Teman Imajiner

312 13 7
                                    

Setidaknya tinggalkan komentar setelah membaca cerita ini ya(butuh masukan, kritik dan saran) :)

Setitik air jatuh membasahi kacamataku, kutatap cakrawala yang dihiasi langit kelabu. Terlihat sesaat kilatan cahaya menyilaukan yang disertai gema memekak telinga. Berbalut seragam sekolah putih-biru aku menunduk dan secara naluri aku mempercepat langkah kakiku menyusuri jalan setapak menuju rumah sebelum hujan turun.

"Selamat sore, ma, aku pulang," salam yang biasa kuberikan ketika tiba dirumah.

"Iya nak," jawab mama yang saat itu berada di dapur menyiapkan makan malam.

Aku melepas sepatuku dan berlari menuju istana pribadiku. Aku berbaring sambil melirik ke arah jendela yang memberikan visualisasi kabut kelabu efek hujan sore hari. Rintik air hujan menghipnotis diriku, membawaku menuju kenangan masa lalu.

Aku berlari menuju SDN 16, menyusuri koridor dengan langkah pelan. Seperti biasa, semua orang melirik ke arahku dan menatapku dengan sinis.

"Selamat pagi Nila si idiot!" sapa Reni teman sekelas yang selalu mengejekku.
Namaku Nila, lebih tepatnya aku dipanggil Nila si idiot, Nila si autis atau Nila aneh. Panggilan yang tidak asing lagi ditelingaku. Di sekolah ini aku dianggap berbeda, tak ada yang mau berteman dengan ku. Mereka semua menyebutku anak autis. Aku-pun tak tau apa artinya itu.

Bel sekolah berdentang, menandakan jam pelajaran segera dimulai. Aku duduk di bangku tengah. Di bangku berpasangan aku hanya duduk seorang diri. Terkadang, naluri kecilku berbisik.
aku ingin punya seorang teman, yang dapat mewarnai hariku, yang mengukir goresan senyuman pantulan kebahagiaan.

Ketika jam sekolah telah usai, aku menuju taman sekolah. Taman yang indah tempatku mengamati bunga dan kupu-kupu.

Sesuatu ganjil terjadi di siang ini. Ada seseorang gadis menatapku sambil tersenyum. Aku hanya terpaku dan membalas senyumannya. Dia berjalan menghampiriku. "Hai, Nila!" sapa sang gadis.

"Darimana kamu tahu namaku? Aku belum pernah melihatmu disekolah, siapa namamu?" tanya Nila heran.

Tapi gadis itu tersenyum dan menjawab "Aku temanmu, panggilah aku seperti keinginan hatimu."

Senyum tulus bahagia muncul dari bibir mungil Nila.

"Aku ingin memanggilmu Pelangi."

"Aku menyukainya," jawab Pelangi.

Dia membawaku ke bangku taman. Aku duduk disampingnya. Dalam hitungan menit kami menjadi akrab seperti saudara. Satu hal yang paling membekas dalam pertemuan pertama kami. Saat ia bertanya.

"Kamu punya impian?"

"Tentu saja, ada banyak hal yang ingin kulakukan didunia ini. Salah satu impianku mempunyai teman baik," jawabku menatap Pelangi.

"Apakah kamu pernah menceritakan mimpimu kepada orang lain?"

Pertanyaan ini seolah mengalir deras dalam darah, aku terdiam.

"Aku tidak suka melakukannya."

"Bagaimana jika kamu menulisnya?"

"Menulis?"

"Ya, setidaknya kamu membagikan cerita tentang dirimu secara tidak langsung selain itu kamu juga bisa mengembangkan kreativitasmu."

"Darimana aku harus memulai?" aku tertarik dengan metode yang ia berikan.

"Mulailah menulis hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupanmu, misalnya buku harian. Kembangkan itu menjadi sebuah cerita pendek atau puisi yang menghiasi hari-harimu," jawab Pelangi seraya tersenyum.

Puisi Untuk PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang