SATU

673 19 12
                                    

****

"Menurut lo, kalau misalnya lo suka sama sahabat cowok lo, lo bakal gimana?"
"Gue? Emmm.. gatau deh, mungkin gue pendem. Lagian lo ada-ada aja sih nanya begituan."
"Hehe.. Gue cuma pengen tau aja lo tuh tipe orang yang gimana, gitu."
"Alah ngeles lo. Bilang aja lo lagi suka sama seseorang. Ngaku lo!"
"Sok tau! Emangnya gue nanya begituan udah pasti gue lagi suka sama sahabat gue gitu? Gak kali, lo tuh sotoy."
"Emang gue tau lagi. Lo tuh yang gak mau ngaku."
"Gak ngaku gimana sih, orang gue gak bohong."
Orang itu tertawa. "Lo tuh gak jago nyembunyiin sesuatu dari gue. Udah deh, bohong ya bohong aja, gak usah pakai acara disembunyiin."
"Emang kalau gue bohong, lo pikir gue sekarang lagi suka sama siapa?"
"Lo?" Orang itu memasang wajah pura-pura sedang berpikir. "Sama gue," detik kemudian tawanya menyembur. Lawan bicaranya menunjukkan gerakan seperti orang muntah, membuat gelak tawanya semakin menjadi.

****

Puisi? Lagi?

Ia celingak-celinguk mencari seseorang yang patut ia curigai. Namun hasilnya nihil, tak ada seorang pun yang menunjukkan gerakan mencurigakan di kelas ini. Entahlah, mungkin pengirimnya bukan dari teman sekelasnya, pikirnya.

"Kenapa lo?" tanya seseorang tiba-tiba dari arah belakang.
"Tau nih, ada secret admirer gue," jawabnya cuek lalu meletakkan kertas berisi puisi itu di laci mejanya. Ia meletakkan dagu dan tangannya di atas mejanya. "Sebenernya tuh orang siapa sih, Fy? Heran gue sama tingkah misteriusnya."
"Kenapa? Ngirim puisi lagi?" tanyanya yang langsung duduk di samping temannya. Mereka adalah teman sebangku.
Orang itu menjawab pertanyaan temannya dengan anggukan. "Lo bisa nebak gak kira-kira siapa yang ngirim begituan ke gue?" tanyanya sambil mengangkat kepalanya dan menatap teman semejanya itu.
Temannya mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu. "Bosen juga gue lo tanyain gitu terus, Shil. Udah gue bilang kan kalau gue gak tau?"
Ia tertawa garing. "Ya abisnya sampai sekarang dia belum ngaku juga sih," katanya sambil meletakkan kembali dagunya di atas meja.
"Gue ada ide!" ujar temannya, Ify yang sukses membuat ia terlonjak kaget. "Gue ada ide, Shil!"
"Astaga, Ify! Santai aja kali ngomongnya, jantung gue mau copot tau!" omelnya. "Ide apaan? Awas aja kalau aneh-aneh. Lo mah kebiasaan idenya gak pernah ada yang bener," tanyanya malas.
"Gak gak, kali ini lo bakal setuju sama ide gue. Gue jamin seratus persen!" katanya, sama sekali tak membuatnya tertarik dengan ide Ify. "Lo dengerin gue dong!"
"Iya deh. Emang apa ide lo itu?" tanyanya, sambil mengangkat dagunya dan menatap Ify.
Ify mulai mendekatkan mulutnya kearah telinga kanan teman sebangkunya itu, Shilla. Shilla hanya mengerutkan keningnya selama Ify membisikinya beberapa kalimat.
"Lo yakin? Dan lo mau bantu gue? Entar kalau ternyata kita udah telusuri seluruh sekolah ini tapi tetep juga gak ada yang sama gimana?" tanyanya tak yakin akan ide yang diusulkan temannya.
"Itu berarti ada pemalsuan tulisan. Gue yakin banget kalau tuh orang anak sini. Keliatan banget dari kata-kata sama kertas-kertas puisi itu muncul."
"Dan lo tetep mau ngejalanin ide gila lo itu kalau misalnya ada pemalsuan tulisan?" tanya Shilla tak percaya. "Ide lo dari dulu emang gak pernah ada yang bener."
"Eh seru tau, Shil. Kita jadi detektif gitu," cengir Ify. "Gue bantu lo kok, tenang aja. Lagian, bukannya lo penasaran sama orangnya?"
"Iya, tapi gak begitu juga kali caranya," sebalnya.

****

"Gue risih banget sama tuh orang, Shil. Nyadar gak sih lo, dari tadi dia ngeliatin sini terus?"
Shilla yang memang sedang membaca buku novel di pinggir lapangan basket yang ada tempat duduknya akhirnya menoleh. Tempat duduk yang mereka tempati tidak terlalu dekat dengan lapangan, namun juga tak terlalu jauh. "Siapa sih?" tanya Shilla menyapu pandangannya ke seluruh pemain basket yang ada di lapangan.
"Itu tuh si kapten, Rio," jawabnya sambil mengarahkan dagunya kearah seseorang yang tadi sempat tertangkap sedang mencuri pandang kearah mereka. "Jangan-jangan dia secret admirer lo, Shil."
Tawa Shilla menyembur. "Lo kalau ngomong dipikir dulu! Mana mungkin kapten basket sekolah itu adalah secret admirer gue, gak gentle banget. Mending bilang langsung lah ke gue."
"Iya juga ya?" Ify menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Terus kenapa dia ngelihatin sini terus?"
"Suka sama lo kali," jawab Shilla asal. Ia mulai melanjutkan aktivitas membaca yang tadi sempat terganggu.
"Ah masa iya? Gue emang cantik sih, wajar dia suka gue," kata Ify sambil senyam-senyum. "Iya kan, Shil?"
"Gak denger gue," jawabnya cuek.
Ify mengacuhkan Shilla. Ia mulai fokus lagi dengan pandangannya ke arah lapangan basket, kali ini lebih intens. "Gak salah lagi gue. Dia suka lo, Shil."
"Ngaco lo. Gak mungkin lah. Lo kali yang disukai sama tuh kapten," balas Shilla sambil masih fokus dengan novelnya.
"Gue gak bohong. Dari tadi mata gue nangkap dia terus, dan matanya ngeliatin lo terus, Shil. Wah, gak lucu juga kalau dia secret admirer lo," ujar Ify sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Nanti atau besok kita harus cocokin tulisannya."
Shilla berdecak, merasa omongan temannya itu sangat tidak masuk akal dan membuatnya menjadi tidak fokus dengan isi cerita novel yang sedang dibacanya. "Terserah apa lo kata deh, Fy."

****

Cinta..
Apa kau tahu arti cinta sebenarnya?
Cinta itu indah..
Cinta itu menyenangkan
Cinta itu bisa membuat orang bahagia
Namun apa kau tahu kejamnya cinta?
Cinta itu begitu kejam
Cinta itu begitu menyiksa
Menyiksaku dikala cinta itu tumbuh namun tak tepat
Aku tak tahu mengapa aku bisa memiliki cinta ini

Kalau boleh aku memilih..
Aku lebih memilih untuk mencintai orang lain
Aku begitu sadar akan perasaan terlarang ini
Perasaan yang seharusnya tidak akan muncul
Mungkin kau kebingungan akan siapa aku
Akan dimana keberadaanku

Percayalah..
Aku selalu memantaumu
Aku selalu memandangmu
Aku tahu aktivitas apa yang biasa kau lakukan
Aku bahkan tahu kau sedang dekat dengan seseorang
Aku begitu sedih karena kau mengira itu aku
Padahal dia bukanlah aku

Aku disini..
Masih menunggumu
Walaupun ku tahu kau tak akan mengetahui keberadaanku
Biarkan itu semua terjadi seperti ini..
Hingga waktunya datang
Menyedihkan bukan?

Shilla celingak-celinguk dan berlari ke arah pintu kelas. Ia menyapu pandangan ke seluruh penjuru, mencoba menemukan seseorang yang bisa ia curigai. Namun hasilnya nihil. Semua orang berlalu lalang memenuhi koridor dan masing-masing fokus dengan aktivitas mereka. Sama sekali tak ada seseorang pun, satu saja, yang sedang menatapnya. Padahal ia sangat berharap orang itu menunjukkan diri di depannya.

"Kenapa, Shil?"
Shilla menoleh, lalu menghela nafas. "Gak apa-apa kok, Yo," jawabnya gugup sambil menyembunyikan kertas itu di belakang punggungnya.
"Beneran gak apa-apa?" tanyanya meyakinkan.
Shilla mengangguk sambil tersenyum. "Jadi pulang bareng gak?"
"Oh iya dong, jadi. Yuk?"

Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Shilla terus terpikirkan akan isi surat yang tadi ada di laci mejanya. Dua bulan berlalu. Dan satu bulan lalu ia menjadi dekat dengan Rio, sang kapten basket sekolah yang sekarang sedang duduk sambil menyetir mobil di sampingnya.

Shilla tak sadar bahwa dari tadi ia hanya diam. Pikirannya terus melayang akan siapakah penulis kertas itu sebenarnya. Pasalnya, sudah satu bulan ini pengirim surat itu tidak mengirim surat kepadanya lagi, membuat ia begitu yakin bahwa pengirimnya memanglah Rio.

Sebelumnya ia pernah sesekali menanyakan tentang secret admirernya itu kepada Rio. Rio pun menjawab "Ya". Saat itu ia percaya akan jawaban Rio, namun ternyata? Shilla merasa begitu bodoh karena mudah percaya begitu saja. Shilla tak tahu mengapa Rio mengaku-aku menjadi secret admirernya, padahal kenyataannya bukanlah dia pelakunya.

"Sebenernya, lo tuh beneran suka sama gue gak sih, Yo?" tanya Shilla tiba-tiba, memecah keheningan.
Rio mengerutkan keningnya heran. "Emang kenapa? Gue meragukan ya?"
"Emm.. Bukan gitu," jawabnya tak enak. "Yang ngirim surat-surat itu bukan lo kan?"
"Surat apa sih?" tanya Rio tak paham. Ia masih fokus dengan aktivitas menyetirnya.
"Itu loh, surat-surat yang sering ada di laci meja gue. Pengirimnya bukan lo kan?"
Rio menoleh sekilas. "Jangan ngaco deh lo. Itu gue yang naruh. Cemen banget ya gue beraninya cuma ngirim puisi-puisi gak jelas dulu?" ia tertawa pelan, geli.
"Bohong, gue tau lo bohong sama gue."
Rio menoleh kearahnya sejenak, lalu menepikan mobilnya untuk membicarakan hal ini baik-baik dengan Shilla. "Gue gak bohong, Shilla. Yang naruh surat itu gue. Jangan-jangan lo minta kita sahabatan aja karena sampai sekarang lo masih gak percaya sama gue ya?"
"Tapi tadi ada orang yang naruh lagi di laci meja gue. Itu bukan lo kan? Mana mungkin itu lo, mendingan lo ngomong langsung aja ke gue. Lo sama gue kan sekarang udah deket," jawab Shilla telak.
"Serius lo? Coba mana gue liat?"
Shilla memberikan kertas itu kepada Rio yang dari tadi masih ia simpan. "Jadi selama ini lo bohong ya sama gue?"
Rio tampak masih membaca isi surat itu, dan tampaknya ia mengenali tulisan yang terdapat di kertas itu. "Kalau yang ini bukan gue. Gue gak tau menau tentang ini. Yang perlu lo tau, surat yang dulu ada di laci meja itu yang naruh gue."
"Buktinya?" tantang Shilla. "Tulisan lo aja gak mirip sama yang ada di kertas itu."
"Itu karena gue nulisnya pakai tulisan yang beda, gak kayak tulisan gue biasanya. Bukannya gue udah jelasin ya dulu?"
"Alasan lo buat tulisan beda apa?" tanya Shilla terus menyelidik.
"Biar gak gampang ketahuan aja," jawab Rio. "Lo kenapa sih jadi gini?"
"Lo yang kenapa! Kenapa ngaku-ngaku?"
Rio menghela nafas. "Ngaku-ngaku? Gue gak ngaku-ngaku," katanya. "Ya udah lah kita selesaikan masalah ini besok. Sekarang kita pulang," katanya sambil melajukan mobilnya kembali. Shilla hanya mendesah kesal.

****

Bersambung!!

Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang