Sesuatu yang Tak Terlupakan [bab 2]

30 1 1
                                    

Ayu, ibu dari Alvin, Dena dan Kiki mondar-mandir di depan televisi, keringatnya bercucuran dari lubang kecil tak kasat mata di seluruh permukaan kulitnya, keningnya tak berhenti berkerut sejak tadi, apa pun yang akan terjadi nantinya, ia percaya, itu lebih buruk dari tsunami Jepang. Sungguh pikiran yang tak baik bagi siapapun, tapi apadaya, seluruh sel tubuhnya menolak untuk berpikir positif tentang masa depan. Ada sesuatu yang tak bisa ia maafkan di masa depan, tapi ia tak tau apa itu, ia bisa merasakan ada pelajaran paling menyedihkan yang akan dunia dan dirinya dulu ajarkan kepada keluarga barunya.

Celemek tadi pagi, belum ia lepas, masih tertempel noda selai dan berbau dapur. Walaupun sekarang pukul 16, ia tak beranjak dari kecemasannya.

Suara derum mobil terdengar dari luar, Ayu segera melepas apronnya dan meletakkannya di dapur dan segera berlari menuju pagar rumah, seperti biasa, ia akan menyambut anak sulung dan bungsunya pulang. Namun, bukan jazz merah milik Alvin yang terparkir di depan rumahnya, mobil itu milik rekan suaminya.

"Permisi, selamat sore." orang yang baru keluar dari mobil itu mendekat ke pagar.

"Selamat sore. Mari masuk dulu, Pak."

Pria pertengahan 40an itu masuk mengikuti Ayu dari belakang, Ayu langsung mengambil jamuan untuk tamunya.

"Saya Tarjo, Bu. Rekannya suami Ibu." Katanya sambil tersenyum.

"Oh iya, Pak. Ada apa ya?"

"Begini Bu, sudah seminggu ini, Bapak ngga masuk-masuk kantor, laporan-laporan serta proyek jadi terbengkalai, Bu. Kami sudah hubungi tapi ponselnya tidak aktif. Kemarin juga ada yang mencari Bapak ke kantor, orangnya sangar-sangar gitu Bu."

Ayu terdiam, rasanya seperti dadanya tertusuk bambu runcing, kulitnya dibakar. Ia mencengkram bajunya keras. Namun, sedetik kemudian, ia mengambil nafas dan menstabilkan dirinya sendiri.

"Ah, saya belum ngasih tau kalau Bapak lagi pergi ke Pakistan, ya?" kata Lina.

"Bapak ke Pakistan, Bu? Dalam rangka apa?"

"Teman SMA nya tunangan sama orang Pakistan Pak, sekalian cari angin. Biasalah." Katanya lagi.

Tarjo membenarkan duduknya, "Wah, saya jadi salah paham tentang Bapak."

"Maaf ya, saya lupa kasih tau. Sibuk sih ngurusin Kiki."

Setelah itu, Tarjo pamit undur diri, masalahnya telah selesai namun tidak bagi Ayu. Masalah yang akan ia hadapi bahkan lebih besar dari matahari, lebih dahsyat dari ledakan Big Bang, lebih menyedihkan dari pembunuhan massal.

Ia tak tau, tapi ia yakin bahwa dia akan menyesal pada akhirnya.

***

Tarjo duduk, hendak menghidupkan mobilnya, ada sesuatu yang membuatnya enggan menekan tombol start. Pakistan. Pasti cewek-ceweknya mancung-mancung, seksi-seksi mukanya, pikirnya. Dia juga memuji berapa beruntungnya orang itu. Dia tersenyum geli lalu terkekeh.

Kemudian dia terdiam, Pakistan bukanlah tempat yang bagus untuk menikah.

***

"Nak, sudah selesai Prnya?" tanya Ayu, tangannya mengelap piring dan matanya melirik-lirik Pr Kiki.

"Belum, bu ..."

Ayu berlari ke kamar Dena sambil membawa-bawa piring, "Nak, sudah asharan belum?"

"Baru selesai, bu. Ada apa?" Dena menggulung mukenanya dan merapikan meja belajar.

Ayu menggeleng sambil tersenyum, dia mundur dan menutup pintu kamar lalu berlari ke kamar Alvin, "Bagaimana sekolahnya, nak?"

"Ngga gimana-gimana ..."

Ayu menunggu Alvin melanjutkan tapi Alvin meluruskan jidat dan kembali berkutat dengan buku bank soal tebalnya.

"Hayo, ada yang disembunyiin dari Ibu, ya?" Ayu duduk di tepi ranjang Alvin dan meletakkan piring serta lap di sampingnya, dia membungkukkan badan dan menatap punggung anaknya, "Tau kan kalo ibu selalu ada buat anak-anaknya."

"Alvin tau." Jawabnya singkat, Ayu bisa melihat pensilnya berhenti bergerak, dan punggungnya menegang, "Alvin mau kuliah di Ohio, bu."

Ayu berkedip sesaat, "Wah, bagus dong anak sulung ibu kuliahnya di OSU."

"Tapi Fara di Airlangga. Dari Colombus ke Indo ngga bisa sejam nyampe."

Ayu diam, jangankan memikirkan sampai situ, bagaimana Alvin supaya tetap masuk pahit-pahit PTN di Indonesia saja sudah membuatnya pusing. Melihat probabilitas di dua bulan ke depan ... dan suaminya yang tak kunjung pulang.

"Enaknya gimana bu?" tanya Alvin, dia memutar kursi dan menatap ibunya yang tampak stress.

"Ibu kenapa?" tanyanya lagi, dia belum pernah melihat Ayu yang biasa menjadi super mom kini terlihat seperti Asisten rumah tangga. Alvin baru menyadari kalau daster yang ibunya pakai adalah daster yang pernah pembantunya pakai.

"Woah, gimana-gimana?"

Alvin menghembuskan nafas lalu membalik kursinya, dia menatap integral tanpa minat, "Alvin dan Fara bakal Ldr, enaknya gimana bu?"

"Ibu, Ketua PSSI sekarang siapa buuu?" teriak Kiki dari dapur, Ayu segera berdiri dan membawa piring serta serbet ke dapur.

"Kamu udah gede, bang. Kamu pasti tau solusinya!" kata Ayu, lantas ia berlari menuju si bungsu.

Seperginya Ayu dari kamar Alvin, Alvin menutup pintu dan menceburkan diri ke King koilnya dan mengambil ponselnya. Ia memencet tombol Whatsapp dan mengetik pesan kepada Dena.

Den, ibu kenapa?

***

"Enak, kan masakan ibu?" tanya Ayu saat mereka makan malam.

"Tumben bu ngga bikin steik, padahal kiki lagi kangen Mashed potatonya ibu." Kiki mengunyah tempenya.

Susana malam ini sama seperti malam-malam tanpa ayah sebelumnya, Alvin, Dena, Kiki dan juga Ayu sudah hafal betul suasana seperti ini, biasanya ayah mereka akan datang setelah Ayu selesai mencuci piring dan anak-anak sudah kembali ke kamar masing-masing.

"Ayah ke mana bu?" tanya Alvin, dia menyeruput kuah sayur bayam dari sendoknya.

Ayu diam.


Angel In JailTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang