Misi

156 22 17
                                    

Kudorong punggung Ben yang lebar dengan segenap kekuatan ototku sebelum otaknya yang tumpul membuatnya kabur tunggang-langgang. Sedetik-dua detik kurasakan ia membantu di tempat. Langsung kutekankan sikutku pada titik antara leher dan ruas ketiga tulang belakangnya. Ia melolong kesakitan. Akhirnya ia maju juga walaupun langkahnya ragu-ragu.

Setelah beberapa saat berjalan, sebuah bangunan menjulang angkuh di depanku. Sinar bulan menerangi dindingnya yang berwarna pucat. Menara silinder itu memang pantas merasa sombong karena masih berdiri utuh tanpa kekurangan sebongkah batupun selama delapan ratus tahun. Tingginya seratus kaki dengan lebar enam puluh kaki. Enam buah struktur pondasi penguat rangka bangunan yang disebut buttress tampak menjorok ke luar dari berbagai arah.

"Steve..?" Suara Ben terdengar goyah di telingaku.

Apa lagi sekarang? Batinku.

"Aku melihat sesuatu di jendela. Cuma sekilas."

Aku mendengus kesal. Kesabaranku hampir habis menghadapi tingkahnya. Entah sudah berapa kali ia mengeluh padaku dan setengah merengek memintaku membatalkan niat menjalankan tantangan ini. Jelas saja kutolak mentah-mentah.

"Ada kelebatan warna putih dan rambut hitam panjang, Steve! Kurasa itu The White Lady! Ia menghantui menara kastil karena mati bunuh diri di sana!" Ben mendesis parau. Pandangannya terpaku pada jendela di lantai teratas menara. Aku bisa melihat kedua tangannya bergetar hebat.

"Jangan banyak alasan, dasar pengecut! The White Lady itu cuma urban legend! Pokoknya kau ikut aku masuk sekarang!" Ancamku.

Entahlah, mungkin seharusnya aku tidak mengata-ngatainya. Mungkin seharusnya aku juga tidak meninggikan suaraku ataupun memaksanya. Detik berikutnya Ben menatap wajahku dengan ekspresi ketakutan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kemudian dia lari. Kabur. Gelambir lemaknya berguncangan hebat dari balik sweater wol hijaunya. Ia menyebrangi halaman Kastil Conisbrough yang berbentuk D itu secepat yang ia mampu. Ketika sosok besarnya tak bisa kulihat lagi dari kejauhan, barulah aku menyadari ia meninggalkanku sendirian di sini.

Kurang ajar!

Emosi menguasai tubuhku. Napasku jadi berat dan pendek-pendek. Kukepalkan tinjuku erat-erat. Kutendang pintu menara sampai menjeblak terbuka. Aku meraih Iphone dari saku jaket kulitku dan mengaktifkan aplikasi senter. Sebuah ruangan berbentuk bundar dengan lantai kayu menyambutku. Isinya penuh dengan berbagai macam barang antik yang dimiliki oleh Hamelin Plantagenet, bangsawan pemilik asli Kastil Conisbrough ini di abad ke-12. Meja, kursi, lukisan, chandelier dan berbagai jenis patung memenuhi ruangan.

Aku menggertakkan gigiku dengan geram memikirkan Ben. Sekarang ia pasti sudah melewati Sungai Don yang membelah kota Conisbrough, kemudian tiba di rumahnya yang hangat dan nyaman. Sedangkan aku harus berada di sini sendirian untuk membuktikan pada teman-teman sekolah bahwa aku bukan seorang pengecut seperti yang dikatakan oleh Bagas.

Langkahku mengayun keras-keras menuju sebuah tangga batu di seberang ruangan yang mengarah pada lantai berikutnya. Gema yang ditimbulkan Converseku memenuhi ruangan. Aku memikirkan balasan apa yang nanti akan kutimpakan pada Ben. Harus sesuatu yang setimpal, yang membuatnya kapok. Ah, yang penting aku berkonsentrasi menyelesaikan uji nyali ini dulu. Soal Ben akan kuurus belakangan.

Lantai dua dan tiga isinya hanya kamar-kamar pribadi yang mewah untuk ukuran jaman itu. Aku sudah pernah masuk ke menara ini saat tur sekolah bertahun-tahun lalu. Satu-satunya hal yang bisa kupikirkan mengenai Hamelin Plantagenet adalah betapa bencinya ia pada cahaya, karena ia membangun menara ini dengan arsitektur yang minim sekali dengan jendela.

Bau yang kucium di lantai terakhir memecahkan lamunanku. Aku tidak mencium aroma seperti ini di lantai-lantai sebelumnya. Tengik, busuk, seperti bau telur rusak yang dibiarkan lama. Wajahku mengernyit jijik. Terpaksa kututup hidungku dan bernapas lewat mulut sambil berusaha menahan mual yang menghantam perutku.

Lalu, aku melihat itu.

Tiga buah sosok gelap. Awalnya kukira hanya siluet barang-barang antik yang tertutup bayangan. Kemudian aku sadar bahwa sosok-sosok itu bergerak. Mendekatiku pelan tanpa sedikitpun suara. Tinggi, kurus, hitam, dengan tiga pasang mata merah menyala.

Kedua lututku lemas. Tangan dingin tak kasatmata seakan merogoh rongga dadaku dan mencengkram jantungku. Aku ingin berteriak kencang tapi tenggorokanku tercekat.

Mereka makin dekat. Tak lebih dari beberapa meter di hadapanku.

Seluruh tubuhku bergetar hebat. Iphoneku tergelincir lepas dari genggaman. Kakiku tak kuasa menahan beban tubuhku. Aku terjatuh dalam posisi berlutut. Refleks membuatku meringkuk, kedua tanganku menutupi wajahku.

Aku tidak mau lihat.

Suara seperti desisan ular terdengar. Dadaku sesak, membuatku kesulitan bernapas.

Aku tidak mau lihat.

Kedua tanganku masih menutupi wajahku. Kupejamkan mataku keras-keras, Bau busuk semakin tajam menguar.

Aku tidak mau lihat.

Dingin menyengat melecut kedua pipiku. Jantungku seakan mau terlontar keluar dari dada. Aku mau muntah. Entah bagaimana, aku tahu makhluk itu menangkupkan tangannya ke pipiku. Membuat wajahku terasa sedingin es.

Sesuatu yang tajam menggores dahiku berulang-ulang. Kurasakan cakar makhluk itu menyentuh pipiku, punggung tanganku, telingaku, kepalaku.

Aku tidak mau lihat.

Makhluk itu merenggut kasar kedua tanganku yang melindungi pandanganku dari mereka. Aku terpaksa membuka mata.

Hal terakhir yang kuingat adalah tiga pasang mulut menganga lebar yang berjarak sesenti dari wajahku. Detik berikutnya, aku kehilangan kesadaran.

***

"Cih. Cuma segitu saja? Payah." Ivan berlutut di samping tubuh Steve yang terkulai pingsan. Ia menusuk-nusuk dahi pemuda berambut platinum blonde itu dengan ujung kuku sintetis berukuran lima cm yang terpasang di telunjuknya.

"Aku selalu tahu ia penakut, Ivan! Lihat saja tingkahnya tadi!" George berdiri di sampingnya. Di pundaknya tersampir selembar kain sutra hitam yang tadi ia pakai menutupi seluruh tubuhnya.

Bagas terpisah agak jauh dari keduanya. Tangannya menggenggam topeng scream yang ia beli di bazaar bulan lalu. Dua buah lampu LED kecil terpasang di kedua rongga mata topeng tersebut.

"Kita masih harus membersihkan ruangan ini dari sulfur dioksida, jangan sampai besok pagi masih bau. Kunci-kunci juga kita kembalikan pada Mr. Ed. Security itu sudah baik sekali membolehkan kita pinjam." Bagas mengingatkan kedua teman sekelasnya yang langsung mengiyakan.

"Lalu, Gas, apa yang akan kita lakukan padanya?" George mengedikkan kepalanya ke arah Steve sambil membetulkan kain hitamnya yang merosot. T-Shirt yang ia kenakan bertuliskan Creativity is Great. Ia memang sengaja memakai baju itu khusus untuk malam ini.

Bagas menggeleng. Ekspresinya tenang. "Tidak ada. Kita biarkan saja dia di sini sampai besok pagi. Ia pantas mendapatkan itu setelah apa yang ia dan Ben sering perbuat pada kita." Ia berujar pelan. Kedua temannya memang tidak pernah mengatakannya langsung, tapi Bagas lah pemimpin mereka. Ia yang paling cerdas, kreatif, juga paling sering jadi target bullying oleh Steve dan Ben hanya karena ia murid pindahan baru.

"Misi selesai."

***

Note:
Ini salah satu cerpen pertama saya yang (niatnya) bernuansa thriller-horror apalah yang saya targetkan pas 1000 kata. Lumayan asik waktu riset kecil-kecilan tentang setting kastilnya. Banyak kekurangan, jelas. Tapi saya ingat pada saat saya nulis ini, rasanya enak luar biasa karena "berhasil" bikin cerita di luar zona aman :))

Chopper Stories: An AnthologyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang