Unpredictable Meeting

126 5 0
                                    

Sekitar lima belas menit, Agis dan Tia sudah kembali ke kamar. kedua gadis yang baru aku kenal sebelas menitan yang lalu itu sudah membawa dua piring nasi penuh.

"Ini mbak nasinya." Agis menyodorkan sebuah piring yang berisi agak sedikit dibanding piring yang satunya.

Aku melotot. Mendorong kasar sepiring nasi di depanku. "Apaan ni?"

Agis menatapku terkejut.

"Itu makan siang kita, mbak" Kata Tia kemudian mengambil sepiring nasi yang sempat aku dorong barusan. semua penghuni kamar terdiam. "Ya memang lauknya cuma tempe. Tapi rasanya enak kok." Ucap Tia mencoba mengambil hatiku.

Aku mengernyit. "Cuma ini doank? Serius?" 

"Iya mbak, memang cuma ini. Kalau mbak masih kurang mbak bisa ambil jatah saya." Tia menyodorkan piring yang dari tangannya. Ia mencoba berbaik hati. Tidak perlu bersikap sok baik begitu. Apa maksudnya coba?

Aku melirik lagi sepiring nasi di depanku. Warnanya benar-benar aneh. Tidak putih juga tidak kuning. Baunya sedikit hangus. Sama sekali tidak sedap. Aku menggeleng cepat.

"Nggak!! Aku gak mau makan. Kamu aja yang makan." Kataku mendorong lagi piring itu ke arah Agis lebih keras. Beberapa butir nasi tercecer keluar.

Dua gadis di depanku keheranan. Beberapa santri junior yang masih di dalam kamar memandang sinis. Seolah menunjukkan kalau apa yang aku lakukan bukanlah hal yang wajar. But, I really don't care!

"Kenapa mbak? Tadi kan mbak yang nitip?" Tanya Tia heran.

"Gak nafsu!" jawabku cepat. Keduanya masih mematung.

"Trus kalo nggak dimakan nanti mubazir lho mbak" Tia berkata lagi.

"Yaudah! Kalo kalian gak mau makan kasih aja ke kucing. Atau buang aja. beres kan?" gertakku kemudian.

Agis mendengus. Pemilik wajah hitam manis itu tampak sangat kesal dengan perlakuanku.

Biar saja. Lagipula mana mungkin aku makan nasi angus dan lauk gak bergizi seperti itu. Bahkan,aku yakin Ketty kucingku saja tidak akan tertarik melihatnya.

Aku membuka lemari. Mengambil dua helai roti dari dalam kotak makanan. Mengoles selai kacang pada salah satu sisi-sisinya. Hari pertama tinggal di pesantren, terpaksa have lunch with only "roti".

Tia dan Agis saling pandang. Seisi kamar menatapku semakin sinis.

Sekali lagi

Who cares?



Kakiku rasanya seperti sedang ditumpuki sebuah batu besar. Aku melirik jam di tangan. Pukul 2.30. kurang setangah jam lagi. Sesuai dengan jadwal yang terpampang di papan pengumuman santri, saatnya "diniyah". Neng Fiza sempat menjelaskan sedikit tentang kegiatan wajib tiap sore itu. Tidak jauh berbeda dengan mengaji.

Hampir setengah jam aku berdiri di sini. Masih belum juga mendapat giliran mandi. Ini sungguh berada diluar kebiasaanku. Jangankan mengantri, air saja aku masih disiapkan bik Nung. Ya Tuhan!

"Rara! Kamu Flora kan?" sorang gadis bermata sipit menepuk pundakku pelan.

Aku diam sejenak. memandangnya dengan tatapan tidak suka. Siapa lagi yang merasa SKSD di tempat ini.

"Kamu Flora Anaphalia, putrinya pak Hafid kan?" gadis itu mengayun-ayunkan telunjuknya di depan hidungku sambil menggigit bibir bawahnya.

Aku mengernyit. Dari mana dia tahu nama lengkapku. Apa jangan-jangan dari papan nama yang terpampang di jilbabku ini. tapi, nama papi. Bagaimana dia bisa tahu juga.

Close to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang