu hari aku beranikan diri untuk mengirim pesan singkat ke nomor telpon genggam Kakak.

‘mas, apa kabar? Ini Pendi. Adikmu’

Lama tidak dibalas. Sore harinya barulah telpon genggamku berbunyi. Pesan dari Kakak.

‘Pendi siapa? Adik?’

Benar dugaanku. Kakak sudah lupa. Tapi ini bukanlah kesalahannya. Wajar ia melupakan kami. Aku dan Bapak. Namun rasa ini malah membuatku merasa makin rindu pada Kakak. Aku ingin melihat wajahnya. Memeluknya dan menceritakan semua pengalamanku dan mendengarkan semua pengalaman dan petualangannya. Pasti seru.

‘Ini Pendi Kak, adik nya kakak, anak Teguh’

Lama lagi pesan itu tidak dibalas. Barangkali Kakak butuh waktu yang lama untuk mengingat-ingat masa lalunya. Aku malah berfikir, jangan-jangan kehadiran kami dalam kehidupan Kakak malah mengganggu kebahagiaannya.

Menjelang malam pesan singkat dari kakak masuk ke telpon genggamku.

‘Oya, aku ingat. Apa kabar? Dari mana dapat nomorku? Ada dimana skrg? Apa kabar Bapak?’

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 05, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sisi Lain Sebuah Pertemuan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang