Kakiku bergetar. Jari-jari tangan mulai mengeluarkan cairan dingin. Cairan yang membuatku semakin tak nyaman karena seringkali muncul tanpa diundang. dan di saat yang genting seperti ini, cairan itu jadi semakin melimpah. Aku tak berani mengangkat kepala sedikitpun. Kepalaku merunduk dalam. Mematung. Tak berkutik.
Ini bukan kali pertama. Aku sudah pernah menghadapi situasi genting seperti ini sebelumnya. Tapi, agaknya ini lebih dari yang dulu-dulu pernah ku alami.
Keringat dingin mulai merembes di kening. Dan dari jemari tangan, masih belum bisa berhenti juga. Berkali-kali aku mengelapnya ke rokku. Bukannya kering, malah semakin menjadi.
Sudah 30 detik aku mematung tak berkutik. Benar-benar tak habis pikir. Kesalahan yang mana yang membuat pria di depanku ini tak sedetikpun merenggangkan kedua alisnya yang menyatu.
"Kali ini apa lagi Flo? Apa lagi!" seperti botol minuman soda yang sudah dikocok berkali-kali dan ketika kau mulai membuka penutupnya. Maka.. blaam.
Aku menelan ludah. Entah seperti apa bentuk wajah Papi saat ini. Yang jelas aku belum berani menatapnya.
"Papi lelah dengan semua kekacauan yang kamu buat di sekolah. Kapan kamu akan berubah Flo? Sampai kapan kamu akan seperti ini terus?" Suara papi semakin mencuat ke seluruh sudut ruangan. Aku mengkerut. Kelu.
"Apa kamu sadar? kamu sudah sering membuat papi malu. Apa yang akan mereka katakan pada papi kalau anak cucu pemilik Yayasan malah seperti ini? Ya Allah Flo.."
Diam-diam aku beranikan diri melirik Papi yang kini membelakangiku. Kedua telapak tangannya memegang kening. Lantas menarik nafas panjang.
"Ini sudah yang keberapa kali?"
Akhirnya kertas itu terbanting keras di atas meja. Sedetik aku berusaha mengingat dari mana kertas itu dan ternyata dari guru BP tadi pagi.
Aku mengernyit.
"Sorry, Pi.." Aku berucap lirih. Terpaksa harus memberanikan diri. Mengangkat dagu dan Menatap raut wajah papi yang seraaaams.
Papi mendengus. "Sorry, Sorry! It's nonsense! Apa yang kamu bisa buktikan dari maaf kamu itu?" kemarahan papi kembali naik ke permukaan udara.
Aku mulai memainkan ujung bawah daun telinga. Kebiasaan burukku yang lain saat sedang bingung.
"Flo gak bakal ngulangin itu lagi, I promise!" kataku sambil meringis tak berdosa. semoga dengan begini papi bisa luluh. Seumur-umur belum pernah aku melihatnya semarah itu. Aku benar-benar takut dan merasa bersalah.
"Halaaaah! Janji apa kamu. Seribu kali kamu janji, seribu kali juga kamu bohongi papi!"Mendengar yang satu ini, senyumku pun memudar.
Wanita yang sedari tadi hanya berdiri diam, beranjak mendekat, berbisik pelan sembari memegagi lengan papi "Sabar pi. Sabaaar"
Aku menelan ludah. Alasan apa lagi yang harus aku pakai untuk menghadapi papi yang sedang dirundung amarah ini. Semua alasan dari yang masuk akal sampai yang paling konyol pun sudah terpakai. Kali ini aku benar-benar kehilangan akal. Pikiranku sedang tidak jernih. Seharian aku menghabiskan waktu di sekolah dan di lapangan basket. Andai saja kejadian itu tidak terjadi, mungkin sekarang aku sudah bisa berendam di air hangat, menghilangkan lelah lalu membenamkan diri di pulau mimpi.
Semua ini gara-gara kejadian itu. Kejadian dua hari yang lalu masih kuingat betul. Saat itu aku sedang asyik beristirahat di kantin sekolah. Bersama duo bestie Tania dan Rosi, kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba saja ada kuah panas bakso yang mendarat di rokku. Seketika aku berdiri, disusul teriakan Tania dan Rosi. Saat itu juga seseorang murid dengan wajah sok kecantikan sedang berdiri santai dengan menampakkan deretan giginya dan berkata "Upps tumpah deh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Close to You
Teen FictionFlora mendapat hukuman berat setelah berkali-kali ia membuat Papi geram. Hukuman terberat dalam hidupnya itu adalah ketika Papi memutuskan untuk membawanya ke sebuah pesantren. Penyesalan dan rasa takut sempat menggelayuti fikiran anak tunggal yang...