Perubahan Pertama

102 5 0
                                    

Coba bayangkan, jika kamu bertemu dengan seseorang yang kamu kenal di tempat yang sangat asing bagimu. Itu adalah suatu keajaiban. Entah seberapa dekat atau tidak kamu dengan orang yang kamu kenal itu, pasti serasa bagaikan sudah mengenalnya bertahun-tahun. Seperti itu yang aku rasakan saat ini. Bahkan dua kali lipat dari itu. Kemunculan Lea di pesantren membuatku bisa berdamai dengan keadaan di sekitarku, sedikit demi sedikit.

Ada banyak hal yang ia ceritakan. Termasuk ketika mendengar akan ada santri pindahan dari Surabaya. Dan dia sangat tidak menyangka kalau santri itu tak lain adalah sahabat kecilnya saat di kampung dulu.

Aku tersenyum-senyum sendiri menuju kamar. Menyapa beberapa senior dan junior yang berpapasan. Entah kenapa, udara di sini terasa sangat segaaar.

Hari mulai petang. Palu besi sudah dipukulkan. Sebuah pertanda waktu sholat tiba. Tanpa harus diperintah dua kali, para anak manusia behamburan mengambil air wudhu. Setelah itu mereka akan kembali ke kamar dan mengambil peralatan sholat. Lalu bergegas menuju Masjid, sebelum bagian keamanan benar-benar muncul di gapura belakang asrama.

Azalea bilang, dibandingkan dengan bagian-bagian pengurus yang lain yang ada di pesantren ini, bagian keamanan adalah yang paling menyeramkan. Bagian ini sengaja dibentuk oleh pengasuh untuk mengamankan keadaan asrama khususnya di kawasan putri -Karena di asrama putra akan dibentuk sendiri bagian keamanan yang juga terdiri atas santri-santri putra. Pengasuh biasanya mengambil santri dari kelas dua aliyah sebagai anggota dari seluruh bagian di dalam jajaran Pengurus pondok pesantren ini. Sebagian besar personilnya biasanya bertubuh tinggi besar dan sangat pelit senyum. Wajahnya garang. Jangankan untuk tersenyum, berkedippun mungkin jarang, karena mereka sering melotot dan menatap galak siapa saja yang berani melanggar peraturan bagian keamanan. Tidak terkecuali mereka terlambat sholat berjama'ah di masjid.

"Satuu....."

Salah satu anggota bagian kemanan yang paling galak mulai menghitung maju. Mengundang para santri putrid beradu kecepatan melewati gapura. Takut terlambat. Tepatnya, menghindari hukuman. Sebagai hadiah dari keterlambatan, sebuah sajadah yang telah dipelintir ketat telah disiapkan. Jika dipukulkan mengenai bagian belakang lutut rasanya lumayan juga. Belum lagi jika harus menerima lima sampai enam pukulan. Semakin telat datang, semakin banyak juga pukulan yang harus diterima.

Bicara soal pukul memukul, ini bukanlah sebuah kekerasan yang melebihi batas. Namun ini merupakan sebuah kosekuensi yang harus diterima dari ketidakdisiplinan. Tanpa plintiran sajadah, masih banyak hukuman lain yang disiapkan bagian keamanan untuk membuat santri jerah dengan ketidakdisiplinan mereka.

"Duaa..."

Si sawo matang berwajah galak berteriak lagi. Ini masih hitungan kedua. Dan akan terus berlanjut sampai hitungan terakhir. Tia bilang, Biasanya hitungan akan berhenti pada angka lima.

"Tigaaaaaaaa..."

Hitungan ketiga. Masih banyak santri yang berlarian melewati gapura, menuju pintu aman. Masih ada kesempatan bagi mereka sebelum bagian keamanan benar-benar mengeluarkan bogem dahsyatnya.

"Empaaaaaaat"

Suara itu terdengar lagi. Hitungan ke empat. Sementara Tia masih berdiri di depan pintu kamar. Menungguiku.

"Flo, Ayo cepaat" Tia melambai. Wajahnya mulai panik.

Aku mempercepat langkah.

"Agis mana?" tanyaku.

"Udah berangkat dulun. Biar kita dapat baris paling depan nanti."

Aku mengangguk. Rajin benar si Agis. Tiba-tiba aku merasa beruntung dipertemukan dengan dua insan ini.

Close to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang