Energi Hitam

66 3 0
                                    

Author's PoV

16 tahun kemudian

"Se-ma-ngat! Se-ma-ngat! Se-ma-ngat! Megathori bisa! Bisa! Bisa! Hoooooooo yaaaaa!!!"

Para penyemangat tim basket dari sekolah SMA Meghatori dan SMA Eaglewind berusaha menguras habis-habisan energinya di ujung lapangan basket demi memberi dukungan untuk sekolahnya, semangatnya hampir mengalahkan teriakan suporter di gedung olahraga. Walaupun mereka cukup lelah karena ketambahan atraksi sesaat sebelum perlombaan dimulai.

Karena terlalu ramai bagai ajang lomba suara terkeras, seorang perempuan menerobos jalur menuju pintu belakang yang seharusnya untuk peserta dan panitia lomba. Walaupun tak sadar kalau salah jalan, yang penting keluar dari 'polusi' suara. Sesekali ia menabrak orang karena dalam keadaan tergesa-gesa ingin segera mengangkat ponsel yang berdering sedari tadi. "Iya, iya, ada apa?"

"Andrea, jam berapa sekarang, hah? Bahkan anak ular pun tahu kalau ini sudah saatnya berada di sarang."

"Iya, iya. Pulangku gimana?"

Tuut tuut tuut

"Dasar Ayah," gerutunya.

Kejadian seperti ini tak hanya sekali terjadi, sudah berkali-kali ia mengalami hal seperti ini dan selalu berakhir sama: pulang ke rumah tanpa ada bantahan. Pernah sekali ia membantah. Dan akibatnya? Laptop dan ponselnya hilang disita ayahnya entah disembunyikan dimana.

Walaupun begitu, ayahnya memiliki insting dan firasat yang kuat. Tentunya, mereka ingin melindungi segala macam bentuk hal yang tak baik dari anaknya.

Perempuan itu memutuskan kembali menuju ke dalam gedung sambil mengotak-atik ponselnya, sesekali mengecek pesan grup kelas atau notifikasi gak penting, bahkan chat dari mantan pacar.

BRUK

Tak sengaja Andrea menabrak seseorang hingga ia nyaris terjatuh kalau tangannya tidak ditarik. Untung ponselnya tak jatuh dari genggaman. "Heh, kalau jalan hati-hati dong."

Sontak Andrea mendongakkan kepalanya melihat wajah orang yang mengomelinya sekaligus menolongnya. 'Leon', gumamnya. "Maaf," Ia menarik tangannya yang masih dipegang tadi. Lalu melesat pergi tanpa menoleh. Cowok yang menolongnya hanya menggelengkan kepala.

Kembali ke dalam gedung, Andrea menuju ke tempat duduk bersama teman-temannya. "Darimana saja kamu? Kirain ilang."

Andrea mengambil tasnya dengan tergesa. Rencananya ia akan pulang naik taksi. "Panggilan alam, Son. Biasa," temannya yang lain ber-ooh ria, sedangkan Sonia cuma mangut-mangut paham. Sudah biasa baginya mendengar alasan itu."Bagaimana hasilnya tadi?"

Seluruh temannya sedikit bersorak, termasuk Sonia. "Menang! Poinnya cuma beda tipis. Momennya tegang banget, ah kamu sih acara keluar segala,"

"Kan tau sendiri kamu, Son. Ayahku gak bisa dibantah sedikitpun. Aku pulang dulu ya, keliatannya taksiku udah nunggu di depan. Bye!" Andrea hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan tempat itu. Ia mencari-cari taksi yang ia tadi pesan dengan melihat nomor platnya. Setelah ketemu, ia masuk ke dalam dan melaju menembus jalanan kota yang super padat.

Tanpa ada yang menyadari kalau ada yang memperhatikannya.

Andrea's PoV

Sesampainya di rumah, aku keluar dari mobil taksi dan memberikan ongkos pada supir. Disinilah rumahku, terlihat berumur sekitar ratusan tahun, bertingkat... tiga ditambah loteng di tingkat empat. Ada ruangan bawah tanah yang cukup luas. Jadi, totalnya ada 5 lantai. Hal itu hanya diketahui oleh keluarga besarku, Ruthso dan kerabat terdekat keluargaku. Anggap saja, rumahku seperti yang ada di game Inspector Parker.

Di lantai bawah tanah, terdapat penyimpanan persenjataan, ruang penyiksaan, tempat latihan, jalan rahasia untuk melarikan diri, dan penjara yang menurutku cukup unik. Penjara keluargku jarang digunakan, tetapi penjara itu mengalir arus air yang sangat deras. Jadi, tahanan yang dimasukkan ke dalamnya akan digantung tangannya di langit-langit, kepalanya masih mendapat pasokan udara, tetapi badan dan kakinya akan dihembuskan oleh air. Begitulah yang pernah kudengar dari celotehan ibuku dengan kakakku, itupun ia tak menyadari kalau aku ikut mendengarkan.

Di lantai pertama adalah tempat berkumpulnya keluarga. Ada ruang tamu yang dijadikan satu dengan ruang keluarga, ruang pribadi (sekarang sudah jadi ruang kerja ayah), kamar mandi utama dan ruang perpustakaan utama.

Begitu masuk, deretan sofa sudah terlihat dengan tambahan televisi LED 60". Di sudut kiri ruangan yang agak menjorok ke dalam, ada sebuah pintu yang terhubung dengan ruang bawah tanah. Ada pintu lagi di sisi kiri berhadapan dengan televisi, itu perpustakaan utama. Tangga menuju lantai dua ada di ujung kanan ruangan. Di dekatnya, ada pintu ke taman belakang. Sedangkan ada satu pintu lagi tersembunyi di bawah tangga, itu ruang kerja ayahku.

Di lantai dua hanya terdapat 6 kamar tidur, itupun ditambah dengan kamar mandi dalam. Kamar tidur di lantai dua diisi oleh kedua orang tuaku, kakek nenek, adik, kakak, kamar tidur khusus tamu, dan kamarku sendiri. Di lantai tiga, hanya diisi beberapa kamar yang seluruhnya diisi oleh pembantu di rumah. Ya, di rumah hanya ada 3 pembantu yang seluruhnya telah setia pada keluargaku. Serta loteng di rumah hanya digunakan untuk tempat penyimpanan..... sudahlah.

Saat aku masuk ke rumah, seluruh penghuni rumah menoleh padaku, lalu kembali ke aktivitas mereka masing-masing kecuali salah satu pembantu yang menghampiriku. "Andrea, Tuan Besar telah menunggumu di ruang kerjanya. Biarkan tasmu yang kubawa ke kamarmu." Renata, pembantu termuda di rumah menawarkan diri untuk membantuku. Ia satu-satunya pembantu yang dekat denganku. Terkadang aku curhat padanya.

Tasku yang kubawa kuberikan pada Renata, ia pun segera pergi ke kamarku, sesuai yang ia katakan tadi. Aku berjalan menuju pintu yang membawaku ke ruang kerja ayahku. Aku mengetuk pintu, kemudian memutar engsel dan membukanya.

Di ruang kerja, ada ayah dan kakek. Mereka terlihat awet muda, walaupun sudah berusia ratusan tahun. 'Pasti ini tentang itu lagi.' batinnya

"Ya, itu benar, Andrea. Aku dan ayahmu mengundangmu kesini karena kami ingin kau mengetahui sesuatu." Kakek memang bisa membaca pikiran orang, termasuk pikiranku. Tetapi, tumben sekali kakek dan ayah justru mengundangku kemari karena urusan seperti ini. Biasanya hal seperti ini diurus oleh kakakku.

Sedangkan ayahku dapat merasakan keberadaan seseorang hanya dengan mengikat mereka menggunakan teknik khusus. "Andrea, saat kau berada di tempatmu tadi, ayah merasa ada energi yang tak ingin ayah rasakan lagi."

"Dan itu adalah energi hitam." Kakek melanjutkan




Vote dan comment selalu dibutuhkan :')

Black-White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang