RANI POV
Aku mengelap meja dengan lambat. Disaat bekerja begini aku masih bisa kepikiran tentang david. Tentang apa yang david lakukan dan david katakan kemarin. Sampai dirumah aku sudah berteriak senang semalaman. Tidur jam tiga pagi dan bangun jam enam pagi. Melakukan aktivitas seperti biasa dan malamnya pergi kerja.
Sampai hari ini aku belum cerita apapun ke Putri. Mungkin jika aku menceritakan nanti putri akan berteriak kesal karena aku tidak memberinya sesuatu untuk digosipkan.
"Putri Rahmawati seorang model baru yang masih dalam masa pembelajaran tapi sudah bisa melariskan suatu produk"
Aku menoleh kearah tv yang digantung saat aku mendengar nama putri. Dan benar saja foto putri yang sedang memegang produk make up ditampilkan di layar. Putri udah jadi model iklan?
"Parasnya yang cantik, kulitnya yang bersih, dan bentuk tubuh yang sempurna menjadi tambahan daya tariknya"
Aku tersenyum. Tentu saja itu semua putri. Aku senang lah kalau putri bisa sukses. Semoga aja dia bisa jadi model internasional.
Aku kembali mengelap meja dan tersenyum senang saat meja sudah mengkilap. Aku membawa semua peralatan ke belakang
"Loh? Lo belom pulang?" Tanyaku terkejut melihat roni yang sedang duduk dengan kopi di depannya
Roni menengok dan menggeleng. Aku mengernyit heran memandang roni. Tumben banget roni kayak gini. Liat aja wajahnya yang kusut dan kantung mata yang menebal. Roni sedang ada masalah kali ya
Aku duduk menghampiri roni "lo kenapa? Ada masalah?"
Roni menghela napas dan meminum kopinya "Gue nggak tau ran"
Si roni kok malah nggak tau. Kan dia yang ada masalah "kok lo nggak tau sih? Cerita aja ke gue" roni terdiam "Ya udah kalo lo nggak bisa cerita sekarang. Tapi kalo lo ada masalah jangan sungkan buat cerita sama gue. Kalo gue bisa bantu pasti gue bantu, tapi kalo nggak setidaknya lo sedikit lega karena bisa berbagi kan" aku berdiri dan menepuk pundak roni "mending lo pulang. Istirahat aja dirumah. Kenapa nggak izin sama pak Arnold aja kalo lo lagi nggak dalam keadaan baik kayak gini?"
Aku menaruh peralatan untuk mengelap di tempatnya. Apa mungkin aku terlalu banyak bicara? Aku mencuci tangan dan mengambil tasku "Gue pulang ya? Lo mau bareng atau nggak?"
Roni menarik tanganku "Gue mau cerita"
Aku memandang roni sebentar. Kasihan banget roni. Diliat dari mukanya aja kayaknya masalah dia berat banget. Aku mengangguk "Ya udah. Apa?"
Roni menghela napas, lelah "ibu gue masuk rumah sakit"
Aku memandang roni terkejut. Setahu aku ibunya roni itu orang yang sehat dan baik baik aja "kok bisa? Sakit apa memangnya?"
Roni mengusap wajahnya kasar. Seakan dengan itu bebannya bisa hilang "Gue nggak tau. Tapi pas kemarin gue pulang kerja ibu gue udah tergeletak gitu aja di sofa. Menurut gue sih dia keracunan, soalnya mulutnya berbusa gitu"
Aku menutup mulutku dengan tangan. Kasihan sekali ibunya roni dan roni "terus sekarang keadaannya gimana?"
"Dirawat. Dan belum sadar sekarang"
Aku mengelus pundak roni "sabar ya ron"
Roni mengangguk "masalahnya gue nggak bisa bayar rumah sakir. Gue nggak mungkin nunggak sampe berapa bulan kan. Gaji gue aja berapa. Tapi gua mau ibu gue sembuh ran"
Oke, sekarang aku mengerti kenapa wajah roni bisa sekusut ini. Roni mengkhawatirkan ibunya, roni ingin ibunya sembuh, tapi dia tidak bisa bayar rumah sakit, sementara ibunya harus dirawat "Gue bakal bantu lo semampu gue oke? Lo tenang aja. Lagi pula pak Arnold sama bella juga pasti bakal mau bantu kok"