Peppermint

430 38 42
                                    

Luna. L-U-N-A. Biru dongker-oranye cerah menyala-kuning lemon-merah bata. Pertama menyentuh langit-langit mulut dengan lidah sambil sedikit menyorongkan bibir ke depan, kemudian sekali lagi menyentuh langit-langit mulut dengan lidah lalu menarik sedikit sudut-sudut mulut ke samping. Lu-na. Kalau digabung, Luna, suaranya mengguyur seisi mulutku dengan hujan penuh rasa manis menyegarkan yang aroma kuatnya memenuhi penciuman. Aku langsung tahu nama Luna itu rasa apa, hanya butuh waktu sepersekian detik. Aku pernah merasakan nama Luna sebelumnya dalam bentuk sebutir permen peppermint. Namanya lebih enak, jauh lebih enak daripada permen yang pernah kusesap itu. Luna adalah nama ternikmat yang pernah kurasakan hingga detik ini.

Aku menatap ujung rambutnya yang hitam berkilau panjang, terurai jatuh menutupi bahu dan sebagian punggungnya. Jauh di sudut belakang kelas, aku membayangkan rambutnya pasti sangat lembut untuk disentuh, disisir dengan jari dan dibelai. Seperti apa rasanya ketika jari-jemariku sendiri yang melakukan itu? Mencecap setiap helai rambut indahnya? Rambutku sendiri pendek, kaku dan berwarna kuning pucat. Sama sekali tak enak rasanya bila kusentuh. Seperti kawat tembaga yang terlalu lama berada di bawah terik matahari; keras, pahit, berbau karat. Sepertinya rambut terenak yang pernah kusentuh adalah rambut adikku sendiri saat bayi, ketika masih halus, lembut tetapi sehat. Rasanya seperti anggur merah bercampur sedikit susu, nikmat sekali. Aku tidak tahu rasa rambutnya seperti apa sekarang. Mungkin berbeda.

Kulihat Luna mengulurkan tangannya ke Farrah, teman sebangkunya. Farrah agak menunduk memerhatikan tangan teman barunya itu. Ia kemudian memekik pelan. Aku yang duduk empat bangku jauhnya di belakang mereka tak mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Farrah terlihat bersemangat, kepala kecilnya mengangguk-ngangguk sambil sesekali bahunya bergerak naik-turun tanda ia sedang tertawa geli. Coba dia bisa merasakan pahitnya tinta pena yang menguar dari namanya, pasti ia tidak akan terlalu sering tertawa. Pandanganku terfokus pada sejengkal tangan Luna yang terlihat dari posisiku; putih dan halus. Aku agak memicingkan mata memandangnya agar terlihat lebih jelas. Mungkin saat itu aku juga beringsut ke depan menggunakan tenaga yang lebih kuat dari yang kusadari karena tubuhku membentur meja dengan cukup keras. Edo yang duduk tepat di depanku memutar setengah badannya. Tubuhnya yang besar menghalangi pandanganku. Seketika kuarahkan mataku ke bawah, tak ingin berurusan dengan anak yang dijuluki Jagoan Putih-Biru ini.

"Heh, setan, kamu dorong kursiku barusan?!" ia menghardik tanpa repot-repot memelankan suaranya. Kurasakan setengah teman-teman sekelasku membalikkan badan, ikut memerhatikan. Gelombang panik bercampur gugup menerpaku. Kutelan ludahku sendiri. Apa Luna juga menoleh?

"Aku bicara sama kamu, albino!" Edo memuntir pergelangan tangan kiriku kuat-kuat. Aku meringis menahan sakit, mencoba menarik lepas tanganku dari cengkramannya. Aku lebih tak suka rasa sentuhannya yang seperti telur setengah matang itu dibanding rasa sakit yang kuderita.

"Sorry, Edo, aku tidak sengaja." aku memohon pelan padanya, pandanganku tetap ke bawah. Aku tak ingin menatap langsung matanya, ia akan menganggap itu provokasi.

Cengkramannya di tanganku bertahan satu-dua detik kemudian lepas. Aku meremas pergelangan tanganku. Bekas tangan Edo berbentuk seperti gelang merah yang kontras sekali dengan kulitku yang kelewat pucat.

"Awas kalau sekali lagi kamu ganggu aku, abnormal!" Edo mendengus sambil membalikkan badan. Aku mengangguk walaupun ia tak bisa melihat. Aku tak ingin mengucapkan namanya lagi, rasanya seperti udang yang terlalu lama direbus. Menjijikkan. Beberapa teman-teman sekelasku tertawa dan ikut mengejekku. Tak masalah, aku sudah sering menerima perlakuan seperti ini. Aku masih memanggil mereka teman di dalam kepalaku walau sebenarnya mereka jauh sekali dari kata itu. Kepalaku terangkat sejenak ke arah Luna. Dua pasang mata jernih berwarna cokelat balas menatapku. Aku menunduk lagi. Panasnya rasa malu menjalar dari tengkuk ke seluruh wajahku. Apa kira-kira yang Luna pikirkan tentangku? Anak pucat aneh bermata merah? Pengecut lemah target bullying? Abnormal?

Chopper Stories: An AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang