Seperti biasa, keadaan rumah selalu kosong saat aku tiba. Aku langsung naik menuju kamarku yang ada di lantai dua. Aku melempar tas ke sembarang arah sebelum melemparkan tubuh ke atas ranjang. Huh! Hari Sabtu yang membosankan, dan akan menjadi malam minggu yang penuh dengan kesuraman.
Ceklek.
Aku mendengar pintu ruangan di sebelah kamarku terbuka. Pasti Rian sudah pulang. Aha! Aku mendapat ide bagus. Aku langsung bangun masih dengan mengenakan seragam sekolah dan berjalan ke kamar Rian. Pintu kamarnya terbuka dan Rian sepertinya sedang berbicara di telepon. Aku hanya bersandar di sisi pintu dan mendengarnya bicara menghadap keluar jendela kamar. Sudah lama dia berbicara dan belum menyadari kehadiranku.
"Gue gak janji bisa bantu lo. Nanti malem gue gak tau bisa keluar atau enggak." Sepertinya aku tahu apa yang Rian bicarakan dengan seseorang di seberang telepon.
Tubuhnya berbalik dan matanya tepat menatap mataku. Ekspresi Rian sedikit kaget melihatku bersandar di pintu kamarnya, namun dengan cepat dia menormalkan ekspresinya kembali. "Nanti kita bicarakan lagi. Ada seorang penguping." Aku terkekeh mendengar ucapannya. Aku yang unyu begini dibilang penguping.
"Apa yang lo lakuin di sana, Ana?" kata Rian setelah menutup teleponnya.
"Lo mau kemana malam ini? Gue ikut lo ya?" pintaku tanpa menggubris pertanyaan Rian, tak lupa aku memasang muka melas agar Rian mau menuruti permintaanku.
"Gak usah masang muka kayak gitu. Lo gak pernah dikasi tahu kalo nguping itu gak baik?" sindir Rian dengan tangan yang sudah bersedekap di depan dad.
Aku langsung masuk ke dalam kamarnya dan merebahkan tubuhku di atas ranjangnya. Ah sudah lama rasanya aku tidak tidur di kamar ini. "Gue gak nguping kakakku yang ganteng. Salah lo sendiri gak sadar kalo gue udah di sini."
"Lo gak pernah diajarin ngetok pintu sebelum masuk kamar orang?" tanya Rian lagi.
"Dari dulu gue juga keluar masuk kamar lo gak pernah ketok pintu." Wheee. Aku menjulurkan lidahku pada Rian.
"Dasar lo." Rian langsung berjalan ke arah ranjang dan segera mengambil bantal. Bantal yang sudah ada di tangannya sudah siap mendarat di wajahku. Tapi, eittsss. Enak aja, aku gak akan semudah itu teralahkan. Terjadilah perang bantal antara aku dan Rian. Dan berakhir dengan aku yang kelelahan. Huft.
Rian meninggalkanku menuju ke kamar mandi. Aku masih telentang di kasur Rian dengan nafas yang ngos-ngosan. Aku mendengar langkah Rian keluar dari kamar mandi.
"Nanti malem gue ikut lo ya? Besok kan hari Minggu. Ya ya ya?" aku tak peduli jika kali ini aku merengek pada Rian. Yang penting aku harus ikut dengannya malam ini.
Aku mendengarnya menghela nafas, "Lo tadi gak denger kalo gue gak bisa janji?"
"Lo tiap hari ngomong gitu, tapi nanti malem keluar juga. Emang lo tega biarin kembaran lo ini sendirian di rumah?" huh! Baru kali ini aku mengakui dia sebagai kembaranku langsung di depannya. Ih pasti sebentar lagi dia kepedan.
"Gue diakuin jadi kembaran lo nih?" matanya sudah menatapku dengan tatapan aneh. Langsung saja kulemparkan majalah otomotif yang ada di ranjangnya. Dan.. bingo, tepat mengenai wajahnya. Aku langsung lari keluar dari kamarnya sebelum Rian memutuskan untuk membalas kejahilanku. Eits, tapi aku lupa sesuatu, jadi aku melongokkan kepalaku ke dalam kamarnya lagi. "Awas aja kalo nanti lo ninggalin gue." Lalu aku langsung lanjut berlari ke arah kamarku.
Aku mengganti seragam dengan baju santai. Baru saja merebahkan tubuhku, pintu kamar di buka dan terlihatlah Rian yang juga sudah mengganti bajunya. Aku langsung bangkit melihat Rian masuk ke dalam kamarku.
"Lo mau ngajak gue?" tanyaku langsung pada Rian.
Dan hebatnya pertanyaanku tadi hanya ditanggapi dengan jitakan yang mendarat di kepalaku."Sakit tau, Yan."
"Salah sendiri." Rian mengarahkan pandangannya melihat setiap sudut kamarku sebelum melanjutkan ucapannya.
"Lo itu cewek apa bukan sih, Ana?" tanyanya kemudian.
"No. Riana is hemaphrodite," candaku, dan langsung dihadiahi lemparan novel kesayanganku yang tergeletak di meja belajar.
"Bersihin itu buku-buku di meja belajar lo. Berantakan gak jelas."
"Iya ... iya ..." Dengan langkah gontai aku menuju meja belajarku. Dalam hal kerapian seperti ini tidak mungkin melawan Rian karena dia akan terus memaksa sampai aku merapikan meja belajarku.
"Nanti aja deh beresinnya. Sekarang turun makan siang dulu," ajak Rian.
"Ada makanan siang-siang begini? Siapa yang masak?" mataku membulat sempurna mengetahui ada makan siang hari ini. Biasanya tak ada yang menyiapkan makanan kalau tengah hari.
"Tadi gue beli di luar. Udah ayo turun."
Aku langsung mengekor di belakang Rian. Saat akan menuruni tangga, tiba-tiba kakiku tergelincir dan limbung ke depan. Untung ada Rian di depanku, kalau tidak mungkin aku bisa guling-gulingan di tangga.
"Dasar ceroboh." Rian langsung membawaku ke dalam gendongannya dan menuruni tangga. Sesekali aku meronta minta diturunkan.
"Rian, turunin gue." Tapi Rian tetap diam dan tetap berjalan menuruni tangga.
"Rian, gue bukan anak kecil. Turunin.gue.sekarang." saat sudah menuruni tangga, Rian berhenti sebentar.
Dan. Bug...
"Aww." Aku meringis kesakitan merasakan pantatku mencium lantai. Sedangkan Rian sudah tertawa melihat penderitaanku. Sepertinya penderitaanku adalah kebahagiaannya. "Sakit tau, Yan."
"Tadi kan lo yang minta diturunin." Kata Rian setelah menghentikan tawanya.
"Ya gak gitu juga keles. Pantat gue.."
"Repot lo. Tadi ngomel minta turunin. Sekarang di turunin masih ngomel. Udah cepet bangun. Atau makanannya entar gue yang abisin." Rian langsung melenggang pergi menuju ruang makan dan meninggalkanku sendirian.
"Dasar kakak nyebelin." Setelah itu Rian kembali tertawa dari dapur saat mendengar teriakanku.
***
Prang.
Suara benda pecah dari luar kamar membuatku terbangun. Aku mendengar suara ayah dan bunda saling memaki. Setiap malam aku selalu terbangun hanya untuk mendengarkan pertengkaran mereka. Dan paginya, sudah bisa dipastikan akan ada bekas-bekas pertengkaran mereka, pecahan vas bunga misalnya. Tanpa sadar aku menghela nafas.
Aku mendengar suara motor yang dinyalakan. Rian! Aku segera lari keluar kamar dan berlari keluar rumah mengabaikan pertengkaran orang tuaku di ruang tamu.
"Rian, lo mau kemana?" tapi Rian tidak menjawab pertanyaanku. Aku sempat berteriak memanggilnya sebelum motornya keluar halaman rumah, tapi Rian tetap meninggalkanku.
Sendirian lagi di rumah. Setiap ayah dan bunda bertengkar, Rian akan selalu keluar dari rumah. Dia akan kembali saat dini hari atau bahkan tidak pulang sama sekali. Ayah dan bunda? Bunda sudah sering kali memarahi Rian tapi sama sekali tidak mempan, sampai bunda lelah menghadapi Rian. Sedangkan ayah tidak pernah peduli sama sekali. Dan akhirnya, ayah dan bunda membiarkan Rian seperti ini.
Aku kembali masuk ke dalam rumah. Pertengkaran mereka sudah selesai.
Bunda sempat menugurku sebelum masuk kamar, namun tak kuhiraukan. Aku langsung masuk kamar dan pergi tidur.
Aku terbangun di hari Minggu yang menyuramkan. Aku melihat jam di atas nakas, 11.00. Aku tidak berniat untuk beranjak dari ranjang hari ini. Tidak akan ada yang aku lakukan, jadi aku memutuskan untuk pergi tidur lagi. Tapi kehadiran seseorang di samping ranjangku membuatku terbangun.
---
A/n
Thanks for reading my first story on wattpad. Meskipun ceritanya udah selesai, tetep vote and comment yaakk.... 😊
Regards,
Geminorum308 Oktober 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Rian(a) [COMPLETED]
Teen FictionSetelah membaca apa isinya, aku langsung membuangnya ke tempat sampah dekat loker. "Pembalasan baru dimulai." Ya kira-kira begitulah tulisan yang tertulis di kertas yang baru saja kubuang. Entah siapa yang tidak pernah bosan meletakkannya di dalam l...