Danar menatapku dengan tegas sembari tersenyum. Dia terlihat berkeinginan mengajariku teknik membobol lubang pintu bagai hal tersebut sangatlah berarti. Lagi pula, untuk apa aku membutuhkan kemampuan untuk membobol masuk rumah orang? Memangnya aku penjahat yang berusaha merampok rumah orang kaya?
"Tunggu sebentar," bisikku yang kini masih tembus pandang, terasa bagai hantu dari masa depan yang berpindah ke waktu lama untuk mengawasi diriku kala itu. "Sepertinya aku tahu teknik itu."
Ah ya, kemampuan yang kugunakan untuk membobol rumah Neah kemaren malam adalah mengutak-atik lubang kunci demi membukanya. Untuk membobolnya. Ternyata itu teknik termutakhir dari Danar yang kini memandang kembali ke depan ke hadapan Bu Anggun. Aku baru sadar lelaki yang tampaknya sangat tenang dan kalem bisa mengetahui rahasia mengutak-atik lubang kunci. Jangan-jangan Danar putra detektif berpengawasan luas lagi?
"Absen nomor 28! Tolong jawab soal nomor lima di halaman dua belas," seru Bu Anggun yang membuat diriku di masa kini dan depan sama-sama terlonjak kaget. Entah mengapa aku yang masih menyerupai hantu di film amatir murahan mengenali nomor absen yang sekarang membuat diriku di masa kini membolak-balik halaman bukunya. Aku menatap dengan gelisah melihat diriku di masa sekarang kepanikan karena tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan yang diajukan Bu Anggun. Gadis yang sangat mirip denganku--karena dia itu aku--malah menepuk-nepuk pelan bahu Danar demi meminta pertolongan. Lelaki yang berada di hadapanku itu malah memberikan semacam kode cepat menggunakan jemarinya, membuat diriku yang satu lagi mengangguk. Sungguh, aku tidak tahu kode-kode yang diberikan Danar padaku karena melupakannya, sudah lenyap bersama hilangnya ingatanku. "Dan jawabannya ialah?"
Aku dari masa kini sekarang duduk tegak, percaya diri karena telah mengetahui jawabannya berkat Danar. "Jawaban yang kuketahui berkat intuisiku adalah pilihan B."
Selagi aku mengangguk yakin dan kembali fokus pada buku matematikaku, tanpa kusadari Bu Anggun menggeleng kesal terhadap jawabanku. "Salah, absen 28."
"Apa?" Aku langsung melonjak kaget karena terkejut mendapati jawaban yang dikemukakan Danar salah. Aku geram karena merasa tertipu olehnya saat wajahnya diputar menghadapku. "Apa, pembohong?"
Danar menghela nafas. "Aku bilang D, bukan B."
Lalu kemudian lelaki itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju Bu Anggun. Guru perempuan itu langsung mengerti tentang kesukarelaan Danar menggantikanku menjawab soalnya, mengulurkan spidol berwarna hitam ke tangan muridnya itu. Danar sigap mengambilnya dan tanpa membuang waktu segera menuliskan hasil jawabannya berserta cara menemukannya pula. Aku tersenyum bangga padanya selagi mencatat rumusannya, Danar memang bisa diandalkan.
"Salah, Danar. Ibu hargai kau ingin membantu absen 28, tetapi kau sendiri tidak terlalu menolong." Sontak, satu kelas tertawa keras dan satu dua ada yang mengejek Danar karena berlagak sok membantu. "Cukup semuanya! Danar silahkan kembali ke tempat dudukmu dan dengarkan penjelasanku."
Danar dengan muka memerah kembali ke mejanya di depanku, terduduk dalam diam setelah menghela nafas kesal. "Maaf ya, aku malah makin memalukan."
"Apaan sih, kau tidak memalukan."
Danar menoleh kepadaku setelah mendengarnya. "Kalau bukan lalu apa, membuat kesal?"
Aku tersenyum padanya. Senyuman tertulus yang pernah kulakukan selama ini, bahkan diriku dari masa depan tercengang melihat sunggingannya di masa lalu. "Kau lebih ke keren, Danar."
Danar di depanku terdiam sesaat dengan menatapku yang kubalas senyuman. Lelaki itu kemudian memutar kembali pandangannya ke depan dan berusaha santai setelah kupuji, membuatku tergelak pelan. Aku tahu Danar merasa malu setelah kusebutkan bahwa dia keren, karena itulah apa adanya. Danar yang selalu menolong meski terkadang pertolongannya tidak terlalu membantu. Namun, berusaha membantu walaupun tidak terlalu menolong menurutku lebih manis daripada hanya mengulurkan tangan di saat-saat berguna saja yang banyak orang anggap baik, padahal tidak. Bukankah itu arti menolong? Meskipun tidak terlalu berguna, asalkan sudah membantu dan mencoba menolong itulah yang membuat kita sebagai manusia benar-benar manusiawi? Karena itulah kodrat kita sebagai manusia, menolong seseorang karena adanya perasaan sesak jika membiarkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Demi Ragaku
FantasyTidak perlu kusebutkan namaku. Abaikanlah pula masa laluku. Karena yang terpenting nanti aku akan memilih opsi. Satu akan memperkuat jati diriku sebagai Iblis. Atau satu lagi Yang akan mengembalikanku menjadi diriku yang dulu. Apapun pilihanku, aku...